Menghitung 'Prospek Saham' Dalam Value Investing

Kalau anda ketik ‘prospek saham’ di Google, maka akan keluar beberapa sugesti seperti ‘prospek saham antm’, ‘prospek saham bumi’, ‘prospek saham asii’, dan seterusnya. Tapi ketika anda googling ‘valuasi saham’, maka tidak muncul sugesti ‘valuasi saham asii’. Ini menunjukkan bahwa ketika seorang investor di Indonesia mencoba mencari informasi tentang saham tertentu di Google, maka hampir pasti kata yang ia gunakan adalah ‘prospek saham + kode sahamnya’. Hanya ada sedikit investor yang googling informasi tentang saham menggunakan kata ‘valuasi saham A’, ‘kinerja perusahaan B’, atau lainnya. Kata yang paling sering digunakan, sekali lagi, adalah prospek.


Dan memang penulis sendiri kalau ada yang tanya tentang saham tertentu, maka hampir pasti bunyi pertanyaannya seperti ini, ‘Pak Teguh, prospek saham A bagaimana ya?’ Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan prospek disini?

Secara harfiah, ‘prospek’ bermakna sebagai peluang atau kemungkinan terjadinya peristiwa tertentu di masa yang akan datang. Jadi ketika seseorang bertanya, ‘Bagaimana prospek saham A’, maka sejatinya ia bertanya tentang seberapa besar kemungkinan harga saham A akan naik dalam beberapa waktu kedepan, entah itu sebulan kedepan, setahun kedepan, atau malah cuma sehari kedepan. Sehingga jika kemudian jawabannya, ‘Saham A prospeknya bagus’, maka artinya orang yang ditanya secara tidak langsung mengatakan bahwa saham A akan naik.

Tapi apa yang dimaksud ‘prospek’ dalam kaidah ilmu value investing?

Dalam value investing, seperti yang sudah penulis sampaikan berkali-kali di banyak tulisan di blog ini, pekerjaan kita ada dua: Menilai fundamental perusahaan berdasarkan kinerja terbaru dan kinerja historisnya, dan menghitung valuasi sahamnya. Jika kesimpulannya adalah kinerja perusahaan bagus dan valuasinya murah, maka baru kita boleh beli saham tersebut. Tapi seringkali muncul pertanyaan berikutnya: Jika saat ini kinerja perusahaan bagus, maka apakah kinerja yang bagus tersebut akan bertahan kedepannya? Bagaimana jika laba perusahaan tahun ini bagus, tapi tahun depan laba tersebut turun lagi? Kalau itu yang terjadi, maka otomatis sahamnya menjadi tidak layak invest lagi bukan?

Karena itulah, dalam value investing, ‘menghitung prospek’ artinya menghitung peluang soal bagaimana kinerja perusahaan kedepan, apakah bakal bagus atau tidak. Dan soal prospek ini baru bisa ditanyakan jika saham yang bersangkutan sejak awal valuasinya murah dan fundamentalnya bagus, atau kalaupun fundamentalnya tidak terlalu bagus maka valuasinya sudah sangat murah (misalnya karena saham tersebut sudah turun banyak sebelumnya). Sementara soal sahamnya? Well, kalau memang kinerja perusahaan bagus terus maka sahamnya akan ikut naik dengan sendirinya, meski perlu dicatat bahwa kita tidak bisa memprediksi kapan dia akan naik, dimana bisa saja sahamnya malah turun dulu jika IHSG lagi turun, misalnya ketika terjadi koreksi pasar tahun 2018 kemarin. Thus, jika saham A sejak awal perusahaannya labanya kelewat kecil atau rugi melulu, atau valuasinya sudah mahal, atau dua-duanya, maka soal prospeknya nanti gimana sudah tidak penting lagi, karena sejak awal sahamnya sudah tidak layak invest.

Nah, jadi dengan demikian kita punya dua contoh kasus disini: 1. Prospek dari saham berfundamental bagus, dan 2. Prospek dari saham dengan fundamental tidak terlalu bagus, namun valuasinya sudah sangat murah sehingga jika nanti kinerja/laba perusahaan kembali naik banyak, maka sahamnya tetap bisa naik lagi.

Okay, sekarang kita mulai dari contoh pertama dulu: Prospek dari saham yang kinerja laporan keuangan terakhirnya memang sudah bagus. Dalam hal ini kita bisa lihat lagi contoh artikel minggu kemarin soal Adira Dinamika Multifinance (ADMF) (ini link artikelnya). Perhatikan: Di ulasannya, penulis pertama-tama membahas soal fundamental perusahaan (paragraf keempat), dilanjut valuasi sahamnya (paragraf kelima), dimana kesimpulannya adalah ADMF ini bagus dan valuasinya pun masih murah. Namun ketika lanjut membahas soal prospek kinerja perusahaan dalam jangka panjang, maka penulis menyampaikan bahwa di masa lalu, tepatnya tahun 2012 – 2015, ADMF pernah membukukan kinerja yang kurang bagus seiring dengan pengetatan penyaluran kredit oleh Bank Indonesia (BI). Sehingga dalam hal ini ada risiko bahwa ADMF bisa saja kembali membukukan penurunan kinerja di masa yang akan datang. Namun jika ditelisik lagi, alasan BI memperketat penyaluran kredit di tahun 2012 adalah karena adanya kekhawatiran terjadinya credit bubble di sektor properti, dimana harga unit-unit apartemen dll ketika itu bisa naik sampai 100% atau lebih hanya dalam hitungan bulan karena mudahnya mengajukan kredit properti ke bank.

Tapi untuk saat ini, indikasi bubble tersebut sudah tidak ada (malah sektor properti lagi lesu-lesunya), dan mungkin karena itulah BI pada Agustus 2018 merilis peraturan yang pada intinya melonggarkan kembali penyaluran kredit bank dan pembiayaan. Thus, meski risiko terulangnya penurunan kinerja ADMF di tahun 2012 – 2015 tetap ada, namun untuk saat ini risikonya terbilang kecil, dan karena itulah prospeknya cukup cerah. Sebab diluar problem yang disebabkan oleh BI atau otoritas lainnya, ADMF merupakan perusahaan dengan strong power of brand, manajemen bagus, dan merupakan perusahaan pembiayaan terbesar di Indonesia.

However, kasus berbeda terjadi ketika penulis membahas saham Indo-Rama Synthetics (INDR) (ini link artikelnya), dimana kalau anda baca lagi ulasannya, maka penulis mengatakan bahwa INDR ini memang menarik karena kinerja laporan keuangannya (untuk periode Kuartal I 2018) terbilang bagus, dan valuasinya juga tampak sangat seksi di PBV 0.3 kali (pada harga 3,000-an). Namun karena beberapa hal seperti: 1. INDR ini hanyalah bagian kecil dai Indorama Corp milik Sri Prakash Lohia, dengan usahanya yang tersebar di seluruh dunia, 2. Kinerja INDR selama ini jelek terus, sehingga ada kesan bahwa manajemen tidak peduli perusahaan untung atau tidak (yang penting Indorama Corp-nya untung terus), dan 3. Industri kimia tekstil terbilang rumit (mata rantainya ada buanyak dari mulai bahan baku mentah hingga pakaian jadi, kemudian ada pengaruh eksternal dari kurs Rupiah dll karena banyak melakukan ekspor impor) sehingga sulit untuk dipelajari, maka penulis katakan bahwa prospeknya tidak jelas, dimana penulis tidak punya gambaran soal bagaimana kinerja perusahaan kedepannya. Dan karena itulah INDR ini, meski valuasinya murah dan kinerjanya di tahun 2018 terbilang bagus, tapi sahamnya sedikit berbau spekulasi.

Prospek dari ‘Turn Around Company’?

Selain menghitung prospek dari saham yang kinerja perusahaannya/laporan keuangan terakhirnya bagus, maka kita juga bisa menghitung prospek dari saham dengan fundamental tidak terlalu bagus, namun valuasinya sudah sangat murah, biasanya ditandai dengan PBV nol koma sekian, atau PER kurang dari 5 kali. Sehingga jika nanti kinerja/laba perusahaan kembali naik banyak, maka sahamnya tetap bisa naik lagi.

Dan contoh dari kasus ini adalah saham Petrosea (PTRO) (ini link artikelnya), dimana meski hingga Kuartal III 2018, PTRO hanya membukukan laba US$ 17.8 juta, atau masih jauh lebih kecil dibanding rekor labanya di tahun 2011 sebesar US$ 52.6 juta, namun dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti meningkatnya capex, yang artinya perusahaan mulai sibuk gali batubara lagi, kemudian nature bisnis dari PTRO sendiri sebagai perusahaan mining service dimana laba mereka biasanya baru naik agak lama setelah kenaikan harga batubara itu sendiri, dan sahamnya sejauh ini masih melanjutkan trend kenaikan jangka panjangnya, dimana kenaikan tersebut selaras dengan perbaikan fundamental perusahaan sejak 2016 lalu, maka kesimpulannya: Meski kita tidak tahu bagaimana kinerja PTRO dalam 5 – 10 tahun mendatang (karena itu akan bergantung pada naik turunnya harga batubara), namun dalam waktu 1 – 2 tahun kedepan harusnya labanya masih naik, sehingga prospeknya pun menarik. Thus, PBV-nya yang cuma 0.65 kali jelas akan tampak sangat murah, terutama jika ROE PTRO beneran improve kedepannya.
Perusahaan mining service ini sudah turn-around sejak 2016 lalu

Namun tidak semua ‘saham dengan valuasi sangat murah’ punya peluang untuk ‘membukukan kinerja yang lebih baik kedepannya’. Contohnya Krakatau Steel (KRAS), dimana ketika Agustus 2018 lalu penulis membahasnya disini, kesimpulannya adalah saya tidak punya gambaran sama sekali soal gimana kinerjanya di masa yang akan datang, dan karena itulah prospeknya gelap, dan saya sendiri tidak akan membelinya, setidaknya untuk saat ini.

Kesimpulan

Dari penyampaian diatas maka bisa disimpulkan bahwa untuk menilai prospek sebuah saham, maka kita harus menguasai industrinya, dan faktor-faktor fundamental yang mempengaruhinya, baik itu yang berpengaruh positif maupun negatif. Jadi kalau anda hendak menghitung prospek Bank BRI, misalnya, maka pertama-tama anda harus mengerti industri perbankan itu seperti apa, dan ini bisa dipelajari secara bertahap dalam jangka panjang (anda tidak harus langsung mengerti perbankan hanya dalam semalam), terutama dengan membaca laporan tahunan dari emiten-emiten di sektor perbankan itu sendiri. Hanya memang karena itu terdengar seperti ‘PR’ yang bikin repot, maka kebanyakan investor/trader tidak mau melakukannya (mempelajari suatu sektor/industri secara menyeluruh), dan lebih suka corat coret chart, karena itu kelihatannya ‘lebih gampang’.

Tapi mudah-mudahan setelah membaca artikel ini, maka anda tahu apa yang harus dilakukan. Dan ketika kita berbicara mengenai ‘investasi jangka panjang’, maka soal prospek ini menjadi sangat penting, karena tidak mungkin kita membeli saham tertentu untuk di-hold katakanlah 1 – 2 tahun kedepan, jika kita gak punya gambaran soal bagaimana laporan keuangan perusahaan kedepannya, tak peduli meski kinerjanya saat ini terbilang bagus, dan/atau sahamnya lagi naik. Kalau mau lebih strict, maka kita juga sebaiknya hanya memilih saham yang kinerja perusahaannya dari dulu sampai sekarang baguuuusss terus, sehingga kita gak perlu tebak-tebakan soal prospeknya lagi. Namun karena sulit untuk menemukan saham dengan kriteria seperti itu (kalau ada pun maka biasanya valuasinya sudah mahal), maka pilihan alternatifnya adalah saham dari turn around company, sekali lagi, asalkan valuasinya benar-benar murah, dan prospeknya cerah.

Btw tadinya saya mau nulis analisa sebuah saham, tapi gak jadi karena harganya udah naik duluan seiring dengan naiknya IHSG di awal tahun 2019 ini. Jadi, ada ide saham apa yang menarik untuk dibahas pekan depan?

Buletin Analisa IHSG & stockpick saham bulanan edisi Februari 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi saham untuk member selama masa berlangganan.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Bla-Bla Miko mengatakan…
Saya usul pekan depan bahas ASII pak. Karena 1) rasanya sudah lama tidak dibahas, 2) brgkali ASII juga sudah mengalami perubahan landscape bisnisnya, dgn anak usaha masuk ke sektor infra, juga tambang barubara dan emas.
Rasanya view yg didapat bakal lebih luas karena banyak sektor terlibat (manufaktur, infra dan mining) dibanding saham yang satu sektor tertentu.
Unknown mengatakan…
Saham SRIL sama SIDO pak..gmana prospek nya kedepan..kok e harga nya di situ2 sja
Maulana Riska mengatakan…
salam pak teguh, saya baru mulai belajar value investing ketika membaca buku bapak. saya sudah melakukan penelitian berdasarkan laporan keuangan. tapi seperti yang bapak tulis dari artikel ini, bahwa kita tidak bisa memahami industri suatu emiten hanya dalam semalam. Dan itulah yang saya alami. saya cuma bisa menilai laporan keuangannya layak, kemudian PBVnya layak. dan kemarin tanggal 7 januari saya masuk di beberapa emiten, bisa bapak berikan gambaran industrinya ? BKSL, AUTO, ADRO, dan ELSA.

