Pengaruh Larangan Ekspor CPO Terhadap Prospek Saham Perkebunan Kelapa Sawit

Pada hari Kamis, 21 April 2022, Presiden Jokowi secara langsung mengumumkan bahwa Pemerintah resmi melarang ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), yang merupakan bahan baku utama minyak goreng, hingga batas waktu yang belum ditentukan. Tujuan larangan ini sangat jelas, yakni untuk menjaga ketersediaan CPO di dalam negeri, sehingga harga minyak goreng yang sempat naik sangat tinggi menjadi lebih terkendali. Nah, tapi bagaimana dampak larangan ini terhadap kinerja perusahaan sawit? Apakah itu artinya kinerja pendapatan dan PP London Sumatera (LSIP) dkk akan turun?

***

Libur panjang, waktunya belajar investasi saham lagi! Khususnya dengan metode value investing, bisa mulai dari sini. Tersedia diskon khusus lebaran bagi anda yang bergabung sebelum atau pada hari Minggu, 8 Mei 2022. Bonus: Alumni bisa mengikuti live webinar pada hari Sabtu, 14 Mei 2022, langsung dengan Teguh Hidayat, secara gratis.

***

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, pertama-tama kita telisik lagi awal kronologisnya hingga Pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor CPO. Jadi seperti yang kita ketahui, tak lama setelah dunia memasuki era ‘new normal’ pada paruh kedua tahun 2020, dan kegiatan ekonomi berangsur-angsur kembali normal setelah peraturan lockdown karena pandemi secara bertahap dilonggarkan, maka harga-harga komoditas mulai naik lagi. Hingga pada satu titik, harga-harga komoditas sudah naik sampai kembali ke level sebelum pandemi. Komoditas CPO contohnya, harganya di Bursa Malaysia Futures turun dari 3,100 Ringgit Malaysia per ton pada Desember 2019, menjadi persis RM2,000 per ton pada Mei 2020, ketika itu karena sentimen negatif lockdown. Tapi pada akhir tahun 2020 harga CPO sudah di level RM3,000-an lagi.

Kemudian pada Februari 2021, dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi yang sempat drop karena resesi pandemi, Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk ketiga kalinya meluncurkan paket stimulus ekonomi senilai $1.9 triliun, dimana boleh dibilang uangnya berasal dari aksi ‘cetak Dollar’ oleh The Fed. Sehingga jika ditotal, Pemerintah AS menggelontorkan tidak kurang dari $6.4 triliun uang Dollar baru ke perekonomian AS, dimana uang baru itu pada akhirnya masuk ke berbagai instrumen keuangan seperti saham, cryptocurrency, dan perdagangan berjangka komoditas. Dan itulah yang menyebabkan harga-harga saham di Bursa Wallstreet, harga crypto, dan harga komoditas terus saja naik sampai sekitar bulan November tahun 2021 kemarin. Lalu memasuki tahun 2022, The Fed akhirnya melakukan tapering dan menaikkan suku bunga Fed Rate, dan barulah harga-harga saham terutama di Amerika, dan juga crypto bergerak turun.

Nah, tapi ceritanya berbeda dengan komoditas yang masih lanjut naik sampai sekarang karena, perhatikan: Saham dan crypto adalah aset keuangan yang tidak benar-benar dibutuhkan dalam aktivitas ekonomi yang riil. Tapi beda halnya dengan komoditas, misalnya saja CPO, maka itu barangnya memang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, dalam hal ini untuk bahan baku minyak goreng, margarin, sabun, lilin, pelumas, kosmetik, dan masih banyak lagi. Jadi ketika aktivitas ekonomi sekarang ini sudah kembali normal pasca pandemi, maka permintaan akan minyak goreng dll kembali naik tajam, dan otomatis permintaan CPO juga meningkat ketika suplainya belum benar-benar pulih.

Dan alhasil pada akhir tahun 2021, harga CPO tembus rekor RM4,900, dan pada awal Maret 2022 lalu ketika ramai cerita invasi Rusia ke Ukraina, harga CPO bahkan sempat tembus rekor lagi di RM7,000, sebelum kemudian melandai lagi hingga ketika analisa ini ditulis, harganya stabil di RM6,500 per ton. Sehingga jika dihitung dari posisi terendahnya pada Maret 2020 lalu yakni RM2,000, maka harga CPO sejauh ini sudah naik lebih dari tiga kali lipat. Maka tidak heran jika perusahaan-perusahaan sawit disini kemudian lebih banyak menjual CPO-nya keluar negeri, karena bahkan ketika harga minyak goreng disini sudah naik dua kali lipat, tapi kenaikan harga CPO di pasar ekspor lebih tinggi lagi. Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki, Indonesia memproduksi total 46.9 juta ton CPO di tahun 2021, dimana 26.9 juta ton atau 57.4% diantaranya diekspor keluar negeri. Tapi karena pada empat bulan pertama di tahun 2022 ini harga CPO naik lebih tinggi lagi, maka kemungkinan persentase ekspornya naik menjadi 60 atau 70%, dan hal itu pada akhirnya menyebabkan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.

Karena itulah Pemerintah akhirnya melarang ekspor CPO, dimana ketika nantinya suplai CPO di dalam negeri menjadi melimpah karena adanya larang ini, maka mau tidak mau harganya, termasuk harga minyak goreng, akan turun. Nah, tapi pertanyaannya sekarang, bagaimana dampak larangan ekspor ini terhadap kinerja emiten sawit? Untuk menjawab ini maka ada beberapa poin-poin analisa yang penulis perhatikan.

Pertama, berbeda dengan katakanlah perusahaan-perusahaan batubara, mayoritas perusahaan sawit Tbk lebih banyak menjual produknya di dalam negeri ketimbang ekspor, dan pada harga yang sebagian besar ditentukan oleh Pemerintah, yang meskipun ikut naik tapi tetap lebih rendah dibanding harga CPO di pasar internasional. Itulah sebabnya sampai dengan tahun penuh 2021 kemarin, kinerja Astra Agro Lestari dkk, meski naik signifikan, tapi labanya belum sebesar laba milik Indo Tambangraya Megah dkk, termasuk dividennya juga kecil. Jadi dengan adanya larangan ekspor ini, maka kinerja emiten-emiten sawit memang akan tertekan, karena sejak awal mereka hanya diuntungkan sedikit saja oleh kenaikan harga CPO di pasar internasional, karena porsi ekspor mereka kecil (dan sekarang porsi ekspor yang kecil itu ditutup sama sekali).

Pemandangan kompleks pabrik kelapa sawit milik PT. PP London Sumatera, Tbk

Kemudian kedua, tujuan dari larangan ekspor ini kan untuk menurunkan harga minyak goreng, tapi penulis kira goal-nya tidak harus sampai balik lagi ke Rp12,000, melainkan kurang lebih Rp16,000 – 17,000 per liter. Karena kenyataannya, kenaikan harga migor yang sampai Rp24,000 per liter itu tidak sampai menurunkan permintaan migor itu sendiri, dimana stok minyak goreng di supermarket tetap habis diborong ibu-ibu. Jadi maksud penulis adalah, masyarakat sebenarnya bisa menerima kenaikan harga migor, tapi ya jangan sampai dua kali lipat banget lah. Sama seperti harga Pertamax yang naik dari Rp9,000 ke Rp12,000 per liter, maka penulis perhatikan pom bensin tetap diserbu pengguna kendaraan bermotor, dan jalanan masih macet karena orang pada ngabuburit.

Dengan kata lain, ketika nanti harga migor mulai turun, maka larangan ekspor CPO itu juga akan dilonggarkan secara bertahap, hingga akhirnya keran ekspor CPO akan dibuka sama sekali ketika harga migor sudah di level Rp16,000 – 17,000 itu tadi, dimana penulis kira itu akan butuh waktu 2 – 3 bulan dari sekarang (sedikit lebih lama dibanding larangan ekspor batubara kemarin yang hanya 1 bulan, karena memang berbeda dengan kebutuhan CPO di dalam negeri yang mencapai sekitar 45% dari volume produksi CPO nasional, maka kebutuhan batubara di dalam negeri hanya sekitar 25% dari volume produksi batubara nasional).

Terakhir ketiga, larangan ekspor CPO ini memang akan menurunkan kinerja emiten sawit di Kuartal II 2022, tapi disisi lain berkurangnya suplai CPO di pasar internasional akan menyebabkan harga CPO naik lebih tinggi lagi, dimana semakin lama larangan ekspor itu berlaku, maka akan semakin tinggi juga kenaikan harga yang terjadi. Jika benar bahwa larangan ekspor ini akan berlaku selama 2 – 3 bulan kedepan, maka penulis perkirakan harga CPO bisa kembali cetak rekor di RM7,500 – 8,000 per ton. Thus, pada Kuartal III nanti ketika keran ekspor akhirnya kembali dibuka, maka emiten-emiten sawit akan kembali cuan besar, dengan profit yang bahkan lebih besar dibanding Kuartal I 2022, yakni ketika larangan ekspor belum diberlakukan.

Jadi, kesimpulannya? Yup, prospek sektor perkebunan kelapa sawit untuk tahun 2022 ini secara keseluruhan tetap cerah, namun mungkin investor akan akan wait and see sampai emiten sawit merilis LK Kuartal I dan II di tahun 2022, karena kata kuncinya adalah kinerja emiten sawit sebenarnya tidak terlalu bagus bahkan sebelum ada larangan eskpor. Tapi mudah-mudahan dampak larangan ini tidak terlalu buruk karena disisi lain harga CPO di pasar ekspor naik lebih tinggi lagi, dimana jika benar skenarionya demikian, misalnya laba emiten-emiten sawit masih naik sedikit dibanding periode yang sama di tahun 2021 (dan harusnya demikian, karena balik lagi harga migor gak akan turun sampai Rp12,000 lagi), sedangkan disisi lain harga CPO beneran lanjut naik dan stabil di RM7,000 – 8,000 per ton, maka barulah mulai paruh kedua tahun 2022 nanti, saham-saham sawit akan melaju kencang.

Sehingga kalau anda belum masuk, maka tidak perlu buru-buru, karena sepertinya untuk sekarang momentumnya masih ada di sektor batubara. Tapi jika anda sudah pegang saham sawit maka hold saja, karena seperti disebut diatas, prospek sawit untuk tahun 2022 ini secara keseluruhan tetap cerah, hanya kita perlu nunggu lebih sabar saja. Prediksi ini tentunya bisa berubah jika ternyata Pemerintah lebih cepat mencabut larangan ekspor CPO, alias gak harus nunggu sampai 2 – 3 bulan kedepan, we’ll see.

***

Libur panjang, waktunya belajar investasi saham lagi! Khususnya dengan metode value investing, bisa mulai dari sini. Tersedia diskon khusus lebaran bagi anda yang bergabung sebelum atau pada hari Minggu, 8 Mei 2022. Bonus: Alumni bisa mengikuti live webinar pada hari Sabtu, 14 Mei 2022, langsung dengan Teguh Hidayat, secara gratis. 

Dapatkan postingan via email

Komentar

yasinramadhani mengatakan…
Siap pak Teguh, terima kasih pencerahannya

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Kuartal II 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia