Dow Jones vs IHSG

Setelah turun terus hampir setiap hari selama bulan Desember ini, Dow Jones Industrial Average kemarin akhirnya rebound 1,000 point atau hampir 5% ke posisi 22,878, demikian pula S&P500 dan Nasdaq turut rebound dengan persentase kenaikan yang kurang lebih sama. Kenaikan tersebut untuk sementara mengkonfirmasi dua hal. Pertama, bahwa seperti halnya IHSG, Dow juga tidak akan turun terus menerus melainkan pasti akan ada rebound-nya, sehingga kalau misalnya anda berinvestasi di New York Stock Exchange dan termasuk yang telat jualan (atau baru kepikiran untuk jualan setelah Dow nyungsep), maka waktu terbaik untuk jualan bukanlah ketika kemarin Dow terus saja turun, melainkan harus tunggu hingga rebound ini terjadi. Ulasan strategi lengkapnya bisa dibaca disini.

Kemudian kedua, di artikel minggu lalu berjudul Amerika Resesi?, penulis mengatakan bahwa di Amerika sebenernya tidak ada resesi apapun, hanya valuasi saham-saham disana sudah pada mahal saja, sehingga Dow memang harus turun, tapi penurunan Dow karena penyebab seperti ini biasanya tidak akan terlalu dalem, melainkan maksimal sekitar 20% saja dari posisi tertingginya. And indeed, posisi terendah yang dicapai Dow kemarin adalah 21,730, atau turun 19.4% dibanding posisi tertinggi Dow yakni 26,952. Untuk kedepannya Dow tentu bisa saja turun sekali lagi, dan hingga ke posisi yang lebih rendah lagi, tapi normalnya itu hanya akan terjadi jika ada sentimen negatif kuat tertentu.  Sementara jika tidak tidak ada sentimen apa-apa, maka level 21,000-an kemarin harusnya sudah menjadi titik terendah Dow, dan selanjutnya dia akan bergerak lebih stabil/sideways.

Nah, terus terang penulis sejak Senin kemarin sudah pengen posting artikel ‘Dow Jones vs IHSG’ ini, yang pada intinya berisi analisa soal pengaruh Dow terhadap IHSG, tapi saya sengaja tunggu Dow rebound dulu lalu baru posting, karena berdasarkan pengalaman, seringkali ulasan di blog ini tidak akan memberikan pencerahan apapun bagi pembaca jika si pembaca itu sendiri sedang dalam kondisi panik (karena Dow-nya masih terus meluncur kebawah), dan kadang malah menimbulkan sikap skeptis: Prospek cerah apaan?? Lo kagak liat sekarang saham-saham pada anjlok semua!

Tapi dengan Dow kemarin akhirnya naik lagi, maka minimal anda harusnya sekarang sudah lebih tenang :D Dan bisa kembali membaca dengan kepala dingin. So here we go!

Pengaruh Dow Terhadap IHSG

Sebagai indeks saham paling populer di Amerika Serikat, sedangkan New York Stock Exchange itu sendiri pada gilirannya adalah bursa saham terbesar di dunia, maka pergerakan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) sudah seperti benchmark bagi pergerakan indeks-indeks saham lainnya di seluruh dunia termasuk IHSG, sehingga kemudian ada anggapan bahwa jika Dow naik maka IHSG akan naik, demikian sebaliknya jika Dow turun maka IHSG juga akan turun. Tapi benarkah demikian?

Nah, sebenarnya anda tidak perlu menjadi ‘pakar’ untuk menjawab pertanyaan diatas, karena anda bisa langsung cek sendiri data terbaru: Meski Dow hingga tanggal 26 Desember sudah turun 15.1% dari posisi tertingginya pada awal Oktober kemarin (dari 26,828 ke 22,878), namun pada periode yang sama, IHSG justru naik lumayan dari 5,868 ke 6,128. Sementara ketika Dow naik dari 23,533 hingga break new high di level 26,828 pada kurun waktu Maret – Oktober 2018, IHSG pada periode yang sama malah turun dari 6,175 ke 5,731. Demikian seterusnya jika anda cek data historis pergerakan kedua indeks saham, maka anda akan menemukan banyak kasus dimana Dow naik pada satu periode tertentu namun IHSG turun, atau sebaliknya Dow turun ketika IHSG naik.

However, berdasarkan pengalaman penulis sendiri, yang sering terjadi adalah jika pada satu waktu tertentu Dow turun signifikan, katakanlah 2 – 3% dalam sehari atau total 5 – 10% dalam seminggu, maka beritanya akan santer terdengar (bahwa Dow turun), dan itu bisa bikin investor di Indonesia panik minimal sesaat, dan imbasnya IHSG bisa ikut turun pada hari/minggu tersebut (meski seringkali, turunnya nggak banyak). Jadi meski pergerakan Dow dan IHSG tidak selalu seiringan, tapi benar bahwa Dow berpengaruh ke IHSG, minimal dalam jangka pendek. Simpelnya, jika seorang investor sebelumnya sudah berencana untuk membeli saham tertentu pada hari tertentu, maka bisa jadi ia akan menunda rencananya tersebut jika pada malam harinya Dow turun. Dan kalau ada banyak orang yang gak jadi beli saham karena khawatir dengan penurunan Dow, sementara yang jualan tetep banyak, maka otomatis IHSG akan ikut turun.

Tapi dari tulisan diatas maka kelihatan bahwa naik turunnya Dow ini hanyalah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi pergerakan IHSG dan saham-saham didalamnya. You see, ketika seorang investor hendak membeli sebuah saham, maka tentu dalam pertimbangannya saham tersebut berfundamental bagus dst. Thus, ketika Dow turun dan penurunannya tersebut menjadi headline dimana-mana, maka si investor mungkin menunda rencana buy-nya, tapi ia hanya menunda dan bukan membatalkannya. Sehingga kalau nanti Dow naik lagi, dan Dow pasti akan naik lagi, maka ia tetap akan buy, dan alhasil saham-saham di Indonesia tetap akan naik.

Penurunan Dow = Kenaikan IHSG?

Daaaaan untungnya bisa penulis katakan bahwa diluar cerita koreksi Dow, faktor-faktor lainnya masih mendukung jika anda hendak belanja atau tetap hold saham: Kinerja para emiten hingga Kuartal III 2018 kemarin rata-rata masih bagus, valuasi saham masih banyak yang murah, Rupiah mulai stabil di 14,000-an, harga minyak turun (penurunan harga minyak akan menurunkan nilai impor), kondisi ekonomi/politik dalam negeri juga stabil, dan sekarang sudah akhir tahun (biasanya suka nongol cerita Window Dressing dan January Effect). Malah actually, penulis termasuk yang beranggapan bahwa penurunan Dow, meski dalam jangka pendek memang menimbulkan shock therapy, namun dalam jangka menengah – panjang dampaknya justru akan positif terhadap IHSG. Kenapa begitu?

Jadi begini: Sejak awal tahun 2016, Dow sudah rally dari 16,346 hingga sempat menyentuh 26,952, atau naik total 64.9% dalam waktu kurang dari tiga tahun seiring dengan kembali booming-nya ekonomi Amerika itu sendiri, setelah sebelumnya mereka krisis pada tahun 2008 – 2009 (pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi AS tercatat -4%, tapi sekarang stabil di 3 – 4% per tahun), thanks to pertumbuhan pesat industri teknologi terutama yang berhubungan dengan internet. Nah, meski kenaikan sekitar 60% dalam waktu tiga tahun mungkin terbilang biasa saja bagi indeks saham di negara berkembang termasuk IHSG di Indonesia, tapi itu adalah angka kenaikan yang sangat besar bagi Dow. Analoginya Dow ini seperti saham ASII, BBCA, atau UNVR, yang kalau dalam setahun naik 40% saja maka itu akan tampak luar biasa, sedangkan IHSG adalah seperti saham-saham kecil atau second liner gak jelas, yang bisa dengan mudah terbang 100% hanya dalam 1 – 2 bulan (meski disisi lain, bisa cepet juga turunnya).

Pergerakan Dow Jones dalam dua tahun terakhir, dimana kenaikannya paling tinggi dibanding indeks-indeks saham kelas dunia lainnya seperti Nikkei, Shanghai Composite, Euronext Amsterdam, hingga FTSE London, dan hanya bisa disamai oleh Hang Seng Hongkong.

Jadi ketika dalam tiga tahun terakhir ini Dow naik banyak, maka otomatis itu menarik perhatian investor dan para fund manager di seluruh dunia untuk invest di Amerika, karena tingkat risiko investasi disana tentunya dianggap lebih aman dibanding di Indonesia atau negara berkembang lainnya. Ditambah lagi kenaikan Fed Rate juga menyebabkan imbal hasil obligasi dll di Amerika menjadi naik (sejak 2016 sampai sekarang Fed Rate terus naik dari 0.25% sampai terakhir 2.50%). Ini pula yang salah satunya menjelaskan kenapa asing sejak 2 – 3 tahun ini terus keluar dari BEI, dan kalau kita melihat fakta bahwa mata uang di negara-negara emerging market (termasuk Rupiah) hampir semuanya melemah terhadap US Dollar, maka kemungkinan asing tidak hanya keluar dari Indonesia, tapi mereka juga keluar dari Turki, Brazil, Meksiko dst, untuk kemudian ramai-ramai pindah ke New York. Karena logikanya, jika anda menganggap bahwa ada satu saham bluechip dan satu saham second liner tertentu yang sama-sama bakal naik 20%, maka anda tentu akan memilih yang bluechip bukan? Karena risikonya biasanya lebih rendah, dan karena sahamnya lebih likuid sehingga belinya bisa banyak. Dan dengan nilai transaksi lebih dari US$ 170 milyar per hari, NYSE adalah juga bursa saham paling likuid di dunia (sebagai perbandingan, rata-rata nilai transaksi di BEI hanya Rp7 trilyun atau US$ 500 juta per hari, atau gak nyampe 0.5% nilai transaksi NYSE).

Tapi dengan Dow akhirnya turun juga, maka para fund manager global sekarang gak punya pilihan lain kecuali kembali menyebarkan investasinya ke seluruh dunia, termasuk balik lagi ke Indonesia. Yup, salah satu faktor yang bikin pasar minus sepanjang tahun 2008 ini adalah karena aksi jual asing yang, hingga ketika artikel ini ditulis, mencapai Rp51.6 trilyun sejak awal tahun, dimana itu merupakan angka net sell asing terbesar sepanjang sejarah. Sehingga meski IHSG-nya tampak nggak turun banyak (sempet drop sampai 5,600-an tapi sekarang sudah naik lagi), tapi ini menyebabkan kondisi pasar secara umum terasa tidak nyaman, dimana ada buanyak saham yang secara fundamental no problem, demikian pula valuasinya masih murah, tapi tetep aja seperti gak mau naik (atau malah turun sendiri) cuma gara-gara asingnya lepas barang terus.

Namun dengan kondisi pasar saham Amerika saat ini, maka sekali lagi terdapat harapan bahwa asing akan kembali masuk kesini. Sehingga dengan catatan faktor-faktor lainnya tetap sama, maka ini artinya pasar akan bergerak lebih stabil kedepannya. Mudah-mudahan!

Untuk artikel minggu depan penulis akan sampaikan pandangan penulis terkait outlook pasar di tahun 2019. Tapi sebelum itu, menurut anda sendiri, bagaimana pandangannya terkait arah pasar tahun 2019 nanti? Faktor-faktor penting apa saja yang harus diperhatikan? Anda bisa menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Anonim mengatakan…
Amerika memang belum resesi tapi tanda-tanda resesi akan muncul sudah ada dari indikator selisih antara Yield Obligasi 10 tahun dengan Yield Obligasi 2 tahun di Amrik.
https://rudiyanto.blog/2018/11/14/apakah-amerika-serikat-akan-mengalami-resesi-di-tahun-2020/
Semoga kondisi pasar modal 2019 jauh lebih baik dan tampaknya akan demikian. Secara historis, IHSG tidak pernah minus dua tahun berturut turut. Walau begitu, hal tersebut mungkin saja terjadi mengingat tidak ada yang pasti di masa depan kecuali ketidakpastian.

Disamping febomena historis ini, fundamental ekonomi negara kita juga baik. Meski IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tapi karena fundamental ekonomi kita bagus maka hal ini akan lebih relevan terhadap pasar modal. Pakar ekonomi meyakini bahwa IHSG merupakan cerminan dari kondisi ekonomi. Tampaknya memang demikian. Menurut pengamatan, IHSG selalu mendahului kondisi perekonomian. Hal ini mungkin karena tajamnya analisa para pakar dalam meproyeksikan kondisi ekonomi di masa yang akan datang. Dan seperti yang kita ketahui informasi ini menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan investor sehingga IHSG mendahului komdisi perekonomian.

Dasar keyakinam terakhir mengapa tahun 2019 pasar akan jauh lebih baik adalah Pemilu. Logisnya, paslon yang terpilih akan berusaha melakukan kebijakan terbaiknya dalam perbaikan ekonomk diawal, dan harapan kita tentunya sampai akhir ia menjabat.
Unknown mengatakan…
Alhamdulillah tahun pertama di pasar saham sudah saya lewati.. Dapat banyak pelajaran..daaan bisa mencicipi cuan, terimakasih pak Teguh...
Unknown mengatakan…
Pak teguh , kalo untuk kasus korupsi karyawan waskita adhi dan wika bagaimana dampaknya bagi saham perusahaan dan bagi investor pak? Mohon penjelasannya https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1156434/kasus-korupsi-pt-waskita-karya-kpk-cegah-5-orang-ke-luar-negeri

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)