Peluang Profit dari Saham Sawit

Indonesia, seperti yang mungkin anda ketahui, merupakan produsen minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) terbesar di dunia terutama sejak tahun 2006, dimana produksi CPO Indonesia ketika itu sudah lebih besar dibanding Malaysia. Sayangnya meski CPO sangat penting untuk bahan baku minyak goreng dan bahan makanan lainnya, produk-produk farmasi, kosmetik, hingga bahan bakar kendaraan bermotor, namun industri hilir CPO di Indonesia sama sekali belum berkembang, dimana kita selama ini cuma bisa mengolah CPO ini menjadi minyak goreng dan margarine saja, sedangkan kebutuhan minyak goreng di dalam negeri juga tidak sebesar itu. Alhasil surplus produksi CPO ini terpaksa diekspor keluar pada harga ‘berapapun asal laku’. Sehingga harga CPO itu sendiri, setelah sempat mencapai titik tertingginya yakni 4,000 Ringgit Malaysia per ton pada tahun 2011, kesininya dia cuma mondar mandir saja di RM2,000 – 3,000 per ton, tak peduli meski harga batubara dan komoditas lainnya sudah pada naik lagi sejak tahun 2016. Imbasnya kinerja perusahaan sawit di dalam negeri juga tidak pernah profit besar lagi seperti tahun 2011 lalu.

***

Ebook Investment Planning edisi Kuartal I 2021 yang berisi kumpulan analisa 30 saham pilihan sudah terbit! Dan Snda bisa langsung memesannya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio langsung dengan Teguh Hidayat untuk member.

***

Hingga tahun 2019, tepatnya di bulan Oktober, di Indonesia terjadi peristiwa penting terkait hilirisasi CPO: Pemerintah meluncurkan program biodiesel 30 atau disebut B30, yang merupakan campuran 70% minyak solar, dan 30% CPO, sebagai bahan bakar minyak kendaraan bermesin diesel. Program ini merupakan kelanjutan dari B20 yang sudah dijalankan sejak setahun sebelumnya (2018), yang terbukti sukses. Pada perkembangannya di sepanjang tahun 2020, program B30 ini juga ternyata sukses, sehingga sehingga ketika analisa ini ditulis maka Pemerintah melalui Pertamina juga sedang mengembangkan B50, yang merupakan campuran 50% minyak solar, dan 50% CPO.

Dan bagi penulis sendiri, inilah hilirisasi CPO yang sudah ditunggu-tunggu sebelumnya, dimana para perusahaan sawit di Indonesia tidak lagi terpaksa harus menjual CPO keluar negeri, tapi mereka juga bisa menjualnya ke Pertamina. Sedangkan bagi Pemerintah, adanya B30 (dan nanti B50) juga mengurangi kebutuhan negara akan impor minyak, jadi dampaknya ke ekonomi juga bagus. Sebagai catatan, pada tahun 2018, Pertamina sukses mendistribusikan 16 juta kiloliter solar B20 ke seluruh Indonesia, yang artinya terdapat 3.2 juta kiloliter CPO yang digunakan. Dengan asumsi berat CPO adalah 900 gram per liter, maka konsumsi CPO untuk biosolar mencapai kurang lebih 3 juta ton untuk tahun 2018, atau masih kecil dibanding total produksi CPO nasional sebesar 43 juta ton di tahun yang sama. Meski demikian itu merupakan awal yang sangat baik, dan untuk tahun 2019, 2020, dan seterusnya, bisa dipastikan bahwa konsumsi CPO untuk produksi biosolar di dalam negeri meningkat signifikan. Berdasarkan estimasi dari Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), konsumsi CPO untuk biosolar diperkirakan akan mencapai 8 juta ton untuk tahun 2021.

Kemudian karena suplai CPO di pasar internasional berkurang, maka otomatis harganya naik! Nah, jadi meski harga CPO juga sempat drop hingga sesaat dibawah RM2,000 pada Mei 2020 lalu karena efek kekhawatiran terjadinya resesi karena pandemi, tapi kemungkinan karena kebutuhan CPO itu sendiri tidak benar-benar turun seperti yang dikhawatirkan, sedangkan disisi lain eskpor CPO asal Indonesia juga berkurang karena sekarang CPO itu lebih banyak diserap di dalam negeri, maka jadilah harga CPO meroket hingga sempat tembus RM4,000 per ton pada Maret 2021, alias sudah menyamai titik tertingginya pada tahun 2011 lalu. Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sepanjang tahun 2020, Indonesia mengekspor 34.0 juta ton CPO, turun dibanding tahun 2019 sebesar 37.4 juta ton, namun nilai ekspor tersebut tercatat $23.0 milyar, naik dibanding tahun 2019 senilai $20.2 milyar, karena kenaikan harga CPO itu sendiri di pasar internasional.

However, ketika saya mempelajari laporan keuangan beberapa emiten sawit di Indonesia untuk tahun penuh 2020, maka meski laba bersih mereka rata-rata naik signifikan, tapi angkanya masih kecil/ROE-nya dibawah 10%. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa, jika di kemudian hari harga CPO turun lagi, dan itu mungkin saja terjadi mengingat posisi harga CPO saat ini sudah sangat tinggi, maka laba perusahaan sawit di Indonesia mungkin akan turun lagi, dan demikian pula harga sahamnya di bursa efek akan turun.

Tapi kemudian saya melihat dua faktor penting. Pertama, setelah Pemerintah Amerika Serikat kembali meluncurkan stimulus ketiga pada 12 Maret 2021 senilai $1.9 trilyun, uang Dollar baru itu kemudian masuk ke banyak instrumen investasi termasuk di pasar futures komoditas. Yep, jika anda perhatikan, maka harga-harga komoditas hampir semuanya naik signifikan sejak awal tahun 2021 ini, tidak terkecuali CPO. Dan itu artinya, meskipun belum tentu juga harga CPO akan lanjut naik, tapi dia gak bakal turun juga karena faktor stimulus itu tadi, plus posisi Indonesia terkait hilirisasi CPO pada hari ini sudah jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu, sedangkan permintaan CPO itu sendiri akan meningkat seiring pemulihan ekonomi pasca resesi. Kedua, pada akhir tahun 2020, harga CPO tercatat RM3,500 per ton. Karena pada tahun 2020 harga CPO juga pernah sangat rendah dibawah RM2,000, maka jika dirata-ratakan, harga CPO di sepanjang tahun 2020 masih dibawah RM3,000 per ton. Barulah di tiga bulan pertama di tahun 2021, harga CPO berada di rentang RM3,250 – 4,050 per ton, sehingga rata-ratanya sekitar naik menjadi RM3,700.

Dan itu artinya, meski diatas disebutkan bahwa kinerja keuangan perusahaan sawit untuk tahun 2020 terbilang biasa-biasa saja, tapi untuk laporan keuangan berikutnya di Kuartal I 2021, maka barulah kemungkinan mereka akan melaporkan keuntungan yang besar.

Maka ketika itu terjadi, itu akan menjadi alasan yang sangat bagus bagi saham perusahaan sawit yang bersangkutan untuk naik signifikan. Pertanyaannya sekarang, saham sawit apa yang paling menarik?

Dan pilihan saya jatuh ke PT PP London Sumatra, Tbk (LSIP), anak usaha Grup Indofood yang 96% pendapatannya berasal dari perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2011, ketika harga CPO juga sempat tembus RM4,000 per ton, perusahaan membukukan laba bersih Rp1.7 trilyun, tapi setelah itu cenderung terus turun hingga hanya Rp254 milyar di tahun 2019, sebelum kemudian naik lagi menjadi Rp695 milyar di tahun 2020. Perlu diketahui bahwa di tahun 2019, harga CPO sempat sangat rendah di level RM1,900 per ton (terendah sejak tahun 2008), dan barulah di tahun 2020, harga CPO naik lagi hingga RM3,600 per ton, dimana itu menjelaskan kenaikan laba LSIP di tahun 2020. Kemudian karena sepanjang Kuartal I 2021, harga CPO naik lebih tinggi lagi hingga RM4,000 per ton, maka hampir bisa dipastikan laba LSIP akan naik lebih tinggi lagi.

Logo PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra, Tbk

Menariknya pada harga Rp1,325, PBV LSIP hanya 1.0 kali, jelas masih murah dengan mempertimbangkan prospeknya yang cerah. Balik lagi ke tahun 2010 – 2011, setelah perusahaan untuk pertama kalinya membukukan laba tahunan diatas Rp1 trilyun, dengan ROE yang juga istimewa yakni 32.7% di tahun 2011, maka sahamnya ketika itu naik dari 1,500 hingga tembus 3,000 pada awal tahun 2012, dan perusahaan juga membayar dividen Rp100 per saham di tahun 2012 tersebut. Mempertimbangkan harga CPO saat ini yang sudah sama dengan tahun 2011 lalu, sedangkan disisi lain harga sahamnya justru lebih rendah (Rp1,325), maka mari kita lihat apakah LSIP untuk tahun 2021 ini juga bisa membukukan laba lebih dari Rp1 trilyun, sehingga sahamnya juga akan naik hingga mecapai posisi tertingginya di tahun 2012 lalu, atau bahkan lebih tinggi lagi.

*)Artikel ini juga dipublish di Majalah Forbes Indonesia edisi Mei 2021. Ketika artikel ini diposting, Avere sedang dalam posisi memegang LSIP di harga beli Rp1,325 per saham. Posisi ini bisa berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.

***

Ebook Investment Planning edisi Kuartal I 2021 yang berisi kumpulan analisa 30 saham pilihan sudah terbit! Dan Snda bisa langsung memesannya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio langsung dengan Teguh Hidayat untuk member.

Komentar

Wiskundig mengatakan…
Hi Pak, kenapa bukan SMAR yang lebih menarik ya untuk saham sawit kalau pertimbangannya adalah PBV & PER? Thanks
Yudi mengatakan…
analsia bagus pak teguh, pola pikir dianalisa lsip pak teguh mirip dengan saya. hanya saja pak teguh melupakan kalau pajak cpo 60% artinya setiap kenaikan cpo 100 point, emiten cuma menikmati kenaikan 40 point. jadi target lsip paling pbv 2x, kalau sampai 3-4 kali sepertinya berat mengingat cpo pajaknya 60%.
Ibrahim F mengatakan…
@Wiskundig

karena valuasi itu langkah terakhir, yg pertama adalah fundamentalnya.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)