Mulai Juni Batas ARB Menjadi 15%, Investor Harus Bagaimana?

Seperti yang anda ketahui, per tanggal 1 Juni 2023, Bursa Efek Indonesia (BEI) akan memberlakukan batas auto reject bawah atau ARB 15%, dari sebelumnya 7%. Yang itu artinya jika pada saat ini sebuah saham di BEI hanya bisa turun maksimal 7% dalam sehari, maka mulai Juni nanti, saham apapun bisa turun hingga 15% dalam sehari. Terdengar menakutkan? Well, nggak juga, dan berikut penjelasannya. Tapi sebelum itu penulis hendak mengajak anda untuk melihat lagi kasus bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat, bulan Maret lalu.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Kuartal I 2023 sudah terbit! Dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Semuanya dimulai ketika pada tanggal 8 Maret, lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat utang SVB, sebuah bank skala menengah (terbesar No.16) di Amerika Serikat, ketika itu dengan alasan SVB menderita kerugian besar dari investasi mereka pada Surat Utang Pemerintah (treasury bonds). Keesokan harinya pada tanggal 9 Maret, para nasabah yang panik melakukan penarikan dana besar-besaran dari SVB, hingga pada tanggal 10 Maret-nya SVB sudah sudah kehabisan uang dan tidak lagi bisa membayar kepada nasabah yang menarik dana tabungan mereka. Pada hari yang sama, Pemerintah melalui Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) menyatakan bahwa SVB failed (bangkrut)lalu mengambil alih aset-aset SVB dan kemudian melelangnya.

Kemudian dalam rentang waktu yang sama yakni tanggal 8 – 10 Maret, maka tentu saja saham SVB itu sendiri di New York Stock Exchange (NYSE) anjlok gila-gilaan sebelum akhirnya delisting (dikeluarkan dan tidak lagi diperdagangkan di NYSE). Nah, tapi tahukah anda bahwa di waktu yang bersamaan, ada banyak saham-saham bank kecil – menengah lainnya di NYSE yang juga ikut anjlok? Salah satunya First Republic Bank (FRC), yang pada hari Rabu 8 Maret sahamnya masih berada di posisi $115, tapi pada hari Senin, 13 Maret, dia sudah turun ke posisi $30. Yep, harga saham FRC anjlok hingga tinggal seperempatnya hanya dalam tiga hari perdagangan, padahal ketika itu perusahaan gak ada masalah apa-apa. Jadi bisa dibilang bahwa dia turun hanya karena terseret sentimen negatif SVB saja.

Namun demikian berbeda dengan saham-saham bank lain di NYSE yang rebound dan naik kembali, maka untuk FRC ini ceritanya beda sendiri: Pada hari Minggu, 19 Maret, lembaga pemeringkat S&P mengumumkan bahwa mereka menurunkan peringkat utang FRC menjadi junk, yang merupakan peringkat terendah. Alasannya adalah karena pada saat itu FRC mengalami capital shortfall (kekurangan dana untuk membayar kewajiban-kewajibannya, termasuk untuk membayar ke nasabah yang menarik tabungan) sebesar $13.5 miliar, yang disebabkan oleh aksi penarikan dana besar-besaran oleh para nasabahnya sejak sebulan sebelumnya. Jadi ternyata ketika SVB bangkrut, maka tidak hanya saham FRC ikut anjlok, tapi sejumlah nasabah FRC juga ikut menarik tabungan mereka dan memindahkannya ke bank lain, hingga akhirnya FRC mengalami capital shortfall itu tadi.

Alhasil pada hari Seninnya, 20 Maret, saham FRC tanpa ampun kembali ambles hingga tinggal $11. Sehingga secara keseluruhan saham FRC turun lebih dari 90% hanya dalam waktu kurang dari dua minggu. Tapi bahkan sampai pada titik itu ceritanya masih belum selesai. Sebulan kemudian, tepatnya pada hari Jumat, 28 April, manajemen FRC mengumumkan bahwa mereka menderita kerugian besar karena situasi shortfall diatas, sehingga terpaksa menjual sejumlah asetnya dalam posisi rugi, serta PHK karyawan. Imbasnya masih di hari yang sama, saham FRC kembali anjlok ke posisi $3, sebelum kemudian disuspen setelah FDIC menyatakan bahwa FRC bangkrut, dan mengambil alih seluruh asetnya. Dan pada hari ini, seperti halnya SVB, FRC juga sudah dinyatakan tutup dan tidak beroperasi lagi, termasuk sahamnya sudah tidak lagi diperdagangkan di NYSE.

NYSE Jauh Lebih Brutal Dibanding BEI

Dari kasus FRC diatas kita bisa melihat bagaimana sebuah perusahaan yang sehat, gak ada masalah apa-apa, bisa langsung bangkrut hanya dalam hitungan minggu. Yep, berbeda dengan SVB yang sejak awal memang bermasalah karena merugi dari investasinya di treasury bonds, maka kerugian yang dialami FRC adalah karena kepanikan nasabahnya sendiri yang menarik dana tabungan secara besar-besaran sejak ketika SVB bangkrut.

Kemudian terlepas dari kebangkrutan perusahaannya, maka saham FRC itu sendiri anjlok tidak karu-karuan sejak kasus SVB pertama muncul, dimana seperti disebut diatas, FRC turun dari $115 ke $30 hanya dalam tiga hari, lalu lanjut turun ke $11 dalam seminggu berikutnya, dan akhirnya mati dan di-delisting pada posisi $3, sebulan kemudian. Jadi kalau penulis sendiri pegang saham FRC, maka bisa dibilang bahwa sebelum saya sempat mengambil nafas uang saya sudah habis duluan, karena saham FRC bukan turun 7%, bukan pula 15%, melainkan turun 100% (karena delisting) hanya dalam waktu kurang dari dua bulan. Hal ini karena di NYSE tidak ada sistem batas ARB, sehingga saham apapun bisa turun sampai puluhan persen hanya dalam sehari. Dan juga tidak ada aturan suspensi, dimana sebuah saham hanya disuspend/dihentikan perdagangannya jika perusahaannya sudah dinyatakan bangkrut (dan biasanya langsung delisting juga).

Okay, lalu bagaimana dengan di Indonesia? Well, seperti yang kita ketahui di BEI pada saat ini masih berlaku ARB 7%, dan sebuah saham juga akan disuspend jika perusahaannya bermasalah, sehingga memberikan kesempatan kepada para pemegang sahamnya untuk kembali fokus baca-baca lagi laporan keuangan dll, alih-alih panik karena sahamnya turun terus. Alhasil di BEI jarang terjadi seorang investor menderita rugi sampai uangnya habis sama sekali dari satu saham dalam waktu yang amat sangat singkat, seperti kasus FRC diatas. Dan kalaupun ada saham dari perusahaan bermasalah yang pada akhirnya disuspen dan/atau delisting, maka prosesnya biasanya cukup panjang antara berbulan-bulan hingga beberapa tahun, sehingga memberikan kesempatan bagi investor untuk cut loss. Jadi meski ia tetap merugi tapi ruginya tidak sampai 100%, alias uangnya masih ada sisanya. Contohnya? Waskita Karya (WSKT). You see, jauh sebelum perusahaan menerima gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), alias gagal bayar utang pada tanggal 3 Januari 2023, yang menyebabkan sahamnya disuspend pada tanggal 16 Februari-nya, maka sejak tahun 2020-nya, WSKT sudah menderita rekor kerugian Rp7.4 triliun.

Kemudian kalau sekedar rugi saja maka sebenarnya itu tidak terlalu jadi masalah. Namun pada tahun 2020 tersebut, aset lancar WSKT menyusut menjadi Rp28.8 triliun, jauh lebih kecil dibanding kewajiban lancarnya Rp48.6 triliun, dan ekuitasnya juga tinggal Rp3.2 triliun. Yang itu berarti jika pada tahun 2021-nya kondisinya tidak segera membaik, dan kelihatannya memang demikian karena pada saat itu situasi pandemi Covid sedang parah-parahnya, maka WSKT bisa kembali rugi, mengalami gagal bayar utang karena kesulitan likuiditas, dan ekuitasnya menjadi negatif sehingga secara teknis WSKT bisa dikatakan bangkrut. Ini pula alasan penulis sendiri tidak pernah melirik sahamnya, meskipun saham WSKT sempat naik tinggi dari 500-an sampai dengan 1,900-an ketika euforia pasar antara September 2020 – Januari 2021. Dan ternyata benar kondisi WSKT tetap tidak membaik sehingga setelah itu sahamnya turun lagi, dan terus turun sampai akhirnya disuspen di harga 202. Alias turun lebih dari 90% tapi bukan dalam waktu beberapa minggu, melainkan lebih dari dua tahun.

Sehingga, jika penulis sendiri kemarin itu pegang saham WSKT, maka saya akan sudah cut loss jauh sebelum sahamnya sekarang disuspen. Jadi dengan demikian saya tetap rugi tapi tidak sampai habis sama sekali. Tapi ceritanya bisa berbeda 180 derajat jika yang saya pegang bukan WSKT, melainkan FRC. Karena, you know, sebelum kita akhirnya memutuskan untuk jual rugi sebuah saham maka pastinya akan ada banyak sekali analisa serta pertimbangan yang harus dikerjakan, dimana jika kesimpulan akhirnya adalah situasinya memang sudah hopeless, maka baru kita cut loss. Dengan kata lain ketika saham yang kita pegang anjlok maka bukan berarti kita akan langsung jual pada saat itu juga, melainkan kita akan perlu waktu untuk mengerjakan analisa itu tadi. Tapi dalam kasus FRC, maka karena segala sesuatunya terjadi sangat cepat, maka bisa jadi sahamnya sudah delisting duluan sebelum kita sempat keluar, dan alhasil kita rugi 100%. Jadi berbeda dengan kasus WSKT, dimana karena turunnya pelan-pelan maka kita normalnya akan punya cukup waktu untuk keluar sebelum benar-benar terlambat/sahamnya delisting, dan alhasil kerugian kita tidak sampai 100%.

Strategi Menghadapi Peraturan ARB 15%

Nah, tapi yang ingin penulis sampaikan disini adalah, bahkan dengan aturan main yang ‘brutal’ seperti itu (gak ada ARB, gak ada suspend), namun bursa saham Amerika tetap sukses memunculkan banyak investor besar, termasuk tentunya Warren Buffett (WB) yang sampai hari ini masih betah berinvestasi disana, dan juga masih sangat kaya raya. Dan kenapa para billionaire investor ini bisa tetap cuan? Jawabannya ada tiga. Pertama adalah diversifikasi. Nah, sekarang bayangkan anda tidak melakukan diversifikasi, melainkan all in semua dana hanya pada satu saham, dan saham itu adalah FRC (atau WSKT). Maka bakal gimana jadinya? Tapi dengan kita melakukan diversifikasi, maka kalaupun salah satu saham kita bernasib seperti FRC/WSKT ini (turun sampai 100%, karena sekarang sahamnya disuspend), maka sisa investasi kita tetap banyak karena sebagian besar dana kita ditempatkan di saham-saham lain. Penulis sendiri sudah membahas lengkap soal cara menerapkan diversifikasi disini.

Kedua, jika perusahaan yang sahamnya kita pegang bermasalah, maka segera analisa ulang. Dan jika kesimpulannya adalah bahwa kita harus jual, maka segera jual sebelum terlambat. Pada Mei 2020 lalu, memanfaatkan rebound pasar dimana saham American Airlines (AAL), Delta Airlines (DAL), United Airlines (UAL), dan Southwest Airlines (LUV) naik tajam pasca market crash di bulan Maretnya, maka Berkshire Hathaway memutuskan untuk menjual/cut loss habis keempat-empatnya, dan menderita realisasi kerugian senilai total $8 miliar. Dan meski keputusan WB untuk sesaat tampak keliru, karena beberapa bulan kemudian AAL, DAL, UAL, dan LUV semuanya naik lebih tinggi lagi, tapi pada hari ini keempat saham tersebut turun lagi ke posisi harganya di bulan Mei 2020, atau bahkan lebih rendah lagi. Sehingga keputusan WB untuk cut loss AAL dkk terbukti benar. Tapi terlepas dari apakah cut loss itu tepat atau keliru, maka WB tidak pernah menunda-nunda untuk menjual saham, yakni ketika dia menganggap bahwa prospek perusahaannya sudah tidak bagus lagi (karena memang ketika itu sedang parah-parahnya pandemi, dan tidak ada gambaran sama sekali soal kapan penerbangan di seluruh dunia akan kembali pulih).

Dan ketiga, pilihlah saham dari perusahaan yang benar-benar bagus, jadi bukan saham-saham gorengan ‘calon ARA’ gak jelas yang katanya bakal dikerek bandar, dan mungkin sahamnya beneran naik bahkan sampai ARA, tapi karena fundamentalnya zonk maka tak lama kemudian dia ARB berjilid-jilid. Contoh yang paling diingat investor di Indonesia tentunya saham Goto Gojek Tokopedia (GOTO), yang meski pasca IPO-nya sempat naik dari 338 sampai 400-an, tapi toh nyungsep juga pada akhirnya, karena memang sampai hari ini perusahaannya selalu merugi. Saham-saham seperti GOTO inilah yang kalau nanti batas ARB menjadi 15%, maka mereka bakal cepat sekali turunnya tanpa memberi kesempatan bagi investor untuk keluar.

Sudah tentu, meski tips untuk ‘bertahan dalam situasi pasar tanpa batas ARB dan suspensi’ hanya ada tiga, tapi tiga-tiganya sulit untuk diterapkan terutama oleh investor pemula. Misalnya untuk diversifikasi saja, penulis perhatikan banyak sekali investor paruh waktu yang belum bisa menerapkannya (pengennya all in melulu), bahkan meski ia sudah cukup lama di saham. Namun demikian jika anda bisa menerapkan tiga tips tersebut, maka jangankan ARB 15%, atau 35%, bahkan jika gak ada batas ARB sekalipun sebenarnya no problemo. Contohnya ya Warren Buffett, yang sampai hari ini kegiatan investasinya masih aman-aman saja. Di Indonesia sendiri, maka sebelum tahun 2020, batas ARB di BEI bukan 7%, bukan pula 15%, melainkan 20 – 35%. But still, penulis bisa dengan bangga mengatakan bahwa kami di Avere sejak tahun 2010 sampai dengan hari ini tidak pernah menderita rugi sampai 100% dari satu saham tertentu, karena kami selalu menerapkan tiga strategi diatas (diversifikasi, segera jual jika memang harus jual, dan hindari saham-saham gorengan). Malah seperti yang pernah penulis sampaikan disini, jika nanti ARB 35% akhirnya berlaku di bulan September 2023, maka dampaknya ke pasar modal kita akan positif, karena aktivitas spekulasi di saham-saham bandar itu akan berkurang signifikan, dan investor akan kembali ke saham-saham berfundamental bagus.

Disisi lain karena investor angkatan corona yang baru beli saham sejak tahun 2020 tentunya belum pernah melihat sebuah saham turun sampai 20 – 35% dalam sehari, maka mereka tentu akan kaget dan panik jika batas ARB langsung balik lagi ke 20 – 35%. Jadi memang sebaiknya pelan-pelan dengan ARB 15% dulu, dimana jika pasarnya tidak bergejolak maka baru nanti September batas ARBnya normal lagi menjadi 20 - 35%. Anyway, kita lihat bagaimana pelaksanaannya di bulan Juni nanti.

Minggu depan kita akan bahas kasus cyber attack yang dialami Bank Syariah Indonesia (BRIS).

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Kuartal I 2023 sudah terbit! Dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

Ahmad K22 mengatakan…
Terima kasih banyak pak Teguh, sangat membantu sekali khususnya bagi sya yg masih baru terjun di pasar modal.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham