Prospek Indofood CBP (ICBP) Setelah Akuisisi Pinehill

Ketika saham PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), yang merupakan anak usaha dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), menggelar IPO dan melantai di bursa untuk pertama kalinya pada 7 Oktober 2010 lalu, maka penulis menyambutnya dengan antusias. Sebab meski induk dari ICBP, yakni INDF, identik dengan merk mi instan legendaris, Indomie, namun cakupan bisnis INDF sejatinya jauh lebih luas dibanding sekedar jualan Indomie ataupun produk-produk makanan lainnya. Yup, secara umum bisnis INDF terbagi menjadi empat segmen: 1. Perkebunan kelapa sawit, CPO dan produk turunannya, melalui PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), 2. Produk konsumer bermerk termasuk Indomie melalui ICBP, 3. Tepung terigu melalui Bogasari, dan 4. Distribusi melalui PT Indomarco Adi Prima.

***

Video Seminar Terbaru tahun 2021: Value Investing Bacis and Advanced, bisa diperoleh disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar pada hari Sabtu, 17 April 2021, secara gratis.

***

Kemudian jika dilihat dari komposisi aset, maka bisnis terbesar INDF juga bukan di Indomie melainkan perkebunan kelapa sawit, sedangkan kita tahu bahwa bisnis sawit ini tidak menawarkan profit konsisten dalam jangka panjang, karena sangat bergantung pada naik turunnya harga crude palm oil (CPO) di pasar internasional. Nah, jadi dengan melantainya ICBP, maka alih-alih INDF, investor yang fanatik Indomie bisa membeli ICBP ini saja (CBP itu sendiri adalah singkatan dari consumer brand products, alias produk konsumer bermerk). Anda bisa baca lagi ulasannya disini.

Portofolio merk produk milik ICBP

Masalahnya, meski INDF ketika itu memiliki utang yang relatif tidak terlalu besar, tapi hampir semua utang-utang tersebut ditempatkan di ICBP, dimana per Kuartal I 2010, ICBP memiliki total liabilitas Rp8.6 trilyun, jauh diatas ekuitasnya yang hanya Rp1.2 trilyun. Dan memang dari IPO-nya ketika itu, sekitar 70 – 80% dananya akan digunakan untuk membayar utang, sisanya baru untuk modal kerja, sehingga prospek ICBP tidak menjadi lebih cerah karena hampir gak ada ekspansi apapun pasca IPO-nya. Kemudian yang juga kelewatan menurut penulis adalah harga sahamnya yang amat sangat mahal. Yup, harga perdana saham ICBP ditetapkan Rp5,395 (sebelum stocksplit, setara Rp2,697 setelah stocksplit) dimana dana yang diperoleh adalah Rp6.3 trilyun, dan pada harga segitu maka market cap ICBP adalah.. Rp31.5 trilyun. Nah, jadi bahkan kalau dana hasil IPO-nya ditambahkan ke ekuitas ICBP, sehingga ekuitas ICBP setelah IPO menjadi Rp7.5 trilyun, maka market cap segitu tetap saja sangat tinggi, dimana PBV ICBP menjadi 4.1 kali.

Karena itulah, pada analisa berikut ini yang penulis posting bulan September 2010 lalu, saya katakan bahwa sahamnya baru cukup menarik pada harga 3,000-an, atau setara 1,500-an setelah stocksplit. Pada perkembangannya, meskipun ICBP kemudian benar turun tak lama setelah tanggal perdagangan perdananya, namun titik terendah yang dicapai adalah di 2,175 pada bulan Februari 2011, dan setelah itu dia naik lagi.. dan terus naik. Karena di kemudian hari kinerja perusahaan benar-benar terbukti jauh lebih baik dibanding INDF sebagai induknya. Yup, antara tahun 2011 sampai dengan 2015, maka pendapatan, laba bersih, dan ekuitas ICBP terus naik secara konsisten setiap tahunnya, ROE-nya stabil di 20%, sedangkan liabilitasnya cenderung hanya naik sedikit. Pada tahun 2015, atau hanya lima tahun setelah IPO, ICBP sudah mencatat ekuitas Rp16.4 trilyun, atau sudah secara signifikan lebih besar dibanding liabilitasnya senilai Rp10.2 trilyun, sedangkan pendapatannya sudah tembus Rp31.7 trilyun, dengan laba bersih Rp3.0 trilyun. Hebatnya lagi, pertumbuhan kinerja yang terbilang pesat tersebut dicapai ketika ICBP rutin membayar dividen jumbo! Yang sebesar sekitar 50% laba bersihnya setiap tahun.

Alhasil, meski sahamnya tidak selalu naik sepanjang waktu (antara Juni – September 2013, seiring koreksi IHSG ketika itu, ICBP juga anjlok dari 6,500 ke 4,500), tapi pada akhir tahun 2015, saham ICBP sudah kokoh di posisi 7,000-an, atau naik total tiga kali lipat dalam waktu lima tahun (jika dihitung dari posisi terendahnya di bulan Februari 2011), dan setelah itupun ICBP tetap lanjut naik hingga menyentuh all time high-nya di 12,400 pada Oktober 2019 lalu. Pada akhir tahun 2019 tersebut, ICBP tetap menunjukkan neraca yang sehat dan kinerja laba rugi yang terus bertumbuh, dengan ekuitas Rp25.3 trilyun, liabilitas Rp12.0 trilyun, pendapatan Rp42.3 trilyun, dan laba bersih Rp5.0 trilyun.

Akuisisi Pinehill = Utang Lagi

Hingga pada tahun 2020 kemarin, ICBP melakukan aksi korporasi yang sangat signifikan: Perusahaan mengambil pinjaman sindikasi dari sejumlah bank di dalam negeri maupun luar negeri, dalam mata uang US Dollar, Rupiah, dan Yen, senilai total Rp29.1 trilyun, dimana dana tersebut, setelah ditambah dana kas internal milik perusahaan, digunakan untuk mengakuisisi Pinehil Company Ltd senilai $2,998 juta, dibulatkan menjadi $3 milyar. Masalahnya Pinehill ini diketahui dimiliki oleh Anthoni Salim (melalui perusahaan bernama Pinehill Corpora), yang notabene merupakan owner dari Grup Salim, pemegang saham pengendali INDF dan dengan demikian merupakan pemilik dari ICBP. Kemudian nilai ekuitas Pinehill itu sendiri pada akhir tahun 2019 hanya $246 juta, sehingga harga akuisisinya jelas amat sangat mahal (PBV 12.0 kali!). Maka dari itu muncul anggapan bahwa transaksi akuisisi Pinehill ini hanya menguntungkan Om Anton, tapi sebaliknya merugikan ICBP. Imbasnya ketika pada Mei 2020, ICBP merilis keterbukaan informasi berisi kepastian bahwa mereka akan mengakuisisi Pinehill, maka sahamnya langsung autoreject bawah tiga hari berturut-turut dari 10,000 sampai sempat dibawah 8,000, sebelum kemudian naik lagi.

Dan memang ketika ICBP merilis laporan keuangannya untuk tahun penuh 2020, maka dampak ‘negatif’ dari akuisisi Pinehill ini, jika memang bisa disebut demikian, langsung tercermin di neraca perusahaan: Total liabilitas perusahaan melonjak empat kali lipat menjadi Rp53.3 trilyun. Dan nilai total aset ICBP juga lompat menjadi Rp103.6 trilyun, dimana Rp54.0 trilyun diantaranya merupakan aset goodwill, yang sebagian besar (Rp52.2 trilyun) timbul karena akuisisi Pinehill. Yang dimaksud goodwill adalah aset tak berwujud yang timbul dari selisih harga beli suatu aset dibanding nilai wajar aset tersebut. Karena seperti disebut diatas, ICBP mengakuisisi Pinehill senilai $3 milyar atau setara Rp43.9 trilyun, sementara nilai wajar untuk Pinehill dianggap Rp10.8 trilyun (catatan: Nilai wajar biasanya lebih tinggi dibanding ekuitas, dimana angka nilai wajar/nilai intrinsik ini dihitung menggunakan rumus tertentu), maka terdapat selisih goodwill Rp33.1 trilyun. Kemudian karena pada anak-anak usaha Pinehill terdapat kepentingan non pengendali yang tidak dimiliki oleh Pinehill dan karenanya tidak dimiliki oleh ICBP, senilai total Rp19.1 trilyun, maka total goodwill-nya menjadi 33.1 + 19.1, sama dengan Rp52.2 trilyun.

Dan ini juga merupakan kali pertama penulis melihat bahwa goodwill yang timbul dari suatu akuisisi nilainya lebih besar dibanding nilai akuisisi itu sendiri, dimana itu juga menunjukkan bahwa harga akuisisinya amat sangat mahal. Yang perlu dicatat disini adalah, sesuai peraturan standar akuntansi, maka ICBP harus menghitung ulang nilai goodwill tersebut minimal satu kali setahun dengan menyertakan akumulasi penyusutan atas nilai wajar dari aset yang diperoleh. Bahasa mudahnya, jika Pinehill tidak menghasilkan kinerja/laba bersih seperti yang diharapkan, maka nilai goodwill di atas akan turun, dan ICBP akan mencatat penurunan nilai goodwill tersebut sebagai kerugian amortisasi (penyusutan aset tak berwujud) pada laporan laba rugi. Mengingat nilai goodwill itu sendiri sangat besar, maka kerugian amortisasi ini juga bisa sangat besar, hingga bisa saja menyapu habis laba bersih (yang diperoleh dari operasional) ICBP secara keseluruhan.

Nah, jadi sampai disini, maka prospek ICBP ini justru jadi mengkhawatirkan bukan? Apalagi pada akhir tahun 2020, dimana kinerja Pinehill sudah dikonsolidasikan, maka pendapatan ICBP hanya naik 10.3%. Pada tahun 2019, laba bersih Pinehill setelah dikurangi bagian kepentingan non pengendali tercatat $43.2 juta, atau sekitar Rp600 milyar. Nah, katakanlah untuk tahun 2020, laba tersebut naik 20% menjadi Rp720 milyar. Maka angka laba segitu tentu sulit untuk dikatakan sepadan dengan harga akuisisinya yang mencapai Rp43.9 trilyun bukan?

ICBP tetap bagus untuk jangka panjang, tapi..

Meski demikian, ada juga sejumlah faktor penting yang mendukung analisa bahwa akuisisi Pinehill ini pada akhirnya tetap akan menguntungkan ICBP dalam jangka panjang. Pertama, terkait Pinehill itu sendiri, itu adalah perusahaan holding yang memegang sejumlah anak usaha yang bergerak di bidang produksi dan distribusi mi instan merk Indomie di Arab Saudi, Nigeria, Mesir, Turki, Serbia, Ghana, Maroko, dan Kenya. Jumlah penduduk di negara-negara tersebut, plus negara-negara di sekitarnya, adalah total 885 juta jiwa, alias tiga kali lebih besar dibanding penduduk Indonesia sebesar 274 juta jiwa, sedangkan disisi lain tingkat konsumsi mi instan per kapita di Arab Saudi dkk baru sekitar seperempat konsumsi mi instan di Indonesia, sehingga potensi pertumbuhannya masih sangat terbuka lebar.

Kedua, pada perjanjian akuisisi Pinehill, terhadap klausul ‘jaminan keuntungan’ dimana jika laba bersih yang dihasilkan Pinehill kurang dari $128.5 juta masing-masing pada tahun 2020 dan 2021, maka harga akuisisinya yang $3 milyar tadi akan disesuaikan, alias diturunkan. Jadi pada tahun 2022 nanti, jika memang Pinehill tidak mampu men-deliver laba bersih sesuai batas minimal di atas, maka ICBP akan menerima sebagian uangnya kembali. Klausul ini sekaligus menghapus, atau minimal meminimalisir risiko kerugian amortisasi seperti yang dijelaskan di atas, dimana kerugian amortisasi tersebut, jika ada, akan tertutup oleh keuntungan dalam bentuk cashback yang diterima ICBP dari Pinehill Corpora.

Ketiga, sekaligus yang paling menarik, ICBP boleh dibilang memperoleh ‘pinjaman super lunak’ untuk keperluan akuisisinya di atas, dimana dari total utang bank yang diambil sebesar Rp29.1 trilyun, hampir semuanya merupakan utang jangka panjang yang akan jatuh tempo tahun 2025 atau 2027, tanpa jaminan, dan mengandung bunga as low as 1.35% per tahun untuk pinjaman dalam mata uang Yen, 2.09% untuk pinjaman dalam Dollar, dan 5.4% untuk pinjaman dalam Rupiah. Dan memang pada laporan laba rugi ICBP untuk tahun penuh 2020, maka meski beban bunga utang lompat menjadi Rp670 milyar dari sebelumnya Rp161 milyar di tahun 2019, tapi beban segitu jelas masih tidak seberapa dibanding laba usaha yang mencapai Rp9.2 trilyun, sehingga dalam hal ini ICBP nyaris tidak mengalami peningkatan risiko likuiditas ataupun risiko gagal bayar utang. Kemungkinan pihak bank juga mau ngasih ‘utangan gratis’ seperti itu karena mereka sangat percaya dengan prospek dari ICBP dan Pinehill itu sendiri, mengingat merk Indomie sangat populer tidak hanya di Indonesia, tapi juga di mancanegara.

Kesimpulannya, meski untuk saat ini kontribusi Pinehill terhadap kinerja ICBP secara keseluruhan terbilang masih minim, dan penambahan laba ICBP yang berasal dari Pinehill untuk tahun 2020 juga kemungkinan tergerus habis oleh kenaikan beban bunga utangnya (seperti disebut diatas, Pinehill berkontribusi laba bersih kurang lebih Rp720 milyar untuk ICBP di sepanjang tahun 2020, tapi beban bunga utang ICBP untuk tahun 2020 juga naik sekitar Rp500 milyar dibanding tahun 2019), tapi jika dalam beberapa tahun ke depan kinerja Pinehill bisa berkembang pesat sesuai dengan potensi pasarnya, dan peluangnya cukup besar mengingat Pinehill sekarang terkoneksi langsung dengan ICBP yang notabene merupakan ‘pemilik asli’ dari merk Indomie, maka suatu hari nanti Pinehill justru bisa menjadi anak usaha dengan kontribusi paling besar terhadap kinerja ICBP secara keseluruhan. Seperti yang disebut diatas, maka kalau kita lihat lagi perkembangan kinerja ICBP sejak menggelar IPO di tahun 2010 hingga tahun 2015, maka ketika itu juga perusahaan sukses menumbuhkan laba bersih dan ekuitasnya hingga posisi neracanya yang sebelumnya tampak ‘keberatan utang’ sukses berbalik total dan menjadi sehat, hanya dalam tempo lima tahun atau lebih cepat lagi. Pada akhirnya, modal terkuat ICBP bukanlah yang tercermin di laporan keuangannya dalam bentuk ekuitas, melainkan merk ‘Indomie’ yang, kalau penulis boleh sedikit berlebihan, terbilang tidak ternilai. Dan Pinehill juga memiliki modal yang ‘tidak ternilai’ tersebut.

Sehingga kalau anda bisa melihatnya dalam waktu katakanlah lima tahun kedepan, maka pendapat penulis untuk ICBP ini masih sama: Sahamnya cocok untuk investasi jangka panjang.

Hanya saja faktanya untuk saat ini Pinehill sama sekali belum berkontribusi signifikan terhadap kinerja ICBP, dan klausul ‘jaminan keuntungan’ seperti yang disebutkan diatas juga baru akan berlaku tahun 2022 nanti. Sehingga untuk setahun kedepan ada kemungkinan ICBP belum akan kemana-mana dulu, bahkan kalaupun pada laporan keuangan berikutnya di Kuartal I 2021 nanti labanya kembali naik, karena investor masih akan terus fokus pada utang perusahaan yang melonjak (dan utang itu tidak akan berkurang/dilunasi sampai setidaknya tahun 2025, sehingga sampai tahun 2025 tersebut DER ICBP hanya bisa turun jika ekuitasnya naik). Balik lagi ke pengalaman ketika ICBP menggelar IPO di bulan Oktober 2010, dimana sahamnya ketika itu langsung drop dari harga perdana 2,697 sampai mentok di 2,175 (karena memang sejak awal harga perdana tersebut sangat mahal), maka ICBP baru naik hingga balik lagi ke harga perdananya pada bulan April 2012. Yup, jadi ada jeda waktu selama satu setengah tahun hingga akhirnya investor bisa melihat bahwa kinerja fundamental ICBP memang sangat baik pasca IPO-nya, dan sahamnya memang layak dihargai pada valuasi premium. Nah, karena untuk saat ini terdapat pertanyaan tentang apakah kinerja ICBP kedepannya akan jadi bagus pasca akuisisi Pinehill, atau justru sebaliknya jadi jelek imbas dari peningkatan utang ICBP, maka juga akan ada jeda waktu hingga akhirnya pertanyaan tersebut terjawab dengan sendirinya berdasarkan perkembangan laporan keuangan perusahaan. Dan selama jeda waktu tersebut, kemungkinan sahamnya ICBP belum akan kemana-mana dulu.

Kesimpulan akhirnya, well, penulis sudah menyampaikan semua yang perlu disampaikan. Jadi kesimpulannya di tangan anda. Mengingat investor baik ritel maupun institusi yang pegang ICBP ini ada buanyak, maka jangan lupa share artikel ini dengan menekan tombol Whatsapp, Facebook, atau Twitter berikut ini:

***

Ebook Market Planning edisi April 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Komentar

Anonim mengatakan…
Wskt rugi aj masi bs naik koq.. apa lg icbp.. 😂👍
Wiskundig mengatakan…
Om, mau dong review saham TUGU, TSPC, dan LPCK. Saya ngerasa sahamnya undervalued. Thank you
Leo Sumadi mengatakan…
Pak teguh, jika dilihat dari PER dan PBVnya 10 tahun, saat ini PER PBV ICBP sudah sangat rendah ya?

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?