Peluang Profit dari Momentum 'Commodity Supercycle'

Pada tanggal 13 Mei 2021 kemarin, setelah selama beberapa bulan sebelumnya naik secara terus menerus, harga batubara Newcastle Australia akhirnya tembus level psikologis $100 per ton, dan ketika artikel ini ditulis berada di level $96 per ton. Tapi kalau anda perhatikan lagi, batubara ternyata tidak sendirian, dimana harga-harga komoditas lainnya juga melonjak tinggi, misalnya minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang sempat menembus 4,500 Ringgit Malaysia per ton, tertinggi sepanjang sejarah. Lalu harga-harga dari aneka logam industri seperti baja, alumunium, nikel, timah, dan tembaga, saat ini juga sudah mencapai posisi tertinggi mereka masing-masing.

*** 

Ebook Market Planning edisi Juni 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 Juni mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon selama IHSG masih dibawah 6,200, dan gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Dan jika kita melihat indeks-indeks yang merangkum harga-harga komoditas yang diperdagangkan di pasar berjangka, seperti CRB Index (Amerika Serikat), S&P GSCI (AS), dan LME Index (Inggris), maka kesemuanya juga naik signifikan hingga lebih dari 100% dalam setahun terakhir. Fakta inilah yang kemudian menimbulkan teori bahwa kita sekarang ini mungkin sedang berada di tahap awal dari satu siklus yang disebut commodity supercycle, atau secara harfiah berarti siklus luar biasa di sektor komoditas. Nah, tapi apa sih sebenarnya supercycle itu sendiri?

Seperti yang kita ketahui, kondisi ekonomi suatu negara dan juga dunia memiliki siklus dimana periode pertumbuhan pesat (expansion) dan periode krisis/resesi terjadi secara silih berganti. Pada tahun 2020 lalu, dunia termasuk Indonesia mengalami resesi akibat pandemi, dimana AS sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi minus, tepatnya -2.4%, dan ekonomi dunia secara keseluruhan diperkirakan tumbuh minus -4.9% di tahun 2020. Memasuki tahun 2021, sebenarnya resesi itu masih terjadi, atau minimal kondisinya masih belum pulih 100% seperti sebelum pandemi. Namun ketika Federal Reserve sebagai bank sentral AS, yang bisa disebut juga sebagai bank sentral dunia, memberlakukan kebijakan moneter yang sangat longgar dengan cara mencetak Dollar baru sebanyak-banyaknya, yang kemudian disalurkan oleh Pemerintah AS ke masyarakat dalam bentuk stimulus ekonomi, maka jadilah dunia kebanjiran uang Dollar baru itu tadi. Yup, seperti yang sudah dijelaskan disini, sejak Maret 2020 lalu sampai hari ini, Pemerintah AS meluncurkan tiga paket stimulus senilai total $6.4 trilyun! Dimana bisa dibilang bahwa uangnya berasal dari hasil cetak Dollar oleh The Fed. Imbasnya, jumlah uang Dollar yang beredar di AS (dan juga seluruh dunia) melonjak sangat signifikan dari sekitar $15 trilyun pada akhir tahun 2019, hingga sekarang hampir tembus $20 trilyun.

Disisi lain untuk menjaga agar uang Dollar itu tadi tetap beredar di masyarakat dan tidak balik lagi ke bank, maka suku bunga Fed Rate ditetapkan pada level yang sangat rendah yakni 0.25%, sehingga bunga deposito di AS juga menjadi sangat rendah, dan orang-orang yang menerima uang Dollar baru ini tidak mau menempatkan uangnya di bank, melainkan diputar untuk usaha riil. However, karena jumlah Dollar baru hasil cetak ini sedemikian banyaknya (coba googling, money printer go brrr), maka selain masuk ke sektor riil, uang Dollar baru ini banyak juga yang masuk ke sektor finansial, seperti pasar saham, cryptocurrency, dan pasar berjangka komoditas. Inilah yang menjelaskan kenapa harga-harga saham di Wallstreet, harga bitcoin dkk, dan harga batubara dkk, semuanya terbang, tak peduli kondisi ekonomi di seluruh dunia sebenarnya belum pulih 100%.

Nah, terkait kenaikan harga-harga saham di Bursa New York, maka semua analis dan pengamat ekonomi sepakat bahwa kondisinya sudah bubble, dimana Charlie Munger mengatakan bahwa tingginya harga aset-aset bersifat ekuitas di AS akan menyebabkan penurunan tingkat return on investment dalam satu dekade ke depan, karena nilai bagian keuntungan dan dividen yang diterima investor menjadi sangat kecil dibanding biaya yang keluar untuk membeli saham perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan terkait cryptocurrency, maka karena trend crypto ini masih sangat baru, terdapat lebih banyak pelaku pasar yang melihatnya sebagai ajang spekulasi ketimbang instrumen investasi, dimana soal apakah kedepannya bitcoin dkk akan lanjut naik atau turun lagi, penulis sendiri tidak punya gambaran, sama sekali.

Namun ceritanyaberbeda dengan komoditas, dan itulah kenapa sejak awal tahun 2021 kemarin muncul sentimen supercycle. Perhatikan: Yang dimaksud periode supercycle disini adalah satu periode yang cukup panjang, mungkin bisa sampai satu dekade ke depan, dimana harga komoditas akan berada di atas harga rata-ratanya dalam jangka waktu yang lebih panjang lagi, katakanlah 20 – 30 tahun terakhir. Dan penyebabnya tidak hanya karena aksi cetak Dollar itu tadi, melainkan ketika nanti ekonomi kembali bertumbuh, maka industrialisasi dan kegiatan manufaktur akan kembali melaju kencang, dan permintaan komoditas akan melonjak tajam hingga pada satu titik para perusahaan produsen komoditas ini mungkin akan kesulitan memenuhi permintaan pasar, dan itu akan menyebabkan harga komoditas yang bersangkutan naik lebih tinggi lagi. Pada awal dekade 2000-an, China mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dimana pembangunan infrastruktur dan industrinya juga berkembang pesat, dan membutuhkan batubara, minyak dll dalam jumlah besar. Imbasnya, antara tahun 2000 – 2010, harga minyak terbang dari $20 hingga tembus $140 per barel, dan baru turun lagi hingga stabil di $50 – 60 per barel sejak tahun 2015 ketika pertumbuhan ekonomi China akhirnya melambat, dan demikian pula harga-harga komoditas lainnya ikut turun.

Jadi pada sekitar tahun 2015 itulah, commodity supercycle yang terjadi sejak sekitar tahun 2002 resmi berakhir, dan setelah itu harga-harga komoditas cenderung stabil di level yang jauh lebih rendah dibanding era 2000-an, itu bahkan sebelum harga minyak dkk turun lebih rendah lagi di tahun 2020, karena adanya peristiwa resesi ekonomi.

Anyway meski seperti disebut diatas, resesinya belum 100% berakhir, tapi yang terburuk juga sudah berlalu, dan ekonomi pada akhirnya nanti akan kembali pulih seperti sebelum pandemi. Dan berdasarkan teori siklus ekonomi dalam jangka panjang, maka pasca periode resesi akan terjadi periode ekspansi, dimana untuk saat ini ekspansi tersebut belum terjadi. Tapi jika kita melihatnya katakanlah 5 – 10 tahun kedepan, atau 1 – 2 tahun kedepan lah, maka periode ekspansi itu pada akhirnya akan terjadi juga, dan harga-harga komoditas berpeluang untuk naik lebih tinggi lagi ketika nanti terjadi lonjakan permintaan untuk industri dll, atau minimal stabil di level harga mereka saat ini (yang juga sudah termasuk tinggi).

Sektor yang Diuntungkan Commodity Supercycle

Okay, lalu apa hubungan commodity supercycle ini dengan Indonesia? Here we go: Pada dekade 2000 – 2010, Indonesia mengalami periode ekspansi ekonomi dimana GDP kita tumbuh pesat dari $165 milyar di tahun 2000, hingga $918 milyar di tahun 2012. Standar hidup juga meningkat tajam selama periode ini, dimana jika dulu hanya orang kaya yang bisa beli mobil, maka sekarang semua warga kelas menengah bisa beli mobil. Lalu apa pendorong utama ekspansi tersebut? Benar sekali: Komoditas! Bagi anda yang belum tahu, Indonesia saat ini merupakan produsen CPO terbesar di dunia, produsen batubara terbesar kelima di dunia, produsen nikel terbesar di dunia, produsen timah terbesar kedua di dunia, dan produsen karet terbesar kedua di dunia. Indonesia dulu juga adalah anggota organization of the petroleum exporting countries atau OPEC, karena memang produksi minyak kita cukup besar, tapi karena sejak tahun 2007 kebutuhan minyak dalam negeri sudah lebih besar dibanding produksinya, maka kita tidak lagi menjadi anggota OPEC. Tapi intinya, meski memang tidak sebesar katakanlah Arab Saudi, tapi produksi minyak Indonesia juga relatif cukup besar.

Truk-truk pengangkut batubara milik salah satu perusahaan batubara terbesar di Indonesia

Nah, jadi ketika harga-harga komoditas ini naik semua pada dekade 2000 - 2010, maka jadilah ekonomi di dalam negeri booming, dan muncul perusahaan-perusahaan besar di sektor komoditas terutama batubara dan perkebunan kelapa sawit/CPO. Termasuk Astra International (ASII) pada hari ini juga sukses menjadi salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, karena mereka pada awal dekade 2000-an lalu mengambil langkah yang tepat dengan masuk ke batubara (melalui United Tractors), dan sawit (melalui Astra Agro Lestari). However, memasuki dekade 2010-an, tepatnya di tahun 2015, Indonesia sendiri ketika itu hampir saja jatuh krisis setelah harga-harga komoditas turun sedemikian rendahnya hingga pertumbuhan ekonomi juga ikut anjlok (baca lagi cerita tahun 2015 disini, dan disini), meski tidak sampai minus seperti tahun 2020 kemarin. Beruntung, besarnya anggaran belanja Pemerintah untuk membangun infrastruktur, plus pesatnya perkembangan industri online berbasis internet, menyebabkan ekonomi Indonesia tidak sampai benar-benar resesi, dan resesi itu baru terjadi di tahun 2020 ketika terjadi pandemi.

Tapi intinya adalah, sejarah menunjukkan bahwa ekonomi nasional sangat erat hubungannya dengan sektor komoditas, dimana jika harga batubara dan CPO naik lagi, dan memang dua itu sekarang sudah naik tinggi, maka tinggal tunggu waktu sebelum ekonomi akan kembali 100% pulih, dan emiten-emiten di dua sektor tersebut juga kembali membukukan peningkatan kinerja laba bersih yang signifikan. Nah, kabar baiknya, meski harga-harga komoditas sekarang ini tampak tinggi, tapi belum semua komoditas berada di all time high-nya. Yup, kalau kita lihat lagi tiga indeks komoditas, yakni CRB Index, S&P GSCI, dan LME Index, maka hanya LME Index saja yang mendekati level tertingginya di tahun 2011, sedangkan CRB dan S&P GSCI masih cukup jauh dibawah level tertinggi mereka masing-masing di tahun 2008.

Sehingga jika kita melihatnya minimal dalam 1 – 2 tahun kedepan, harga-harga komoditas masih memiliki ruang untuk naik lebih tinggi lagi, terutama karena pendorong kenaikannya sejauh ini baru sekedar aksi cetak Dollar oleh The Fed itu tadi, jadi bukan (atau belum) karena melonjaknya permintaan seiring pulihnya ekonomi. Atau jika kita bersikap pesimis, misalnya karena batubara dan sawit sampai sekarang masih terus diserang isu ‘tidak ramah lingkungan’, maka kalaupun harga dua komoditas ini tidak naik lebih lanjut, tapi harusnya juga tidak akan turun lagi ke posisi terendahnya setahunan lalu, karena periode terburuk resesinya biar bagaimanapun sudah berlalu.

Tinggal pertanyaannya sekali lagi, emiten atau saham apa saja yang akan diuntungkan oleh momentum commodity supercycle ini? Well, menurut anda? Soal ini nanti kita bahas lagi, tapi buat yang mau tau jawabannya sekarang, maka boleh baca-baca lagi artikel lama di blog ini, karena kita sudah sering bahas saham-saham terbaik di sektor batubara dan sawit.

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal I 2021 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon selama IHSG masih dibawah 6,200, dan gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan via email

Komentar

Rekesan Official mengatakan…
Apakah saham BOSS masih punya peluang balik diatas 200 an ya pak?
Unknown mengatakan…
Batubara naik, namun mengapa saham sahamnya belum naik juga dlm seminggu terakhir. Apakah karena market maker belum berminat menaikkan harga?

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham