Prospek & Rekomendasi Saham Mitratel (MTEL)

Jika dibandingkan dengan IPO jumbo PT Bukalapak (BUKA), beberapa waktu lalu, maka IPO PT Dayamitra Telekomunikasi atau Mitratel (MTEL) dengan nilai yang bahkan lebih jumbo lagi sekilas tampak lebih menarik. Perhatikan: BUKA baru berdiri dan beroperasi tahun 2010, selama beroperasi selalu merugi, nilai ekuitasnya sebelum IPO hanya Rp1.7 trilyun (jadi dari sisi nilai aset bersih, BUKA ini sejatinya cuma perusahaan kecil/saham second liner), dan perusahaan juga sama sekali bukan merupakan market leader di bidangnya, dengan pangsa pasar hanya 14.8% pada tahun 2020. Sedangkan Mitratel? Perusahaan berdiri tahun 1995 sehingga sudah lebih mapan, merupakan bagian dari salah satu perusahaan terbesar di Indonesia yang lebih mapan lagi (PT Telkom), selalu membukukan laba sejak setidaknya tahun 2018 (dan laba tersebut juga selalu naik dari tahun ke tahun), nilai ekuitasnya sebelum IPO mencapai Rp13.7 trilyun, dan merupakan market leader di bidangnya dengan pangsa pasar 55% per Semester I 2021. Nah, jadi apakah dengan demikian sahamnya layak invest?

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal III 2021 sudah terbit! Dan bisa langsung dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan Teguh Hidayat.

***

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, mari kita pelajari lagi Mitratel ini dari awal.

PT Dayamitra Telekomunikasi dulunya didirikan dengan nama PT Dayamitra Malindo pada tahun 1995, ketika itu bukan oleh PT Telkom (TLKM) melainkan oleh Malaysia Telekom Berhad, dan ketika itu bergerak di bidang instalasi dan pembangunan sarana telekomunikasi. Pada atau sebelum tahun 2016, perusahaan sudah dimiliki sepenuhnya oleh PT Telkom dengan merk dagang ‘Mitratel’, dan fokus di bidang penyewaan menara telekomunikasi atau base transceiver station (BTS). Yang dimaksud BTS adalah menara pemancar sinyal telepon dan internet, yang menghubungkan ponsel, laptop dll dengan jaringan internet itu sendiri. Simpelnya, jika anda misalnya pakai Telkomsel dan berada di satu tempat yang susah sinyal, maka kemungkinan di sekitar itu tidak ada menara BTS Telkomsel, atau ada tapi jaraknya sangat jauh. Sedangkan jika anda berada di lokasi dimana anda bisa streaming YouTube dengan lancar, maka pasti tidak jauh dari situ ada menara BTS.

Kemudian kalau dulu, perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia seperti Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata, mereka punya BTS-nya sendiri-sendiri, dan itu tidak efisien karena biaya pembangunan terbilang mahal, mencapai milyaran Rupiah per satu menara. Maka sejak sekitar tahun 2002, muncul ide bagi perusahaan non-telekomunikasi untuk membangun BTS untuk kemudian disewakan ke perusahaan telekomunikasi, karena dalam satu BTS bisa ditempatkan beberapa pemancar sekaligus. Yup, jadi jika dulu Telkomsel harus membangun BTS-nya sendiri untuk memperluas jangkauan sinyal, maka sekarang mereka bisa menyewa BTS yang sama dengan yang disewa oleh Indosat dan XL Axiata, dan perusahaan hanya perlu membayar biaya sewa yang lebih murah dibanding jika memiliki dan mengoperasikan BTS milik sendiri. Pada perkembangannya, Telkomsel dkk kemudian menjual sebagian besar menara BTS yang mereka miliki ke Mitratel dkk, lalu balik menyewa menara tersebut untuk mereka gunakan. Kemudian jika Telkomsel hendak memperluas jaringannya, maka mereka bisa meminta Mitratel untuk membangun BTS di lokasi tertentu yang diinginkan (jadi yang keluar dana adalah Mitratel, bukan Telkomsel), kemudian menyewa menara tersebut, dan Mitratel tetap memiliki hak untuk menyewakan menara yang baru dibangun itu ke perusahaan telekomunikasi lainnya.

Kembali ke Mitratel. Didukung oleh permodalan yang kuat dari PT Telkom sebagai induknya, maka perusahaan terus menambah jumlah BTS yang dimiliki, entah itu dengan cara membangun menara baru atau akuisisi dari perusahaan lain. Alhasil jumlah menara milik Mitratel terus meningkat dari hanya 3,052 BTS pada akhir tahun 2011, menjadi 15,892 BTS pada akhir tahun 2019, dan 28,030 pada Agustus 2021. Berdasarkan data tersebut maka kita bisa lihat bahwa ketika kebutuhan akan sinyal internet meningkat pesat sejak era pandemi (sejak Maret 2020), yakni karena sekarang ada lebih banyak orang yang bekerja dan beraktivitas dari rumah secara online, maka Mitratel sukses memanfaatkan situasi tersebut dengan secara signifikan meningkatkan jumlah BTS-nya, dimana jumlah BTS milik perusahaan meningkat hampir dua kali lipat dalam waktu kurang dari dua tahun. Alhasil pada hari ini, berdasarkan jumlah BTS yang dimiliki, maka Mitratel merupakan perusahaan penyewaan menara telekomunikasi terbesar di Indonesia, jauh diatas PT Sarana Menara Nusantara (TOWR) yang memiliki 21,600 BTS, dan PT Tower Bersama Infrastructure (TBIG) yang memiliki 19,700 BTS. Kedepannya jumlah BTS yang dimiliki Mitratel masih akan bertambah lebih banyak lagi, seiring dengan masih banyaknya wilayah di Indonesia yang belum terjangkau sinyal internet. Yup, berdasarkan data dari Analysys Mason, Indonesia saat ini baru memiliki 37 menara BTS per 100,000 penduduk, jauh dibawah Malaysia yang memiliki 109 BTS, Vietnam 92 BTS, dan Thailand 75 BTS per 100,000 penduduk. Demikian pula berdasarkan penggunaan kuota internet per bulan per kapita, maka Indonesia masih ketinggalan dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara. Menurut penulis sendiri ini bukan karena industri telekomunikasi di tanah air tidak berkembang, malah justru penggunaan data seluler per pelanggan di Indonesia meningkat sangat pesat hingga 11 kali lipat dalam 5 tahun terakhir. Tapi memang karena dasarnya Indonesia ini negara besar, dengan jumlah penduduk yang juga terbesar keempat di dunia (lebih dari 275 juta), maka ruang pertumbuhan bagi industri telekomunikasi disini, khususnya industri penyewaan menara telekomunikasi, masih terbuka sangat lebar, dan Mitratel berada di posisi terdepan untuk memaksimalkan peluang pertumbuhan tersebut.


Unfortunately dari sisi profitabilitas, maka Mitratel masih kalah dibanding TOWR ataupun TBIG. Yup, sejak tahun 2018 sampai dengan Juni 2021, ROE TOWR mencapai 27 – 31%, TBIG 15 – 21%, sedangkan ROE Mitratel hanya 6 – 15%. Jadi ketika Mitratel ‘kejar tayang’ dengan banyak menambah menara baru dalam 1 – 2 tahun terakhir, maka belum semua menara baru tersebut tersewakan secara optimal, dimana tenancy ratio Mitratel terakhir hanya 1.50x (yang itu artinya, setiap 2 BTS milik Mitratel disewa oleh 3 perusahaan telekomunikasi). Sebagai perbandingan, tenancy ratio TOWR tercatat 1.83x, sedangkan TBIG 1.96x. Karena dari dana hasil IPO-nya senilai Rp24.9 trilyun, sebagian besar diantaranya akan digunakan untuk kembali menambah jumlah BTS, maka ROE serta tenancy ratio tadi akan turun lebih rendah lagi, karena tidak hanya perusahaan akan butuh waktu untuk mengakuisisi dan membangun BTS baru, perusahaan juga akan butuh waktu untuk memperoleh pelanggan untuk menyewa BTS baru tersebut. Skenario terburuknya adalah, jika nanti jumlah BTS milik Mitratel sudah sedemikian banyaknya, maka bisa terjadi kondisi oversupply menara dimana tenancy ratio perusahaan anjlok hingga dibawah 1x, yang itu artinya ada banyak menara yang nganggur karena masih belum memperoleh penyewa (dan dalam hal ini perusahaan akan tekor, karena menara itu akan tetap butuh biaya operasional, sedangkan pendapatannya nol). Memang dalam jangka panjangnya, let say 5 – 10 tahun kedepan, maka skenario terburuk diatas kecil kemungkinannya untuk terjadi, karena seperti disebut diatas, kebutuhan akan menara BTS ini masih tinggi seiring dengan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia yang membutuhkan sinyal internet. Tapi dalam jangka pendek 1 – 2 tahun, maka kondisi anjloknya tenancy ratio seperti yang disebut diatas tetap mungkin untuk terjadi, yakni jika manajemen Mitratel tidak bisa gerak cepat dalam mengelola aset menara BTS yang mereka miliki, yang terus bertambah dari waktu ke waktu.

Dan sekali lagi, karena jumlah dana hasil IPO-nya sangat besar (total aset Mitratel sebelum IPO adalah Rp32.2 trilyun, sedangkan dana hasil IPO-nya mencapai Rp24.9 trilyun), maka waktu yang dibutuhkan untuk memaksimalkan dana tersebut juga bisa sangat lama. I mean, penulis sendiri kalau setor dana baru ke sekuritas, maka saya bisa butuh waktu berbulan-bulan u/ menganalisa sembari menunggu munculnya kesempatan, untuk bisa menghabiskan seluruh dana baru tersebut untuk beli saham, dimana semakin besar dananya maka semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk menganalisa. Nah, sekarang bayangkan anda adalah direktur utama Mitratel yang selama ini kelola aset Rp32.2 trilyun, lalu tiba-tiba saja dapat uang tunai Rp24.9 trilyun untuk beli banyak menara baru, yang setelah itu harus disewakan agar dihasilkan pendapatan. Maka apakah anda bisa mengerjakan itu semua dalam waktu 1 – 2 tahun saja, sehingga profitabilitas perusahaan tetap terjaga?

Valuasi Saham Mitratel: Tidak Mahal, Tapi Juga Belum Terlalu Murah

Terlepas dari fundamentalnya yang belum sebagus TOWR ataupun TBIG, plus adanya kemungkinan kinerja perusahaan dari sisi profitabilitas justru akan turun dalam 1 – 2 tahun kedepan, namun valuasi saham Mitratel pada harga IPO-nya (asumsi Rp975 per saham), terbilang relatif murah. Okay, mari coba kita hitung. Ekuitas MTEL sebelum IPO adalah Rp13.7 trilyun, yang setelah ditambah dana IPO-nya Rp24.9 trilyun, maka hasilnya Rp38.6 trilyun. Jumlah saham MTEL setelah IPO, ESA (employee stock allocation), dan MESOP (management and employee stock option plan), adalah 85.7 milyar lembar. Maka nilai buku MTEL adalah Rp38.6 trilyun dibagi 85.7 milyar saham, sama dengan (dibulatkan) Rp451 per saham. Karena harga sahamnya Rp975, maka PBV-nya 975 / 451 = 2.1 kali. Sebagai perbandingan, ketika artikel ini ditulis, PBV TOWR mencapai 6 kali, TBIG 7 kali, dan bahkan TLKM 3 koma sekian kali. Mungkin perlu juga dicatat bahwa valuasi TOWR, TBIG dan TLKM selama ini memang selalu tinggi, karena ketiga perusahaan sukses men-deliver kinerja bagus dan konsisten dalam jangka panjang dari tahun ke tahun, plus juga rutin bayar dividen.

Sedangkan untuk MTEL, maka meski saat ini perusahaan merupakan yang terbesar di bidangnya, tapi kinerjanya masih dalam tahap pertumbuhan alias belum mapan, dan mungkin masih akan butuh waktu setidaknya 5 tahun ke depan sampai perusahaannya mencapai tingkat profitabilitas yang minimal sama dengan para pesaingnya. Jadi jika dilihatnya dari sini, maka valuasi MTEL tidak bisa dianggap murah juga. Kemudian dari sisi ROE, maka laba bersih MTEL di tahun 2021 ini mencapai Rp1.4 trilyun disetahunkan, sehingga ROE-nya adalah 1.4 / 38.6, sama dengan 3.6%, atau hanya sedikit diatas bunga deposito Bank BRI. Jika kita bersikap optimis, dimana kita anggap di tahun 2022 nanti laba MTEL akan naik 2 kali lipat menjadi Rp2.8 triyun, maka ROE-nya juga tetap hanya 7 koma sekian persen. Itu tentu masih belum cukup menarik, apalagi dalam era pemulihan ekonomi sekarang dimana ada banyak perusahaan lain yang menawarkan profitabilitas yang jauh lebih besar dari itu, sedangkan PBV-nya juga hanya 1 koma sekian kali, atau lebih rendah lagi.

Kesimpulan

Sekali lagi, jika perbandingannya adalah IPO Bukalapak beberapa waktu lalu, maka IPO Mitratel ini unggul segala-galanya, dan dalam jangka waktu 5 – 10 tahun ke depan juga perusahaan bisa diharapkan akan tumbuh lebih besar lagi, seiring dengan kuatnya support dari Pemerintah sebagai ultimate shareholder (sedangkan u/ Bukalapak, jika perusahaan tidak juga cuan meski sudah kembali jor-joran bakar duit, misalnya karena tetap kalah bersaing dengan Tokopedia dan Shopee yang jauh lebih besar, maka bisa ditebak sahamnya bakal kemana). Namun jika horizon investasi anda tidak selama itu, maka sekarang ini ada banyak pilihan saham lain di BEI yang menawarkan capital gain lebih besar, dan jangka waktu hold yang juga lebih singkat, kurang lebih hanya hitungan bulan saja. Penulis sendiri, seperti yang bisa anda tebak, tidak ikut IPO MTEL ini, melainkan kita akan tunggu saja perkembangan kinerja serta harga sahamnya dalam 1 – 2 tahun kedepan, dimana kami perkirakan bahwa meski MTEL ini gak akan turun, tapi dia tidak akan naik signifikan juga. Harapan penulis adalah tentu saja, manajemen MTEL sukses memaksimalkan dana baru yang mereka terima dengan cepat, sehingga pendapatan dan laba MTEL langsung naik signifikan dalam 1 – 2 tahun kedepan, sedangkan disisi lain sahamnya gak kemana-mana atau bahkan turun, karena sejak awal valuasinya memang tanggung.

Dan jika skenarionya demikian, maka pada tahun 2023 nanti kita akan bahas lagi Mitratel ini, dan mudah-mudahan pada saat itu saya sudah bisa merekomendasikan sahamnya untuk anda beli sekaligus dalam jumlah besar, sampai jual rumah juga boleh!

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal III 2021 sudah terbit! Dan bisa langsung dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan Teguh Hidayat.

Dapatkan postingan via email

Komentar

yasinramadhani mengatakan…
Tanpa perlu money management lagi ya bang wkk
goodman mengatakan…
hmm, saya kepikiran untuk jual tanah hahaha
christian mengatakan…
pasti cerah nasib sahamnya .. org bikin BTS .. udah tetkenal dimana mana :D
Kris mengatakan…
5G yg akan akan mulai masif di thn depan konon sangat perlu Tower dlm jml yg jauh lbh banyak. Jika dilihat dr prospek bisnisnya MTEL sptnya cukup prospektif.
Anonim mengatakan…
Semoga kinerja MTEL bisa meningkat selanjutnya. Saya pribadi cicil di harga setelah IPO mumpung diskon, takutnya 1-2 tahun harganya sudah tidak terkejar lagi
yomomma mengatakan…
wah ini tukang pompom berbalut value investing

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham