Setelah Turun Terus, Inilah Valuasi IHSG Saat Ini

Jumat kemarin setelah pasar tutup, penulis ditelpon wartawan untuk dimintai komentar terkait valuasi IHSG yang ketika itu sudah drop signifikan ke level 5,827, namun menurut data Bloomberg PER-nya masih cukup tinggi yakni 18 kali. Sehingga ada kesan bahwa meski indeks memang sudah turun cukup dalam dibanding posisi tertingginya di tahun 2019 ini (dari 6,548 ke 5,828, berarti turun 11.0%), tapi secara kaidah value investing maka IHSG masih bisa turun lagi, karena saham-saham di BEI belum cukup murah untuk dibeli. Tapi benarkah demikian? Bahwa valuasi Bank BCA dkk sekarang ini masih pada mahal??

***

Buku Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan (Ebook Investment Planning) edisi Kuartal I 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya pada link berikut. Tersedia diskon bagi yang subscribe untuk 1 tahun.

***

Sebagai investor, kita tidak bisa memprediksi arah pasar/IHSG, atau naik turunnya saham tertentu. However, jika kita menemukan saham dari emiten dengan kinerja yang buruk, historis buruk, dan prospek yang juga suram dihargai pada PER 20 kali, misalnya, maka kita bisa katakan bahwa cepat atau lambat sahamnya akan turun. Demikian pula dengan IHSG, dimana jika valuasinya sedang tinggi maka sebaiknya kita minggir dulu, karena pasar akan berisiko tinggi untuk turun. Masalahnya, untuk menghitung valuasi suatu saham, dalam hal ini PER, PBV, dan dividend yield-nya, maka itu relatif mudah karena semua angka-angka yang dibutuhkan untuk perhitungannya sudah tersedia di laporan keuangan emiten yang bersangkutan. Tapi bagaimana jika kita hendak menghitung valuasi dari IHSG? Apakah ini artinya kita harus menghitung tiga indikator valuasi diatas dari 600-an emiten di bursa secara satu persatu kemudian diambil rata-ratanya, atau bagaimana??

Nah, actually memang itulah caranya: Untuk menghitung valuasi IHSG, alias rata-rata valuasi dari semua saham di bursa, maka anda harus menghitung PER, PBV, dan dividend yield dari kesemua saham yang ada, lalu ambil rata-ratanya. Kabar baiknya, anda tidak perlu melakukan itu karena sudah ada sejumlah institusi yang menghitungnya, lalu mempublikasikan hasil perhitungannya tersebut secara terbuka, contohnya Bloomberg tadi. Dan kalau penulis sendiri, biasanya kami lihat datanya langsung dari statistik harian BEI, di link berikut: https://www.idx.co.id/data-pasar/laporan-statistik/statistik/. Contohnya, pada hari Jumat, 17 Mei 2019, IHSG ditutup di posisi 5,827, dengan rata-rata PER-nya 15.6 kali, sedangkan rata-rata PBV-nya 2.2 kali.

Tampilan statistik harian IHSG untuk tanggal 17 Mei 2019, perhatikan bagian yang ditandai di sebelah kanan.

Catatan penting: Average PER adalah rata-rata PER dari semua saham di BEI. Sedangkan WA PER, atau weighted average PER, adalah juga rata-rata PER, namun perhitungannya memasukkan faktor bobot pengaruh berdasarkan market cap dari tiap-tiap saham. Contohnya, PER BBCA anggap saja 21 kali, sedangkan PER BBTN 7 kali. Maka average PER kedua saham tersebut adalah (21 + 7) / 2 = 14 kali. Untuk WA PER-nya, anggap saja market cap BBCA adalah sekitar 5 kali market cap BBTN, maka rumusnya menjadi: (21 x 5) + (7 x 1) / (5 + 1) = 18.7 kali. Untuk Average PBV dan WA PBV, cara ngitungnya juga sama begitu.

Dari informasi diatas maka akan timbul pertanyaan, kalo gitu kita liatnya yang mana? Average PER atau WA PER? Jawaban simpelnya gini, kalau anda lebih banyak ambil saham-saham second liner/small cap, maka lihatnya average PER. Tapi kalau anda banyak ambil saham-saham bluechip/big caps (BBCA dkk), maka lihatnya WA PER. Karena untuk WA PER ini, bobot perhitungannya dibedakan antara contohnya BBCA dengan BBTN tadi. WA PER biasanya angkanya lebih besar dibanding average PER, karena PER dari saham bluechip normalnya memang lebih tinggi dibanding PER dari saham-saham kecil (ada banyak saham-saham kecil dengan PER kurang dari 10 kali, atau bahkan hanya 5 kali, tapi penulis tidak pernah melihat BBCA dihargai pada PER 10 kali).

Valuasi Dari 10 Saham Big Caps

Nevertheless, data dari BEI diatas sekalipun sebenarnya sedikit diragukan, karena jika benar segitu angka rata-rata PER-nya, lalu kenapa Bloomberg atau institusi lainnya punya angka average PER yang berbeda? Kemudian ingat bahwa ada beberapa saham yang PER dan PBV-nya jauh diatas rata-rata saham lainnya, seperti Unilever (UNVR), HM Sampoerna (HMSP), Ace Hardware (ACES), Multibintang Indonesia (MLBI), hingga Mayora Indah (MYOR), dimana valuasi dari saham-saham premium ini tentunya mempengaruhi perhitungan average PER dan WA PER diatas, atau bahkan sangat mempengaruhi, karena beberapa diantaranya merupakan saham big caps. Sehingga Average PER yang ditampilkan di statistik harian BEI bisa jadi lebih tinggi (atau lebih rendah) dari yang seharusnya.

Karena itulah, penulis biasanya tetap menghitung kembali PER dan PBV dari tiap-tiap saham secara manual, untuk menilai apakah valuasi IHSG sudah cukup murah atau belum, terutama jika sedang terjadi koreksi pasar seperti sekarang. Dan apakah harus 600 saham kita cek semuanya? Ya nggak lah, melainkan cukup 10 saham dengan market cap terbesar di BEI saja. Sebab market cap dari 10 saham ini, yakni mulai dari Bank BCA hingga Indofood CBP, totalnya sudah mewakili 47.6%, atau hampir separuh dari total market cap semua saham di BEI. Kemudian, berbeda dengan emiten-emiten second liner yang perolehan laba bersihnya seringkali tidak stabil dari kuartal ke kuartal, sehingga PER-nya terkadang tampak rendah pada satu kuartal tertentu (karena labanya besar), tapi tiba-tiba menjadi tinggi pada kuartal berikutnya (karena labanya turun lagi), maka kinerja BBCA dkk jauh lebih konsisten, demikian pula PER-nya lebih stabil, sehingga kita bisa melihat PER tersebut sebagai salah satu indikator valuasi sahamnya (sementara untuk saham second liner, kita lebih banyak lihat PBV-nya saja).

Dan berikut adalah hasilnya.

No. Stocks Price Market Cap PER PBV Dividend (Rp) Dividend Yield (%)
1 BBCA 25,900 639 26.3 4.0 340 1.3
2 BBRI 3,790 467 14.2 2.4 131 3.5
3 HMSP 3,300 384 29.5 9.9 117 3.5
4 TLKM 3,510 348 14.0 3.3 168 4.8
5 BMRI 7,075 330 11.4 1.7 241 3.4
6 UNVR 41,600 317 45.4 35.0 915 2.2
7 ASII 6,700 271 13.0 1.9 154 2.3
8 GGRM 79,725 153 16.3 3.2 2,600 3.3
9 BBNI 8,100 151 9.2 1.3 207 2.6
10 ICBP 9,300 108 20.2 4.7 162 1.7

Catatan: Harga saham per penutupan pasar tanggal 17 Mei 2019. Laporan keuangan yang digunakan adalah untuk periode Kuartal I 2019. Market cap dalam trilyunan Rupiah. Dividen UNVR, GGRM, dan ICBP merupakan total dividen untuk tahun buku 2017, karena untuk tahun buku 2018, ketiga perusahaan masih belum mengumumkan pembayaran dividen. Dividen BBCA merupakan total dividennya untuk tahun buku 2018, yang terdiri dari dividen interim Rp85, dan dividen final Rp255 per saham.

Okay, sebelum kita bahas tabel diatas, ingat bahwa ke-sepuluh saham diatas memiliki karakter serta kualitas fundamentalnya masing-masing, sehingga valuasinya tidak bisa disetarakan satu saham lain. Contohnya, berdasarkan kinerja laporan keuangan, popularitas di masyarakat, likuiditas saham, dan ukuran market cap-nya, maka urutan ‘kelas’ big four banking adalah sebagai berikut: 1. BBCA, 2. BBRI, 3. BMRI, dan 4. BBNI. Ini artinya, dalam kondisi pasar sideways, bullish, ataupun bearish seperti sekarang, maka normalnya angka PER dan PBV BBCA akan selalu yang paling tinggi dibanding tiga saham bank lainnya. Jadi ketika PER BBCA tercatat 22 kali, misalnya, maka bisa jadi sahamnya sudah undervalue. Namun ketika PER BBNI mencapai 14 kali, maka mungkin sahamnya sudah overvalue.

Sekarang kita cek satu per satu. Sebagai numero uno bank di Indonesia, valuasi saham Bank BCA relatif tinggi tidak hanya dibanding saham bank besar lainnya, tapi juga dibanding semua saham-saham di BEI secara umum, dengan rata-rata PBV 4 – 4.5 kali, dan PER 25 kali. Pada titik-titik terendah koreksi pasar seperti tahun 2015 lalu, BBCA bisa drop sampai PER-nya menjadi sekitar 17 – 19 kali, dan PBV-nya 3.5 kali, sehingga untuk BBCA ini bisa katakan valuasinya saat ini masih dikisaran level wajarnya: Belum bisa disebut undervalue, tapi juga tidak terlalu mahal.

Untuk BBRI, pada puncak bearish pasar PER-nya bisa drop sampai 10 koma sekian kali, dan PBV-nya menjadi 1.7 – 1.9 kali. Jadi valuasi BBRI saat ini juga belum bisa disebut undervalue. Untuk HMSP, penulis kurang hafal dengan PER-nya, tapi PBV-nya selama ini berada dikisaran 12 – 14 kali, sehingga PBV 9.9 kali sejatinya mulai tampak seksi. Untuk TLKM, ini adalah salah satu saham dengan valuasi paling stabil di bursa, dimana PER-nya selama ini kokoh di level 14 – 16 kali, dan PBV-nya juga stabil di 3.5 – 4.0 kali. Namun dalam kondisi bear market, terkadang PER-nya bisa drop ke 11 – 13 kali, dan PBV-nya juga drop ke level 2.7 - 3.0 kali tapi belum pernah sampai dibawah itu, setidaknya dalam 5 tahun terakhir.

Untuk BMRI, patokannya adalah jangan beli sahamnya pada PER lebih dari 12 kali, dan PBV lebih dari 1.9 kali. Jadi sahamnya sekarang sudah relatif agak murah, tapi masih bisa menjadi lebih murah lagi karena dalam kondisi pasar yang benar-benar rendah, PER BMRI bisa tembus dibawah 10 kali. Untuk UNVR, biasanya PER-nya mencapai 50 kali, dengan PBV 40 kali. Jadi harga sekarang juga relatif murah meski, seperti halnya BMRI, sahamnya masih bisa menjadi lebih murah lagi. Untuk ASII, ini patokannya paling gampang: Sahamnya sudah bisa dicicil jika PER-nya dibawah 14 kali, dan PBV-nya dibawah 2.0 kali. Dan pada saat ini, ASII memang sudah berada di buying range-nya.

Okeh, lanjut. Untuk GGRM, dalam kondisi pasar normal biasanya PER-nya di level 16 kali, dengan PER 3.0 kali atau lebih. Jadi sahamnya belum masuk kategori undervalue, tapi juga sudah tidak lagi mahal. Untuk BBNI, worst scenario-nya adalah sahamnya drop hingga PER-nya menjadi 7 – 8 kali, dan PBV-nya 1.0 – 1.2 kali, tapi itu hanya akan terjadi jika pasar mengalami koreksi yang parah, yakni jika IHSG drop lebih dari 20% dari puncaknya, seperti tahun 2015 lalu. Diluar itu, asal PER-nya dibawah 9.0 kali maka sudah boleh dicicil, jadi tinggal tunggu sedikit lagi. Terakhir, untuk ICBP, seperti kebanyakan saham consumer goods berfundamental dan bereputasi bagus lainnya, maka valuasi wajarnya adalah pada PER 20 – 25 kali, dan PBV 4.5 – 5.0 kali. Jadi harganya saat ini terbilang wajar, alias bisa turun ke level undervalue jika koreksi pasar berlanjut.

Kemudian yang menarik adalah dividend yield dari ke-10 saham diatas. Jadi begini: Berbeda dengan PER dan PBV dimana setiap saham diatas punya standar-nya masing-masing (cara mengeceknya bisa dengan melihat lagi PER dan PBV historis mereka dimasa lalu, baik itu dalam kondisi pasar mendatar, naik, atau turun), maka untuk dividend yield ini kita bisa pake patokan yang sama: Sebuah saham bluechip bisa dikatakan murah jika yield-nya berada di level 2.5 – 3%, atau lebih tinggi lagi. Jadi kalau berdasarkan dividend yield ini, maka saham-saham big caps di BEI relatif sudah murah semua, atau minimal berada di valuasi wajarnya.

Hanya saja kalau kita lihat lagi angka-angka PER dan PBV diatas, maka meski sejumlah saham sudah berada sedikit dibawah level harga wajarnya (ditandai dengan angka berwarna biru), tapi secara historis, mereka masih bisa turun ke level yang lebih murah lagi. Tapi jika dikatakan bahwa ‘IHSG masih mahal’, maka berdasarkan valuasi dari ke-10 saham diatas, itu tidak tepat. Kalau lihat IHSG sebulan lalu di level 6,400-an, maka mungkin iya ketika itu IHSG masih mahal. Tapi untuk saat ini valuasi IHSG sudah lebih dekat ke level wajarnya, dan khusus untuk saham-saham tertentu bahkan sudah masuk ke level undervalue-nya.

Oke Pak Teguh, jadi apa ini artinya IHSG sekarang ini sudah cukup rendah, dan gak akan turun lebih lanjut? Well, kalau perbandingannya titik terendah koreksi pasar di tahun 2015, atau koreksi tahun 2018 kemarin, maka posisi IHSG sekarang ini masih tanggung sebenernya, alias bisa saja turun labih lanjut, karena memang valuasi BBCA dkk juga belum benar-benar undervalue. Namun harus diingat pula bahwa saham-saham super diatas baru akan dijual oleh investor yang panik pada harga obralan jika terjadi isu sosial ekonomi politik yang serius, entah itu dari dalam maupun luar negeri. Contohnya seperti semester II tahun 2015 lalu dimana Indonesia hampir saja jatuh krisis. Diluar itu, BBCA dkk hanya akan turun ke level yang sedikit dibawah level wajarnya saja, sebelum kemudian dia akan naik lagi.

Jadi soal bagaimana arah IHSG kedepannya, maka itu akan ditentukan oleh perkembangan dari isu-isu yang beredar di pasar, dimana perkembangan ini bisa positif, bisa juga negatif. Tapi yang jelas, IHSG saat ini sudah tidak lagi mahal, meski juga belum terlalu murah (dan memang sejauh penulis perhatikan, belum ada kepanikan berarti di pasar). Jadi bagi anda yang sudah mengincar Bank BRI untuk tabungan jangka panjang, misalnya, maka jika kemarin-kemarin kita disarankan untuk hold cash dulu, sekarang sudah boleh nyicil, karena kalau tunggu di katakanlah harga 3,000, maka ujungnya bisa saja anda gak dapet barang sama sekali. Termasuk untuk saham-saham second liner juga udah banyak yang dijual pada harga diskonan. Sementara jika horizon investasi anda lebih pendek, maka boleh wait n see dulu tapi juga jangan lagi berpikir untuk jualan, it’s already too late.

And btw karena artikelnya kali ini cukup panjang, maka untuk menghindari misinterpretation coba baca lagi dari awal, dan kali ini bacanya pelan-pelan yap.

Buku Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan (Ebook Investment Planning) edisi Kuartal I 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya pada link berikut. Tersedia diskon bagi yang subscribe untuk 1 tahun.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Pintar Saham mengatakan…
Menarik melihat IHSG dari sisi PER nya. Ternyata dengan hanya mengamati saham yang big cap saja kita bisa meraih keuntungan yang lumayan. Thanks untuk sharingnya pak Teguh

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham