Mengenal SWF Indonesia, dan Pengaruhnya Terhadap Saham Infrastruktur

Menurut Wikipedia, sovereign wealth fund atau SWF, yang secara harfiah bermakna ‘dana kekayaan milik negara’, adalah lembaga yang mengelola penempatan dana investasi milik negara pada aset riil maupun aset keuangan, seperti saham, obligasi, real estate, logam mulia, hingga investasi alternatif seperti private equity dan/atau hedge fund, di seluruh dunia. Dana yang dikelola SWF biasanya berasal dari surplus hasil ekspor komoditas, atau surplus devisa dalam bentuk cadangan mata uang asing yang dipegang oleh Bank Sentral di negara yang bersangkutan. Dari sini kita bisa lihat bahwa, SWF biasanya dibentuk ketika pemerintah suatu negara memiliki surplus anggaran, sedangkan disisi lain memiliki utang luar negeri yang kecil, atau tidak ada utang sama sekali.

***

Ebook Market Planning edisi Februari 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Contoh SWF yang cukup terkenal adalah Qatar Investment Authority (QIA), milik Pemerintah Kerajaan Qatar, dimana tugas QIA adalah menyalurkan surplus ekspor gas milik negara (FYI, Qatar adalah pemilik cadangan serta eksportir gas alam terbesar di dunia, sedangkan luas wilayahnya sangat kecil, hanya dua kali luas DKI Jakarta) ke banyak instrumen-instrumen investasi baik di dalam maupun luar negeri (terutama luar negeri), seperti Qatar National Bank, Qatar Islamic Bank, 12.7% saham di Barclays, 17% saham Volkswagen, Sainsbury’s, France Telecom, Xstrata, Harrods Group, London Heathrow Airport, Paris Saint-Germain FC, beIN Sport, dan masih banyak lagi. Selain di Eropa, QIA juga menempatkan $10 milyar investasi di China, dan $35 milyar investasi di Amerika Serikat. Dan pada Agustus 2018, QIA juga menempatkan $500 juta di sektor pariwisata di Indonesia.

Dan tujuan dari QIA ini sangat jelas: Agar perekonomian negara Qatar, dalam jangka panjang, tidak lagi bergantung hanya pada komoditas gas alam-nya, tapi bisa memperoleh banyak sumber pendapatan dari segala jenis industri di seluruh dunia. Seperti SWF lainnya, QIA berinvestasi sepenuhnya menggunakan dana surplus milik Pemerintah Qatar, jadi mereka sama sekali tidak butuh investor dari luar. Inilah kenapa SWF biasanya hanya dimiliki oleh negara-negara dengan ekonomi maju, atau dengan kata lain negara berkembang tidak bisa punya SWF, kecuali jika negara berkembang tersebut memiliki cadangan sumber daya alam, entah itu minyak, gas, atau lainnya, yang melimpah ruah sehingga neraca ekspor impornya hampir selalu surplus. Contohnya Timor-Leste Petroleum Fund, SWF milik Pemerintah Timor Leste, dimana meski Timor Leste adalah negara berkembang, tapi pemerintahnya memiliki surplus besar dari hasil ekspor minyak, yang kemudian diinvestasikan diluar negeri melalui TLPF itu tadi. Contoh lainnya adalah China, yang meski sekarang sudah menjadi negara maju yang tidak lagi bergantung pada investasi dari luar, namun pada tahun 80-an dan 90-an, China masih tergolong negara miskin, dan karena itulah Pemerintahnya baru mendirikan SWF dengan nama China Investment Corporation (CIC), pada tahun 2007 kemarin.

Okay, lalu bagaimana dengan Lembaga Pengelola Investasi atau LPI, yang disebut-sebut sebagai SWF milik Indonesia?

Jadi awal mula muncul cerita bahwa ‘Pemerintah Indonesia mendirikan SWF’, adalah ketika Bloomberg mempublikasikan artikel berjudul Japan to Invest $4 billion in Indonesia’s Sovereign Wealth Fund pada 4 Desember 2020 lalu, yang pada intinya menyebutkan bahwa Pemerintah akan mendirikan fund dengan nama Nusantara Investment Authority (belakangan berubah nama menjadi Indonesia Wealth Fund, atau LPI), yang akan beroperasi pada awal 2021, dan akan menarik investasi dari luar dengan target dana $16 milyar atau setara Rp225 trilyun. Dan setelah memastikan komitmen investasi dari Jepang, pemerintah yang diwakili oleh Menko Luhut Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir terbang langsung ke Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, untuk mengajak dua negara itu untuk juga berinvestasi di Indonesia melalui LPI. Belakangan upaya menarik investasi tersebut berhasil, sehingga tak lama kemudian, pada 25 Januari 2021, LPI resmi berdiri dengan modal awal Rp15 trilyun dari APBN (LPI baru memperoleh komitmen investasi dari Jepang dll, tapi realisasi penyaluran dananya tentu masih perlu waktu). Menurut Menkeu Sri Mulyani, LPI bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, membantu ekonomi nasional, dan terakhir menciptakan keuntungan bagi negara dan pada akhirnya bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Jadi kesimpulannya, LPI adalah lembaga investasi milik pemerintah yang mengelola dana milik negara luar, untuk kemudian diinvestasikan seluruhnya di Indonesia. Jadi ini kebalikan dengan definisi SWF diatas, dimana peran LPI disini adalah justru untuk menarik minat SWF milik negara-negara lain di seluruh dunia, untuk menempatkan investasi mereka di Indonesia. Tugas LPI disini sedikit berbeda dengan katakanlah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang mengatur segala jenis investasi/penanaman modal di Indonesia, sedangkan LPI fokus pada upaya menarik minat pemerintah asing, bukan swasta, untuk berinvestasi di Indonesia.

Fokus pada Infrastruktur

Sehingga dari sisi definisi, LPI bukanlah SWF, atau bisa tetap disebut sebagai SWF, namun cara kerjanya sangat berbeda dibanding SWF pada umumnya seperti katakanlah QIA, TLPF, atau CIC diatas. Tapi jika kita ambil contoh SWF milik Pemerintah India, dengan nama National Investment and Infrastructure Fund (NIIF) yang berdiri sejak tahun 2015, maka barulah NIIF ini mirip dengan LPI, dimana mereka menerima dana dari luar, salah satunya $1 milyar dari Abu Dhabi Investment Authority, untuk kemudian diinvestasikan di dalam negeri terutama untuk pembangunan infrastruktur. Nah, jadi seperti halnya NIIF, maka LPI ini juga fokusnya ke pembangunan infrastruktur di Indonesia, dan memang ketika negara berkembang menerima investasi dari luar, maka biasanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur (termasuk China, yang banyak menerima dana dari luar sejak tahun 1980-an untuk membangun jalan tol dll, dan sekarang mereka sudah menjadi negara maju). LPI kemudian bisa menjadi sumber dana alternatif bagi pemerintah untuk tetap mengebut pembangunan infrastruktur di seluruh negeri, karena disisi lain fokus APBN sejak era pandemi tahun 2020 lalu adalah pada upaya pemulihan ekonomi, dan penyaluran bantuan sosial.

Nah, jadi dari sinilah, karena upaya awal pemerintah untuk menarik komitmen SWF asing untuk menempatkan investasinya disini terbilang berhasil (sehingga kemudian LPI bisa didirikan), maka itu kemudian menjadi sentimen positif bagi saham-saham terkait infrastruktur itu sendiri, terutama BUMN konstruksi. Dan jika dibandingkan dengan cerita ‘pabrik baterai’ yang belum jelas kapan dan dimana akan dibangun, tapi sudah menaikkan saham Aneka Tambang (ANTM) dkk, maka penulis menganggap bahwa sentimen LPI ini lebih masuk akal, alias berpotensi kembali menaikkan kinerja Adhi Karya (ADHI) dkk di masa depan ketika mereka kembali memperoleh proyek-proyek baru dari Pemerintah karena, coba kita lihat lagi: LPI ini memang sudah berdiri/sudah ada, dan di belakangnya ada nama-nama yang sudah sangat berpengalaman untuk urusan investasi (Lord Luhut, dan Mas Erick), sehingga bukan tidak mungkin nanti akan ada negara lain lagi yang taroh duit disini.

Kemudian, berbeda dengan ANTM yang sejak 2015 lalu berencana membangun smelter feronikel di Halmahera Utara, tapi sampai hari ini belum kelar-kelar juga, maka sejak Pemerintah mulai mengebut pembangunan infrastruktur di tahun yang sama, maka anda bisa lihat sendiri di lapangan: Sekarang ini Indonesia punya banyak jalan tol, bandara, pelabuhan, bendungan, hingga MRT di Jakarta (dan LRT juga sebentar lagi selesai), termasuk mega-proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung juga tetap lanjut dikerjakan meski terjadi pandemi. Hasilnya, dalam lima tahun terakhir ini (diluar tahun 2020), maka nilai aset, ekuitas, dan pendapatan dari ADHI, PTPP, WSKT, hingga WIKA, memang naik signifikan semua, seiring dengan banyaknya proyek infrastruktur yang sudah mereka bangun, termasuk mereka berempat juga rutin bayar dividen ke pemegang saham dengan yield yang lumayan.

Sehingga, jika ada yang bilang bahwa sekarang prospek ADHI dkk menjadi menarik lagi karena adanya LPI, maka penulis sependapat. Sebelumnya penulis sendiri di sepanjang tahun 2020 lalu sempat menganggap bahwa konstruksi sudah game over, karena pembangunan infra hanya bisa jalan dengan dukungan dana pemerintah, tapi dalam kondisi resesi seperti sekarang maka mau tidak mau Pemerintah akan lebih mengalokasikan APBN untuk bantuan sosial masyarakat, yang sifatnya lebih urgent. Namun dengan adanya LPI ini, maka meski kurang tepat jika itu disebut sebagai ‘SWF’, tapi sektor konstruksi berpeluang untuk bangkit lagi di tahun 2021 ini dan seterusnya.

Tapi yah, balik lagi: Seiring dengan kenaikan IHSG, dan ditambah sentimen ‘SWF’ ini sejak kemunculannya awal Desember lalu, maka saham-saham yang tadi disebutkan sudah naik sangat tinggi sejak dua tiga bulan lalu, yakni ketika LPI ini sendiri bahkan baru saja berdiri sehingga belum memberikan dampak riil apa-apa terhadap kinerja perusahaan (ingat pula bahwa dana dari Jepang dll itu juga masih belum masuk/masih sebatas komitmen). Sehingga kalau anda baru mau masuk sekarang, maka itu sudah terlambat. Meski demikian, seperti yang kita ketahui, pasar/IHSG tidak akan selamanya naik, melainkan nanti juga akan ada masanya dia untuk turun. Dan jika saham-saham konstruksi kemudian balik lagi ke level harga yang lebih reasonable, maka penulis sendiri mungkin akan ikut masuk.

Jadi ya, untuk sekarang kita tunggu saja, tentunya sambil melihat perkembangan kinerja laporan keuangan emiten yang bersangkutan. Untuk diketahui, jika dibandingkan posisi tertingginya tahun 2014 lalu, yakni ketika beredar sentimen bahwa ‘pemerintah akan menggenjot infrastruktur’, maka posisi saham ADHI dkk saat ini relatif masih rendah. Tapi disisi lain, jika dibandingkan dengan posisi terendahnya pada market crash Maret 2020 lalu, maka saham-saham konstruksi juga sudah naik sangat tinggi dibanding sektor-sektor lainnya di BEI, ketika sebenarnya kinerja fundamentalnya masih drop, dan belum tentu beneran bakal naik lagi di tahun 2021 ini (ingat pula bahwa LPI ini sama sekali berbeda dengan misalnya QIA yang memang kebanyakan pegang duit, melainkan jika misalnya negara-negara luar batal invest disini, maka ya sudah bubar). Jadi kalaupun kita berasumsi bahwa saham-saham konstruksi tetap akan lanjut naik dalam jangka panjang/setahun kedepan, maka tetap akan ada periode cooling down-nya terlebih dahulu termasuk reality check ketika laporan keuangan ADHI dkk keluar, sebelum baru mereka akan jalan lagi. Sehingga sekali lagi, kita tidak perlu buru-buru.

Anyway, jika nanti ada perkembangan penting, maka tentu artikel ini akan di-update lagi, so just stay tune.

***

Video Seminar Value Investingbasic and advanced, bisa diperoleh disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar (jadwal berikutnya Sabtu, 20 Maret) secara gratis.

Komentar

Anonim mengatakan…
Saya pribadi tertarik dengan Waskita Pak Teguh, karena mendapat cukup banyak proyek dengan swf ini dan diuntungkan dengan divestasi jalan tolnya
salam sukses dari Kota Cirebon Pak Teguh
Anonim mengatakan…
Terima kasih pak. Request ttg artikel SWF dan dampaknya pada emiten konstruksi sudah dibahas. Sehat selalu pak 🙏
rudykawi mengatakan…
swf yang baik kan harusnya perusahaan negara jualan keluar negeri, kerjaan yang modal gede dan balik modalnya lama...tapi memanfaatkan currency sini atau negara asal bayar dollar masuk indonesia malah kalau bisa orang2 kita bisa keja disana digaji dari proyek yang ada disana...apa ngga salah konsep swf nya?

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)