Menjual Saham Legacy/Saham yang Tadinya akan di-Hold Selamanya, Karena Melihat Bahwa IHSG Akan Turun

Pagi ini penulis dapat pertanyaan bagus, sebagai berikut: Dalam beberapa kesempatan Bapak mengemukakan tentang legacy stock portfolio dimana kita mengakumulasi saham2 wonderful company and hold tanpa mempedulikan fluktuasi pasar. Pertanyaan saya, apakah strategi siapkan payung saat langit mendung ini tidak berlaku untuk legacy stock portfolio atau sebaiknya tetap diberlakukan terutama untuk krisis besar seperti tahun ini?

Dalam hal ini saya agak dilematis dengan masing-masing pilihan. Kalau ini tidak diberlakukan, tidakkah kita akan rugi besar atau paling tidak kehilangan kesempatan untuk mempertebal legacy stock portofolio kita dengan menjual di harga tinggi lalu membeli kembali di harga bawah. Apalagi kalau kita telah mampu memperkirakannya sebelum market crash. Namun disisi lain kalau kita melakukannya lalu apa bedanya dengan portofolio normal kita.

***

Video Seminar Value Investing, basic and advanced, bisa diperoleh disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar (jadwal berikutnya, Sabtu, 19 Desember) secara gratis.

Video seminar terbaru (videonya dibuat awal Desember 2020) dengan tema 'peluang multibagger dari saham-saham turnaround, bisa diperoleh disini.

***

Dan saya kemudian menjawab sebagai berikut.

Iya untuk legacy stock maka strategi menyiapkan payung sebelum hujan, itu tidak berlaku, karena sejumlah alasan: Pertama, meski kita bisa jual saham jika menganggap bahwa IHSG akan turun karena bakal terjadi krisis besar, tapi soal kapan IHSG akan turun, dan turunnya sampai berapa, itu tidak bisa diprediksi, selain karena memang tidak mudah untuk melihat tanda-tanda bahwa IHSG akan turun/naik, termasuk bagi investor berpengalaman. Seringkali kita baru kepikiran untuk jual setelah IHSG mengalami crash itu sendiri, dan saham yang kita pegang memang sudah anjlok. Jika itu yang terjadi, maka itu bukan menyiapkan payung namanya, melainkan merealisasikan kerugian. Soal ini pernah saya bahas disini.

Kedua, konsep 'legacy stock' adalah saham yang dibeli untuk dihold selamanya, dan kalau bisa kita beli lagi secara rutin misalnya setiap bulan, sehingga jumlah lotnya dari tadinya sedikit menjadi banyak (dollar cost averaging, baca ini). Kriteria saham untuk legacy stock ini sangat ketat, alias harus the best of the best, dan selama ini saham-saham yang saya anggap masuk kriteria legacy stock, eventually mereka akan naik lagi tak peduli meski turunnya sedalam apa, ketika IHSG turun (termasuk di tahun 2020 ini, sebut saja BBRI, ULTJ, ICBP, dst). Jadi dengan kita hold saja sahamnya, dan menjadikan penurunannya sebagai kesempatan untuk tambah posisi (ingat beli nyicil tiap bulan itu tadi), maka kita menghindari risiko menjual sahamnya justru di titik terendahnya, dan actually banyak investor yang melakukan hal ini (menjual saham legacy) ketika IHSG jeblok pada bulan Maret dan September lalu. Sehingga sekali lagi, mereka malah merealisasikan kerugian di saham yang sebenarnya gak ada masalah apa-apa, bahkan fundamentalnya sangat bagus.

Lalu ketiga, 'hold forever' itu memang tidak mudah. Jangankan 1 tahun, 5 tahun, atau selamanya, bahkan hold saham yang sama selama tiga hari saja, itu tidak mudah, karena godaan untuk profit taking, panik ketika saham kita turun, itu selalu datang silih berganti. Saya sendiri, meski sudah belajar sejak tahun 2009, tapi barulah di tahun 2013 saya ada beli saham yang masih di-hold sampai sekarang, itupun nilai pembeliannya tidak signifikan dibanding nilai porto saya hari ini. Nah, tapi jika kita sudah bisa melakukan hold forever tersebut, maka kita sudah selangkah lebih maju dalam hal pengendalian risiko, dimana meski untuk saham-saham yang lain boleh saja kita rugi, mungkin harus cut loss, tapi untuk saham legacy ini kita bisa cukup yakin bahwa dalam jangka panjang 5 tahun, misalnya, maka pada akhirnya kita akan memperoleh profit yang layak, rata-rata sekitar 20% per tahun diluar dividen. Contohnya boleh baca ini.

Keempat, Warren Buffett sekalipun, yang sangat identik dengan investasi jangka panjang, ternyata ia tidak menempatkan seluruh portonya pada saham yang di-hold forever ini, melainkan ia ada juga beli saham untuk dijual kembali (meski jangan bayangkan beli hari ini jual besok, melainkan hold-nya bisa berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. penjelasannya baca disini), dan jumlah saham yang pada akhirnya dijual kembali ini juga cukup banyak, mungkin sekitar 40% dari total porto Berkshire Hathaway, dimana salah satu pertimbangan ketika hendak menjual saham adalah terkait 'menyiapkan payung' itu tadi. Nah, jadi kita juga bisa melakukan hal yang sama: Jika nilai porto kita Rp1,000, maka tidak perlu semuanya ditempatkan di legacy stock, melainkan cukup Rp200 atau Rp300 saja, dan selebihnya tetap merupakan saham yang eventually akan kita jual, entah itu untuk persiapan sebelum IHSG bakal turun, atau lainnya. Dengan cara ini, kita tetap bisa menyiapkan payung sebelum hujan, tapi juga terhindar dari risiko melakukan kesalahan dengan menjual habis seluruh pegangan ketika justru seharusnya kita belanja. Just remember: Seperti halnya membaca arah pasar itu tidak mudah, maka membeli saham, atau tetap hold saham ketika IHSG sudah crash, itu juga tidak murah, karena setiap kali IHSG anjlok maka selalu saja berita-berita negatif, cerita resesi bla bla bla bertebaran. Faktanya, ketika IHSG terbang di bulan November ini, banyak juga investor yang baru kepikiran untuk belanja! Dimana risk and reward-nya tentu saja sudah tidak setimpal, dibanding jika mereka belanja ketika IHSG masih di 4,800 - 5,000, dua bulan lalu.

Semoga membantu. Dan satu lagi: Saham legacy bukannya tidak boleh dijual sama sekali, tapi syaratnya adalah jika terjadi perubahan fundamental yang sifatnya permanen, misalnya karena terjadi penurunan kinerja yang disebabkan  kesalahan manajemen. Jika kinerja perusahaan turun hanya karena faktor resesi, dan kita cukup yakin bahwa kinerja tersebut akan pulih lagi ketika nanti resesinya berakhir, maka hold saja, dan jadikan penurunan harganya sebagai kesempatan untuk average down.

Teguh Hidayat

***

Ebook Market Planning edisi Desember 2020 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 Desember mendatang, dan anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Komentar

Anton Hermansyah mengatakan…
Pak, mungkin bisa bercerita soal "kelakuan" owner ULTJ belakangan, dari yang soal buyback saham tapi ternyata hanya untuk exit nya Indolife, lalu baru-baru saja menerbitkan MTN yang rasanya kok aneh, karena alasan berikut:

-) Nilai MTN tergolong besar karena mencapai 50% dari ekuitas

-) ULTJ merupakan perusahaan yang DPR nya hanya 20% selama ini, apakah Laba Ditahan selama ini tidak cukup untuk ekspansi organik?

-) Saat ini banyak perusahaan justru mengkonversi MTN dan Obligasi menjadi utang bank, melihat tren penurunan suku bunga dari BI (yang menguntungkan bagi pemegang floating rate) di sini ULTJ malah "melawan arus" dengan menerbitkan MTN yang berbunga 9-10%

Terima kasih sebelumnya Pak,

--
Anton
Anonim mengatakan…
Iya maunya Pemilik ULTJ apa sih bingung juga
Santrilumpur mengatakan…
Bagaimana dengan HMSP pak, kenapa bapak menjualnya, apakah penurunan drastis ini sifatnya permanen? Alias berhubungan dengan manajemen
Anonim mengatakan…
AUTO termasuk Legacy gak Pak? undervalued sekali yah sepertinya

terima kasih

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?