terimakasih pak.
Anonim mengatakan…
Bahasin salah satu saham yang saya pegang aja, Kang Teguh.. hehe..
Saya juga salah seorang value investor dan menurut saya saham-saham ini berkinerja sangat baik dalam minimal 5 tahun terakhir tetapi harganya masih di bawah nilai intrinsiknya. Saham-saham itu adalah BBNI, BISI, EKAD, INDF, dan LPPF.
CAGR penjualan (dan laba?) double digit semua 5 tahun terakhir, kecuali INDF sebab sebenarnya saya membeli INDF karena tertarik dengan ICBP, cuma valuasi ICBP kemahalan. Hehe..
Nuhun sebelumnya, Kang Teguh.
Yudi mengatakan…
pak teguh coba ulas lagi gtbo. managemennya berbeda dengan perusaan batubara yang lain. kalau perusaan batubara yang lain masih tetap menambang disaat harga batu bara turun. semakin di tambang semakin rugi. tapi gtbo saat harga batu bara rendah, gtbo memilih stop produksi dan memulai lagi produksi disaat harga batubara naik. per skg 5,4. pbv 0,7.
Unknown mengatakan…
Dear Mas Teguh,

Terima kasih atas ulasan-nya mengenai "Prospek Saham".
Jika dalam ulasan tersebut Mas teguh sempat menyinggung PTRO, mungkin minggu depan bisa sekalian bahas MBSS? Karena masih dalam satu keluarga besar ;)
Salam,


-Chris-
Anonim mengatakan…
Bagaimana jika artikel selanjutnya bahas saham GZCO pak teguh .
Raihan mengatakan…
saham-saham bebas bunga seperti BTON, ECII, GDST, HERO, INDS, IPCC, TOTL pak :)
Unknown mengatakan…
PSSI pak teguh... sepertinya masih undervalue dan potensinya besar.
terimakasih
Unknown mengatakan…
Bmri mas teguh
doenk mengatakan…
bisa tlg bahas ULTJ Pak? sehubungan dengan rencana expansi usaha di Sumatera Utara, terima kasih
Yudi mengatakan…
pak teguh bcip murah. per 2,3 x diharga 100 . baru break. bagaimana prospeknya. ingat bcip, ingat inkp.
kamilcell mengatakan…
ULTJ pak, dimana hargany segitu gitu aja. meski IHSG dan sektor consumes sdah bullish lg
Unknown mengatakan…
Karena saya baru belajar y saya banyak gali info dari RTI saja pak teguh... Fokus operasi saya pada emiten yang baru IPO tapi jenis usahanya yg saya mudah mengerti... Tapi seperti kata pak teguh saham IPO ini aman dibeli ketika ia sudah dingin... Apalagi kalo harganya sudah dibawah harga IPO...
Unknown mengatakan…
Saya tidak sependapat mengenai INDR. Justru tahun 2018 awal dari pertumbuhan emiten ini. Raw material (PTA dan MEG) yg selama ini sebagian besar diimpor sekarang mulai disediakan oleh pabrik dalam negri (Indorama Petrochemical) dan 2018 dibangun pabrik MEG (Indorama Glycol). Jika menilik LK biaya shipping mencapai puluhan kali lipat laba bersih. Bayangkan kalau semua biaya shiping impor berhasil diminimalkan. Untuk menambah ketersediaan Raw material ada rencana gasifikasi coal yg menghasilkan bahan yg lebih murah. Tambahan lagi Mr Lohia hingga agustus 2018 menambah kepemilikan saham lewat perusahaan induk di INDR sebesar 9%. Dan jika dilihat saham yg beredar di masyarakat sejak pertengahan 2018 terakumulasi dari 3000an menjadi 1000an pemegang saham
Anonim mengatakan…
Pak Teguh coba bahas TSPC, PBV nya murah banget dibandingkan KLBF dan KAEF
Unknown mengatakan…
KdSI dan INAI Masih layak beli ga mas teguh..mohon ulasannya
Anonim mengatakan…
Bicara KRAS, sy jd ingat wkt itu capres 02 sempat mengkritik bahwa pemerintah membuat BUMN Indonesia terus merugi, salah satu BUMN yg di mksd capres 02 ini ya KRAS ini. Tp tdk lama berselang pernyataan ini langsung dibantah oleh pemerintah. Nah terkait KRAS ini kalua kt berani berspekulasi taruhlah sampai LK kuartal pertama keluar, maka hasilnya tdk akn mengecewakan. Mengapa bs bgt, krn LK kuartal 1 nanti pasti akan dibuat bagus sbg pembuktian bahwa pernyataan capres 02 adalah sebuah kekeliruan.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)