Rahasia Profit Milyaran di Saham dengan Metode ‘Compounding Interest’

Warren Buffett dalam banyak tulisan di annual letter-nya sering menjelaskan tentang bagaimana powerful-nya konsep compounding interest, atau Bahasa Indonesianya bunga berbunga/bunga majemuk, dimana dalam hubungannya dengan investasi saham, maka kata ‘bunga’ disini diganti ‘profit’ (profit berprofit, alias profit yang menghasilkan profit lagi). Konsep ini pada intinya menunjukkan bahwa profit yang kita hasilkan di saham, jika diinvestasikan lagi secara terus menerus, maka hasilnya akan luar biasa besar setelah jangka waktu tertentu, tak peduli meski profit itu tampak kecil pada awalnya. Dan tidak hanya Buffett, ilmuwan terkemuka Albert Einstein juga pernah menyebut compounding interest sebagai 8th wonder of the world.

***

Ebook Market Planning edisi Juni 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

However, dari pengalaman menjawab pertanyaan member EIP dan EMP, ternyata masih banyak investor yang belum mengerti apa itu compounding? Dan seperti apa contoh riilnya? Maka dari itu penulis merasa perlu menulis artikel ini. Tapi sebelum itu mari kita dengarkan lagi kalimat dari Benjamin Franklin, salah satu founding father Amerika Serikat, tentang apa itu bunga majemuk:

‘Uang menghasilkan uang. Dan uang yang dihasilkan tersebut, menghasilkan uang lagi. Demikian seterusnya’

Ilustrasi compounding, berdasarkan definisi Ben Franklin diatas, adalah sebagai berikut: Kita beli saham A senilai Rp10 juta, lalu beberapa waktu kemudian dijual dalam posisi profit 20%, hasilnya Rp12 juta, alias profit Rp2 juta. Uang Rp12 juta itu kemudian dibelikan saham B, dan profit lagi 20% sehingga hasilnya Rp14.4 juta, alias profit Rp2.2 juta (naik dari sebelumnya profit Rp2 juta). Uang Rp14.4 juta itu kemudian dibelikan saham C, dan profit lagi 20% sehingga hasilnya Rp17.3 juta, alias profit Rp2.9 juta (naik lagi dari sebelumnya profit Rp2.4 juta).

Demikian seterusnya, dimana setiap kali kita profit dari saham berikutnya, maka meski persentase profitnya kurang lebih sama, tapi nilai profitnya dalam Rupiah terus membesar, karena nilai modal pembelian sahamnya juga lebih besar. Pada ilustrasi diatas, jika rumus perhitungannya dilanjutkan sampai saham J (saham ke-sepuluh), dan dengan profit konsisten 20% dari setiap saham, maka uang yang tadinya Rp10 juta akan tumbuh menjadi Rp61,917,364, alias profit lebih dari 700%.

Dari sini kita bisa lihat bahwa, jika kita mampu untuk profit terus menerus secara konsisten, maka pada titik tertentu nilai profit yang dihasilkan dalam Rupiah akan benar-benar menjadi sangat besar. Seorang investor yang pada tahun 2010 lalu mungkin hanya profit Rp1 juta ketika dia jual saham tertentu dalam posisi profit 20%, maka pada hari ini dia bisa profit Rp10 juta ketika dia jual saham dalam posisi profit yang sama 20%, karena pada hari ini modalnya sudah jauh besar berkat akumulasi dari profit-profit yang ia kumpulkan selama 10 tahun sebelumnya.

Jadi dengan demikian, kita bisa mengambil poin-poin kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, untuk bisa menghasilkan efek compounding, maka bukan berarti kita harus beli saham lalu di­-hold/tidak pernah dijual lagi untuk selamanya. Pada ulasan disini, penulis sudah menyampaikan bahwa, meski investor saham tidak pernah BPJS (beli pagi jual sore), tapi bukan berarti kita harus beli saham lalu tidak pernah dijual lagi, melainkan suatu hari saham itu akan dijual juga, entah karena fundamentalnya berubah, valuasinya menjadi mahal, atau kita butuh uangnya untuk beli saham lain yang kita anggap lebih baik. Ceritanya baru berbeda untuk saham-saham yang kita anggap sebagai legacy stock, maka kita tidak akan pernah menjualnya lagi sampai kapanpun. Tapi kalau di porto milik penulis sendiri, jumlah saham legacy stock ini tidak dominan, melainkan sebagian besar saham yang sekarang ini dipegang adalah yang suatu hari nanti, entah itu bulan depan atau tahun depan, akan dijual lagi. Penjelasannya baca disini.

Nah, tapi ketika kita jual saham dalam posisi profit, dan demikian pula ketika kita memperoleh dividen, maka semua keuntungan tersebut harus selalu diinvestasikan kembali, jadi jangan pernah keuntungan itu ditarik untuk kebutuhan sehari-hari atau semacamnya. Anda baru boleh mulai menarik sebagian keuntungan jika suatu hari nanti nilai aset yang dipegang sudah cukup besar, sehingga profit yang dihasilkan (dalam Rupiah, bukan dalam persen) juga menjadi cukup besar, dimana meski sebagian keuntungan tersebut kita cairkan, tapi sisanya masih besar untuk diinvestasikan kembali.

Dari sinilah seorang investor harus punya mindset jangka panjang, yakni bahwa anda bisa saja trading for living, atau bahkan resign dari kantor anda sekarang untuk kemudian menjadi full time investor, tapi anda tidak bisa langsung melakukan itu sekarang, ataupun besok, melainkan nanti kalau dananya sudah benar-benar besar, yakni hasil dari akumulasi profit yang ‘digulung’ secara terus menerus. Dan selama proses ‘menggulung’ tersebut, dimana normalnya itu akan makan waktu hingga belasan tahun, maka kita harus bersabar untuk tidak buru-buru menikmati keuntungan yang dihasilkan, atau kita tidak akan dapat efek compounding-nya. Kalau kata Pak Lo Kheng Hong, ‘Ibarat atlit bulu tangkis, saya ini Rudy Hartono: Nafas saya sangat panjang dimana saya bisa menahan diri untuk tidak menikmati hasil investasi saya sebelum waktunya’.

Kedua, kalau kita lihat lagi ilustrasi membeli saham A, B, C diatas dengan modal awal Rp10 juta, maka ternyata setelah profit terus menerus dari sepuluh saham yang dibeli, hasil akhirnya hanya Rp62 juta saja. Demikian pula kalau modal awalnya besar, katakanlah Rp100 juta, maka hasilnya juga hanya Rp620 juta. Well, bagi banyak orang, Rp62 juta apalagi Rp620 juta tentunya bukan jumlah yang kecil, tapi bukankah Pak Teguh dan investor-investor senior lainnya pada hari ini mengelola dana yang jauh lebih besar dari itu? Sedangkan seperti cerita Pak Teguh di buku, dulu tahun 2010 mulainya hanya dengan modal Rp5 juta saja. Jadi bagaimana hitung-hitungannya? Karena kalau pakai rumus compounding diatas, jelas nggak masuk bukan?

Nah, betul. Jika kita hanya setor satu kali ke sekuritas sebesar Rp10 juta, maka hasilnya adalah kurang lebih seperti yang disebut diatas, itupun jangka waktunya bisa sangat lama karena jangan bayangkan kita bisa beli saham hari ini lalu besoknya langsung profit 20%, lalu jual dan pindah lagi ke saham lain. Pada prakteknya, ketika kita menjual saham maka profit yang dihasilkan mungkin kurang dari 20%, dan jeda waktunya juga sangat lama (antara bulanan hingga 1 – 2 tahun) sebelum kita bisa jual saham dalam posisi profit lalu pindah lagi ke saham lain.

Tapi jangan lupa bahwa kita bisa kembali menyetor ke sekuritas setiap beberapa waktu sekali, katakanlah sebulan sekali, hasil dari menyisihkan gaji atau penghasilan yang kita peroleh dari pekerjaan, apapun itu. Penulis sendiri, dan saya yakin sebagian dari anda sudah mengetahuinya, setiap kali kita dapet duit dari seminar, maka uangnya langsung disetor lagi ke sekuritas. Yup, jadi nilai porto kita meningkat tidak hanya dari profit, tapi juga karena kita rutin setor lagi.

Dan karena sudah lebih dari satu dekade kita rutin setor, plus setiap dapat profit selalu digulung kembali, maka ya hasilnya jadi besar juga, bahkan meski dana awalnya sangat kecil. Pada ilustrasi yang penulis berikan di seminar advanced, maka jika kita bisa setor Rp1 juta saja per bulan, dan menghasilkan profit konservatif 25% per tahun secara konsisten dari saham, maka percaya atau tidak, anda akan mengelola portofolio senilai Rp500 jutaan setelah 10 tahun, dan porto itu akan tumbuh lebih lanjut menjadi Rp5 milyar dalam 10 tahun berikutnya. Jika setorannya lebih besar, misalnya Rp2, 5, 10 juta per bulan, maka tentu hasilnya akan lebih besar lagi!

Profit Konsisten > Profit Besar

Nah, terkait hal ini maka penulis sering menerima pertanyaan, ‘Pak Teguh, modal saya kan sekarang masih receh, dan ada yang bilang biar naiknya cepet maka kita harus trading cepet pakai metode udinmology atau apalah itu, dan baru investasi jangka panjang/menengah kalau nanti dananya sudah besar. Apa benar begitu?’ Saya jawab, jika dana kita masih kecil, maka kita harus rutin menyetor lagi ke sekuritas sehingga suatu hari nanti, setelah ditambah akumulasi profit, maka dananya akan jadi besar juga. Jadi bukan malah pakai metode aneh-aneh yang jelas-jelas berisiko tinggi, dimana alih-alih profit besar, bisa jadi kita malah rugi besar. Dan setelah beberapa waktu, bukannya dapat efek compounding-nya, nilai aset kita mungkin malah jadinya disitu-situ saja/gak tumbuh sama sekali, karena profit yang diperoleh dari satu saham selalu habis oleh kerugian yang terjadi di saham berikutnya.

Sebab perlu diketahui bahwa efek compounding ini bersifat dua arah, yakni jika kita mampu untuk konsisten profit di saham, maka eventually hasil profitnya dalam Rupiah akan menjadi besar meskipun persentase profitnya tetap segitu-gitu saja (20%, atau 10%, atau bahkan cuma 5%).

Tapi sebaliknya, sekali saja kita menderita rugi besar, katakanlah sampai -40%, maka tahukah anda bahwa kita selanjutnya harus profit 66.7% cuma agar bisa balik modal? Jika ruginya katakanlah -50%, maka profit yang harus dihasilkan agar bisa balik modal juga akan jauh lebih besar yakni 100%. Faktanya ketika artikel ini ditulis, IHSG masih di posisi 6,000-an, masih naik tipis dihitung sejak awal tahun 2021 (pada akhir tahun 2020, IHSG ditutup di posisi 5,979). Tapi penulis sendiri sudah banyak menerima pertanyaan dari investor yang nyangkut sampai -40% dari saham konstruksi, farmasi, nikel dst, yang rata-rata mereka sendiri mengaku membeli saham karena kemakan isu-isu yang beredar ketika itu (Desember – Januari), alias spekulasi saja. Para investor, atau lebih tepatnya trader yang berspekulasi ini bukannya tidak pernah profit sebelumnya, bahkan pada satu waktu tertentu profit yang mereka hasilkan bisa lebih besar dibanding profitnya para value investor fundamentalis. Tapi karena di kemudian hari mereka seringkali kena hantam rugi yang tidak kalah besarnya, maka pada akhirnya nilai portofolio sahamnya jadi tidak berkembang.

Jadi kesimpulannya, profit konsisten itu jauh lebih baik dibanding profit besar, dan ini pula alasan kenapa Warren Buffett selalu bilang, never lose money! Adalah lebih baik jika kita bisa profit 20% saja, atau bahkan cuma 10% tapi terus menerus, daripada profit 60% bulan ini tapi rugi 40% bulan depan. Masalahnya adalah, dan penulis berbicara berdasarkan pengalaman, anda harus pilih salah satu: Mau profit konsisten, atau mau profit besar? Jadi gak bisa itu kita profit besar secara terus-menerus/konsisten. Ini bukan berarti investor fundamentalis gak bisa profit besar dari saham tertentu, dan di blog ini juga penulis sudah memberikan banyak contoh saham yang kalau kita beli lalu hold saja selama 6 – 12 bulan, maka profitnya bisa mencapai 100% atau lebih. Tapi kita cukup sadar bahwa profit besar seperti itu tidak bisa diperoleh setiap hari, melainkan akan selalu ada masa-masa dimana asal kita gak rugi saja, maka itu sudah bagus.

Kemudian disisi lain, investor fundamentalis juga bukannya tidak pernah rugi/cut loss, melainkan jika kerugian tersebut terjadi, maka angkanya biasanya kecil saja, sekitar 5 – 10% dari harga belinya. Ini karena kita sejak awal selalu fokus pada upaya meminimalisir risiko kerugian, bukan memaksimalkan potensi profit, dimana saham-saham yang kita pilih bukanlah yang berpotensi profit sebesar-besarnya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Melainkan saham yang meskipun profitnya mungkin hanya 20 – 30%, dan waktunya pun bisa lama/antara beberapa bulan hingga 1 – 2 tahun, tapi disisi lain kalau terjadi skenario terburuk, misalnya terjadi perubahan fundamental/kinerja perusahaan tidak sesuai harapan, maka turunnya hanya 5 – 10% saja. Lebih jelasnya bisa tonton video dibawah ini.

Anyway, seperti yang juga dikatakan Warren Buffett, nobody wants to get rich slow. Semua orang, termasuk dulu penulis sendiri, pengennya ya cepet kaya dan pensiun muda terus bisa jalan-jalan keluar negeri dst (but lucky me, saya dapet mentor yang bener). Dan karena itulah ketika belakangan ini muncul banyak tokoh ‘investor/trader sukses’ yang mengklaim bisa membimbing anda untuk cepat kaya dari saham, forex, crypto atau apapun itu, maka follower-nya jauh lebih banyak dibanding para investment guru garis lurus.

Tapi mudah-mudahan setelah anda membaca tulisan diatas, maka anda mengerti bagaimana powerfull-nya efek compounding, yang merupakan rahasia kesuksesan value investor kawakan tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia, dan bahwa investor tipe ‘alon-alon asal kelakon’ ternyata justru dalam jangka panjang lebih profit dibanding investor ‘grasa-grusu’. Efek compounding ini pula yang membuat value investor rata-rata selalu hidup santai, tidur nyenyak tiap malam, always having fun, dan awet muda, karena mereka tidak pernah menekan diri mereka sendiri untuk bisa profit besar di saham, melainkan yang penting profit secukupnya saja, tapi konsisten. Penulis masih ingat tahun 2008 lalu, waktu jaman-jaman saya baru lulus kuliah dan rajin baca Koran Kompas hari Sabtu untuk mencari lowongan pekerjaan, maka salah satu kriteria yang banyak disebutkan adalah ‘siap untuk bekerja di bawah tekanan’.

Namun di Avere, semua anggota tim disini bekerja dengan sama santainya dengan saya sendiri sebagai pemimpin tim, but still, hasilnya sama sekali tidak mengecewakan!

***

Ebook Market Planning edisi Juni 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan via email

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham