Mengupas Penyebab Masalah Utang Sritex (SRIL)

Pada hari Kamis, 25 Maret 2021, setelah sebelumnya ramai beritanya di media massa, manajemen PT Sri Rejeki Isman, Tbk atau PT Sritex (SRIL) akhirnya merilis keterbukaan informasi bahwa benar perusahaan sedang menghadapi kasus hukum pengadaan tas bansos Covid-19. Selang empat hari kemudian, pada 29 Maret 2021, SRIL kembali merilis keterbukaan informasi bahwa benar dua lembaga pemeringkat, yakni Moody’s dan Fitch, telah menurunkan rating utang perusahaan, yang disebabkan oleh proses perpanjangan waktu jatuh tempo salah satu utang SRIL yang hingga tanggal 29 Maret tersebut masih belum tuntas/perusahaan masih belum mencapai kesepakatan dengan pihak bank. Ketika dua keterbukaan informasi di atas dirilis, saham SRIL berada posisi 200 – 210, alias sudah turun cukup signifikan dibanding posisi tertingginya di bulan Desember 2020 di 290.

***

Ebook Investment Planning edisi Kuartal I 2021 sudah terbit! Dan Anda bisa langsung memesannya disini.

***

Kemudian pada webinar tanggal 6 Februari 2021 (tonton videonya disini), penulis mengatakan bahwa saham SRIL, yang ketika itu berada di posisi 256, terbilang cukup menarik, dan saya sendiri berencana untuk membelinya jika dapat di harga 190. However pada saat itu belum muncul kasus bansos, ataupun masalah penurunan rating utang seperti yang disebut di atas. Alhasil ketika saham SRIL benar-benar turun ke 190 pada tanggal 5 April, saya tidak jadi beli dan memutuskan untuk wait and see.

Sebab ketika penulis mempelajari lagi kedua kasusnya, maka terkait kasus bansos-nya, tidak ada informasi lebih lanjut. Namun terkait kasus penurunan rating utang SRIL, maka penulis menemukan bahwa pada tanggal 11 Januari 2021, SRIL sempat mengumumkan rencana penerbitan obligasi senilai $325 juta di Singapura, tapi pada tanggal 28 Januari, kembali diumumkan bahwa rencana tersebut batal. Tidak dijelaskan apa alasan penerbitan utang tersebut, dan juga apa alasan pembatalannya kecuali disebutkan bahwa ‘keadaan pasar belum mendukung’. Namun setelah Moody’ dan Fitch beberapa waktu kemudian menurunkan rating utang SRIL, maka penulis mengambil kesimpulan: SRIL memiliki utang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat yang tidak bisa dilunasi, dan itu sebabnya perusahaan berencana menerbitkan utang obligasi baru meskipun per akhir tahun 2020, SRIL tercatat masih memiliki utang obligasi $360 juta (jadi utang baru itu akan digunakan untuk membayar utang lama). Namun karena manajemen tidak mampu menemukan kreditor untuk obligasi barunya di atas, maka rating utangnya turun.

Dan jika manajemen tidak segera memperoleh utang baru, maka bukan tidak mungkin SRIL pada akhirnya akan benar-benar gagal bayar utang (default). Dan ternyata benar: Pada tanggal 15 April, SRIL merilis kronologis proses perpanjangan utangnya (yang gagal dilakukan) sebagai berikut. Klik gambar untuk memperbesar.



Kemudian di laporan keuangannya per tahun penuh 2020, SRIL tercatat memiliki utang bank jangka pendek senilai total $278 juta, termasuk utang Rp500 milyar (setara $35 juta) dari PT Bank QNB Indonesia, Tbk (BKSW) yang sejatinya jatuh tempo pada tanggal 1 Juli 2020, tapi kemudian diperpanjang hingga tanggal 1 April 2021 (sudah lewat, sekarang sudah tanggal 29 April, dan belum ada informasi apakah pihak BKSW setuju untuk kembali memperpanjang jatuh temponya atau tidak). Nah, awalnya penulis sendiri menganggap bahwa SRIL seharusnya bisa membayar utang $35 juta tersebut, mengingat posisi kas perusahaan mencapai $188 juta pada akhir tahun 2020.

Tapi adanya fakta bahwa pihak perusahaan sudah berusaha memperpanjang jatuh tempo utang bank-nya sejak bulan November 2020 (lihat lagi kronologis di atas), dan juga sempat berencana menerbitkan surat utang baru untuk membayar utang lamanya namun batal, membuat penulis penasaran dengan laporan arus kas SRIL. Dan ternyata benar: Sepanjang tahun 2020, SRIL mengambil utang bank jangka pendek senilai total $221 juta. Kemudian meski perusahaan membukukan laba bersih $85 juta di sepanjang tahun 2020, namun arus kas operasionalnya justru minus $59 juta.

Sehingga, karena posisi kas SRIL pada akhir tahun 2020 hanya $188 juta, maka bisa disimpulkan bahwa SRIL tidak punya cukup dana kas untuk melunasi semua utang bank jangka pendeknya, baik yang sudah maupun akan jatuh tempo, karena disisi lain dalam setahun terakhir operasional perusahaan juga tidak menghasilkan kas/malah mengurangi kas. Kemudian dalam kondisi ekonomi yang masih dihantui pandemi, maka ada juga kemungkinan SRIL tidak bisa menagih/mengkonversi sebagian piutang usaha jangka pendeknya menjadi uang kas, karena pihak yang ditagih juga sedang kesulitan keuangan. Dan memang untuk tahun 2020, manajemen SRIL mencatat cadangan kerugian penurunan nilai piutang sebesar $2 juta, dimana meski angka segitu relatif kecil dibanding nilai total piutang itu sendiri sebesar $345 juta, tapi itu adalah kali pertama SRIL mencatat cadangan kerugian piutang yang cukup besar. Yup, sebelumnya antara tahun 2016 – 2019, angka cadangan kerugian piutang SRIL tidak berubah di level $51 ribu.

Pangkal Masalah = Spekulasi oleh Manajemen

Jika kita runut lagi, maka pangkal masalah utang SRIL hari ini adalah karena perusahaan mengambil banyak utang jangka pendek di Semester Dua 2020 (dan tidak dijelaskan juga duitnya buat apa, kecuali sebatas disebut untuk operasional), dimana itu bertentangan dengan pernyataan manajemen yang disampaikan pada public expose SRIL di bulan Juli 2020, yakni bahwa rasio utang jangka panjang perusahaan akan dijaga agar selalu lebih besar dibanding utang jangka pendeknya, untuk mencegah kemungkinan gagal bayar karena kondisi ekonomi memang masih resesi. Tapi pada kenyataannya, per tanggal 30 Juni 2020, liabilitas jangka pendek SRIL memang masih $232 juta, berbanding liabilitas jangka panjangnya sebesar $786 juta. Namun enam bulan kemudian yakni pada akhir tahun 2020, liabilitas jangka pendek tersebut membengkak menjadi $398 juta, ketika utang jangka panjangnya hampir tidak berubah di level $781 juta.

Jadi kalau penulis melihatnya begini: Pada Maret – Mei 2020, kita tahu bahwa Indonesia dan juga dunia sedang parah-parahnya dilanda pandemi, dimana PSBB/lockdown juga masih secara ketat diberlakukan dimana-mana. Namun memasuki bulan Juni-nya, mulai diperkenalkan kebijakan new normal, dimana orang-orang sudah boleh keluar rumah dan beraktivitas seperti biasa, meski dengan menerapkan protokol kesehatan. Terkait hal ini, kemungkinan manajemen SRIL mengambil utang untuk ekspansi usaha karena berspekulasi bahwa pandeminya sebentar lagi juga bakal selesai, dan ekonomi termasuk permintaan produk-produk tekstil akan kembali pulih atau bahkan booming. However, karena pihak bank juga sedang kesulitan likuidasi (karena, masih ingat setahun lalu, Pemerintah menyuruh perbankan untuk memberikan relaksasi/perpanjangan jatuh tempo kredit untuk pengusaha/pelaku UKM), maka bank hanya mau memberikan pinjaman jangka pendek, bukan jangka panjang.

Sayangnya sampai awal tahun 2021 ini, ternyata pandeminya masih terjadi, dan SRIL ternyata kesulitan likuiditas karena meski perusahaan membukukan laba positif di sepanjang tahun 2020 (dan laba tersebut hanya turun sedikit dibanding 2019), namun arus kas operasionalnya sejatinya negatif. Maka jadilah sejak November 2020, manajemen SRIL sudah berusaha mencari utangan baru untuk membayar utang jangka pendeknya yang akan segera jatuh tempo pada bulan Juli 2021 dan seterusnya (dan sebagian memang sudah jatuh tempo pada April 2021 ini), namun sayangnya upaya tersebut belum berhasil, setidaknya sampai hari ini.

Puncaknya pada tanggal 19 April 2021, sebuah perusahaan konstruksi dengan nama CV Prima Karya menggugat PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) terhadap SRIL dan tiga anak usahanya ke Pengadilan Niaga Semarang, dengan nilai gugatan Rp5 milyar. Disusul pada tanggal 20 April, giliran BKSW menggugat PT Senang Kharisma Tekstil sekaligus owner-nya, Bapak Iwan Setiawan Lukminto dan Ibu Megawati, yang juga merupakan pasangan suami istri pemilik SRIL, dengan nilai gugatan Rp101 milyar. PT Senang Kharisma sendiri diketahui bukan merupakan anak usaha SRIL, tapi dimiliki oleh pemilik yang sama yakni Iwan Setiawan Lukminto dan istrinya, sehingga merupakan pihak berelasi. Nama Iwan Setiawan disebut dalam gugatan karena utang di atas dijamin bukan dengan aset, melainkan dijamin dengan janji tertulis oleh Iwan Setiawan sendiri bahwa utang tersebut akan dibayar (istilahnya personal guarantee). Nah, kalau anda baca lagi ulasan di atas, maka selain piutangnya ke PT Senang Kharisma, BKSW juga punya piutang ke SRIL senilai Rp500 milyar yang sejatinya sudah jatuh tempo tanggal 1 April 2021 kemarin. Tapi yang sekarang sedang di-PKPU-kan ternyata bukanlah utang yang Rp500 milyar tersebut, melainkan beda lagi.

Kemudian dari dua gugatan di atas, penulis menyoroti sejumlah hal. Pertama, nilai gugatan dari CV Prima sejatinya sangat kecil, cuma Rp5 milyar. Tapi jika utang sekecil itu saja sampai harus PKPU, maka artinya SRIL (dan juga tiga anak usahanya) benar-benar sedang kesulitan uang kas. Kedua, yang menggugat adalah perusahaan konstruksi, yang itu artinya manajemen SRIL dalam setahun terakhir mengabaikan kondisi pandemi (atau kelewat optimis bahwa pandeminya bakal segera selesai) dengan terus ekspansi membangun pabrik atau semacamnya, tapi ketika kondisinya tidak segera pulih seperti yang diharapkan, maka jadilah perusahaan gak bisa bayar kontraktor. Ketiga, seperti kebanyakan pengusaha besar lainnya, Iwan Setiawan Lukminto punya sejumlah perusahaan selain yang ditempatkan dibawah SRIL, dan ternyata untuk perusahaan diluar SRIL ini juga banyak mengambil utang untuk ekspansi meski di masa pandemi. Keempat, untuk memperoleh utang untuk PT Senang Kharisma, Bapak Iwan Setiawan menjaminkan personal guarantee, bukan aset milik PT Senang Kharisma itu sendiri, yang kemungkinan karena sebagian besar aset-aset tersebut sudah dijaminkan semuanya untuk utang yang lainnya lagi. Dengan kata lain, kemungkinan besar PT Senang Kharisma ini juga sama ‘keberatan’ utang seperti hal-nya SRIL. Terakhir kelima, nama Ibu Megawati juga disebut dalam gugatan, yang itu artinya ketika BKSW memberikan pinjaman ke PT Senang Kharisma, maka mereka meminta personal guarantee tidak hanya dari Bapak Iwan Setiawan, tapi juga dari istrinya tersebut. Ini menunjukkan bahwa pihak BKSW sejak awal menganggap bahwa piutangnya ke PT Senang Kharisma berisiko cukup tinggi untuk gagal bayar, sehingga meski mereka tidak bisa memperoleh jaminan aset, tapi minimal mereka memegang personal guarantee dari dua orang pemilik perusahaan sekaligus.

Kesimpulannya, well, bisa dibilang bahwa SRIL sedang menghadapi masalah utang yang serius, dan pihak manajemen juga sudah mengakui bahwa adanya dua PKPU ini menyebabkan perusahaan menjadi lebih sulit lagi untuk memperoleh pinjaman baru dan/atau memperpanjang jatuh tempo utang yang sudah ada. Sebenarnya kalau ingin masalahnya cepat selesai, maka solusi termudah adalah divestasi/likuidasi aset-aset tertentu milik perusahaan, tapi itu artinya sama seperti cut loss karena harga jual aset/-aset tersebut pasti anjlok, dan jika solusi itu yang dipilih maka SRIL akan melaporkan rugi divestasi pada Kuartal I atau Kuartal II 2021 ini (sama seperti PGAS yang tiba-tiba saja melaporkan rugi Rp3 trilyun lebih di tahun penuh 2020, karena masalah pajaknya). Sehingga kemungkinan manajemen tetap akan berupaya memperoleh utangan baru, bagaimanapun caranya.

Okay, lalu bagaimana dengan sahamnya? Nah, kalau anda baca lagi artikel di blog ini yang berjudul value trap, maka penulis disitu mengatakan bahwa kita harus hati-hati dengan perusahaan yang bermasalah dengan utang, sebab itu bisa membuat perusahaan bangkrut, dan kalau demikian maka kemungkinan terburuknya sahamnya bisa di-suspen atau delisting. Unfortunately, meski pada tahun 2019 lalu penulis mengatakan SRIL ini bagus dan no problem (catat: Per Kuartal II 2019, SRIL hanya mencatat liabilitas jangka pendek $77 juta, termasuk utang bank jangka pendek $22 juta, berbanding aset lancarnya $755 juta, dan arus kas operasionalnya ketika itu juga masih positif), tapi kondisinya pada hari ini sudah berbalik 180 derajat.

Jadi selama manajemen SRIL belum mencapai solusi konkrit untuk masalah utang-utangnya (selain dua PKPU diatas, ada kemungkinan SRIL/Bapak Iwan akan kena PKPU lainnya lagi, karena memang utangnya yang bakal jatuh tempo dalam waktu dekat masih banyak), entah itu dalam bentuk utangan baru atau lainnya, maka keputusan untuk membeli atau meng-hold sahamnya untuk saat ini lebih dekat dengan spekulasi ketimbang investasi. Dalam hal ini juga penulis teringat dengan Modernland Realty (MDLN), yang sekarang sahamnya sudah di-suspen (dan terancam delisting) setelah perusahaan benar-benar gagal membayar salah satu utang obligasinya sebagai imbas dari pandemi corona, padahal saham MDLN ini juga termasuk yang penulis anggap cukup bagus ketika saya membahasnya untuk pertama kali di blog ini pada tahun 2013.

Anyway, sisi optimisnya adalah SRIL ini perusahaan besar, sangat besar, dan juga termasuk perusahaan padat karya yang mempekerjakan 17 ribu karyawan tetap (per akhir tahun 2020), belum termasuk buruh kontrak/outsourcing. Sehingga secara teori dia too big to fail, dan bahkan bukan tidak mungkin pula negara akan turun tangan membantu. Tapi intinya penulis sendiri untuk saat ini akan wait and see menunggu perkembangan kasusnya, dan juga perkembangan laporan keuangan perusahaan. Ada yang pegang/berencana membeli SRIL disini?

***

Ebook Market Planning edisi Mei 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member, dan tersedia diskon selama IHSG dibawah 6,200.

Dapatkan postingan via email

Komentar

Anonim mengatakan…
Rasanya nggak minat dengan perusahaan tekstil, capital intensif dan labor intensif. Mesin2nya semua Impor. Kasus yang cukup besar sebelumnya dan perusahannya juga berlokasi sama2 Solo adalah Duniatex. Mereka ini saingan berat dan tidak akur, tapi Duniatex koleps lebih dahulu.
Suyono mengatakan…
Sudah beberapa tahun terakhir mungkin sejak 2013, Laba tahun berjalan dilaporkan lumayan ok, tapi cashflow operasional selalu di bawah laba dan terkadang juga minus. Ditambah sudah seret cashflow operasional, namun selalu nambah capex melalui loan.

Perusahaan yg padat modal/capex alias biaya depresiasi besar, sewajarnya cashflow operasional LEBIH BESAR dari Laba.

SRIL sudah "masalah" sebelum pandemic, kenapa bisa cashflow seret? mungkin karena cashconvertioncylcle makin lama tiap tahun? Kenapa bisa, mungkin overvalue di persediaan, jadi HPP undervalue, dan hal lainnya.

Belum lagi remunerasi management yg naik terus dan tinggi.



halley mengatakan…
Emiten tekstil sepertinya sulit semua
christian mengatakan…
cashflow mereka jadi negatif terlihat karena penjualan tidak dibayarkan semua dan jadi piutang itu USD 72 juta, dan terjadi kenaikan pada jumlah persedian sebesar 133 juta USD .. total jadi mereka negatif hampir 200 juta USD , blm mesti bayar utang jangka menengah 40 juta dan utang jangka pendek 11 juta... jadi lah mrk pinjam lagi 221 juta USD ... dan sekarang yg pinjaman itu 221 juta disuruh bayar ... plus yg akan jatuh tempo di 2022 sindikasi bank yg 300 jutaan disuruh bayar juga ... :D hasilnya ngak ada duit cash :D

pointnya mrk itu duit mrk jadi piutang dan jadi bahan baku dalam proses ... permasalahannya itu apakah bahan baku dalam proses itu terjadi banyak krn pemesanan dibatalkan , dan apakah piutang yakin bisa dibayar ? dan apakah penjualan tetap bisa mencapai 1 B USD ? dan bener bener dibayar bukan hanya jadi piutang :D
Joni mengatakan…
SRIL ini kalo ga salah kan terkenal buat pakaian militer. 2020 gegara pandemi banyak negara customer mungkin cut anggaran defense dialihkan ke penanganan covid-19. Nah yang paling gampang di-cut ya buat seragam kan yg msh ada bisa extend 1-2 thn ga perlu seragam baru. Saking desperatenya sampe proyek tas bansos yg nyerempet2 juga diambil. Kasihan juga sih sebetulnya..

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)