Saham Perbankan Ini Masih Murah, dan Ada Dipegang Oleh Konglomerat

Pada ulasan minggu lalu, kita sudah membahas sedikit tentang Winarno Tjajadi, seorang konglomerat pemilik perusahaan perkebunan kelapa sawit yang juga menjadi pemegang saham di Bank BNI, Tbk (BBNI), dengan nilai kepemilikan mencapai hampir Rp4 triliun. Nah, tapi tahukah anda bahwa Bapak Winaro bukanlah satu-satunya crazy rich yang berinvestasi secara pasif di saham perusahaan Tbk., melainkan masih ada banyak lagi yang lainnya?

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Q4 2023 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Yup, salah satunya adalah Hermanto Tanoko, pemilik Grup Tancorp yang membawahi banyak anak usaha seperti Cat Avian, Depo Bangunan, Air Minum Cleo, dst, dimana Bapak Hermanto diketahui memegang saham PT Bank Danamon, Tbk (BDMN), tepatnya sebanyak 4.6 juta lembar pada tanggal 31 Desember 2022, yang jika dikali harga sahamnya saat ini yakni Rp2,840, maka nilainya mencapai Rp13 miliar. Memang ‘tidak seberapa’ jika dibanding saham BBNI milik Bapak Winarno yang nilainya mencapai triliunan Rupiah, namun kemungkinan itu karena Bapak Hermanto tidak all in hanya di satu atau dua saham, melainkan ia melakukan diversifikasi. Jika ditotal, penulis perkirakan nilai kepemilikan Bapak Hermanto secara minoritas di saham-saham perusahaan Tbk mencapai setidaknya sekian ratus miliar Rupiah, dan itu belum termasuk kepemilikan mayoritas di emiten-emiten Grup Tancorp yang juga listing di BEI.

Daftar 20 pemegang saham terbesar BDMN per akhir tahun 2022, diambil dari laporan tahunan 2022. Tampak nama Bapak Hermanto di urutan No. 18

Kemudian karena pada daftar 20 pemegang saham terbesar BDMN per akhir tahun 2021, nama Bapak Hermanto tidak atau belum disebut, maka artinya beliau baru mulai masuk dalam jumlah signifikan di BDMN ini di tahun 2022 pada rentang harga Rp2,300 - 3,000 per saham (BDMN memang sempat naik sampai 3,790 di bulan Oktober 2022, tapi langsung turun lagi). Jadi dengan demikian average-nya mungkin sekitar 2,700, yang itu artinya beliau belum profit cukup besar dari BDMN, karena hingga hari ini saham BDMN masih berada di level 2,900. Nah, tapi intinya selain menjadi pemegang saham dari perusahaan yang ia kendalikan, maka Bpk Hermanto juga berinvestasi secara minoritas pada perusahaan yang tidak ia kendalikan. Dan menariknya, seperti halnya BBNI, maka BDMN juga memenuhi kaidah value investing: 1. Kinerja fundamentalnya bagus (memang tidak sebagus BBNI, tapi labanya cukup besar dan konsisten bertumbuh), 2. Prospek jangka panjang cerah, dan terutama 3. Valuasinya murah, malah sangat murah untuk ukuran saham dari perusahaan perbankan menengah dengan brand 'Danamon' yang cukup populer di mata masyarakat. Anyway, sekarang kita ke analisa lengkapnya.

Profil Bank Danamon

Sejarah BDMN dimulai ketika pada tahun 1956 sekelompok pengusaha mendirikan bank dengan nama PT Bank Kopra Indonesia, lalu pada tahun 1976 Bank Kopra diambil alih oleh seorang pengusaha bernama Usman Admadjaja, dan berubah nama menjadi Bank Danamon. Barulah di tangan Bapak Usman, Bank Danamon berkembang menjadi bank devisa pada tahun 1988, menggelar IPO di BEI pada tahun 1989, dan pada dekade 90-an sudah menjadi salah satu bank swasta yang cukup besar di Indonesia. Namun pada krisis moneter 1998, BDMN bangkrut dan diambil alih Pemerintah sebelum kemudian pada tahun 2003 dijual ke Temasek asal Singapura. Maka sejak tahun 2000-an, BDMN kembali beroperasi sebagai salah satu bank swasta milik asing di Indonesia, sama seperti Bank CIMB Niaga (milik CIMB Group asal Malaysia), Bank OCBC NISP (Milik OCBC Group asal Singapura), dst. Dan mungkin karena statusnya sebagai bank milik asing itulah, maka perkembangan BDMN dkk terbilang lambat dibanding misalnya Bank BCA, yang juga sama-sama bank swasta tapi dimiliki investor domestik (Grup Djarum). Meski demikian BDMN dalam perjalanannya tetap terhitung sukses menjadi salah satu bank yang paling profitable dibanding bank-bank kelas menengah lainnya di Indonesia, dalam hal ini dengan cara fokus ke segmen kredit sektor perdagangan dan consumer, serta segmen pembiayaan otomotif melalui anak usahanya Adira Dinamika Multifinance (ADMF), yang sukses menjadi market leader di industri pembiayaan di tanah air. Hasilnya antara tahun 2015 – 2019, BDMN membukukan kenaikan laba bersih dari Rp2.4 triliun hingga Rp4.1 triliun, dan demikian pula ekuitasnya tumbuh dari Rp34.2 menjadi 45.4 triliun, bahkan meski perusahaan konsisten membayar dividen sebesar 35 – 45% dari laba bersihnya setiap tahun.

Kemudian pada tahun 2019 inilah, Temasek melepas BDMN ke pemilik anyar asal Jepang, Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), ketika itu pada harga Rp9,590 per saham, sehingga saham BDMN di pasar juga sempat naik sangat tinggi hingga tembus 9,000-an, sebelum kemudian masih di tahun yang sama turun lagi ke 4,800. Memasuki 2020, Indonesia dihantam resesi karena pandemi Covid-19, dan kinerja BDMN ikut terseok-seok hingga akhirnya hanya membukukan laba bersih Rp1.0 triliun, anjlok hingga seperempatnya dibanding 2019, dan sahamnya sendiri turut turun hingga sempat menyentuh 1,600-an pada market crash bulan Maret 2020, sebelum kemudian naik lagi dan stabil di kisaran 2,000 – 2,500 dengan sesekali naik sampai menyentuh atau tembus 3,000, sampai hari ini. Sehingga jika dibandingkan dengan kenaikan saham big four banking yang jika dihitung sejak Maret 2020 lalu sudah mencapai ratusan persen, misalnya BBNI yang naik dari 1,500-an di bulan Maret 2020 hingga sekarang sudah menyentuh 6,000, maka bisa dibilang bahwa BDMN ini ketinggalan kereta.

Terlepas dari itu, jika kita lihat lagi perkembangan kinerjanya pasca pandemi maka BDMN sudah kembali bertumbuh dimana pada tahun 2021 lalu perusahaan mencatat laba Rp1.5 triliun, yang menjadi Rp3.3 triliun di 2022, dan Rp3.5 triliun di 2023 barusan. Sehingga jika trend pertumbuhannya terus seperti ini, maka di 2024 ini seharusnya BDMN bisa melewati rekor laba bersihnya yang sebesar Rp4.1 triliun di 2019 lalu. Yang juga perlu dicatat, jika dilihat dari sisi pendapatan bunga bersih, maka angkanya pada tahun 2023 kemarin mencapai Rp15.2 triliun, atau sudah lebih tinggi dibanding rekor tertingginya di tahun 2019 lalu sebesar Rp14.6 triliun.

Kemudian, apa yang menarik dari sini? Well, pada tahun 2019 lalu setelah transaksi akuisisinya oleh MUFG tuntas, maka saham BDMN stabil di kisaran 4,000 – 5,000, sebelum kemudian turun karena market crash di bulan Maret 2020. Jadi dengan asumsi bahwa kinerja laba bersih BDMN di tahun 2024 ini akan sudah lebih besar dibanding 2019, dan kalau dari sisi ekuitas maka ekuitas BDMN hari ini juga sudah tumbuh signifikan dibanding 2019 (Rp49.2 vs 44.9 triliun), maka BDMN yang sekarang ini masih berada di level Rp2,900 per saham bisa dikatakan ‘salah harga’. Dan memang dengan PER 8.1 dan PBV 0.6 kali pada harga tersebut, maka BDMN terhitung masih murah tidak hanya jika dibanding big four, tapi juga dibanding sesama emiten bank swasta menengah lainnya di Indonesia.

Prospek ke depan

Tinggal pertanyaannya, seberapa besar peluang BDMN untuk kembali mencetak laba bersih yang all time high di tahun 2024 ini? Karena jika melihat kinerjanya di 2023 kemarin maka biar bagaimanapun labanya masih lebih kecil dibanding tahun 2019 lalu bukan? Atau dengan kata lain wajar saja jika BDMN ini agak telat naiknya dibanding saham bank lain, karena memang kinerjanya belum pulih 100% seperti sebelum pandemi?

Nah, untuk menjawab itu semua maka kita bisa lihat lagi apa-apa saja yang dikerjakan manajemen dalam beberapa waktu terakhir, dan bisa penulis katakan bahwa BDMN banyak mengerjakan ini itu. Pertama, ikut bergabung dengan trend digital banking dengan meluncurkan D-Bank Pro untuk nasabah perorangan, dan Danamon Cash Connect untuk nasabah korporasi. Kedua, mengembangkan konsep next generation branch dimana 53 unit kantor cabang BDMN di seluruh Indonesia ditransformasi total sehingga juga melayani personal banking, Omni-Channel, hingga menyediakan edukasi dan konsultasi keuangan. Ketiga, berkolaborasi dengan MUFG sebagai induk perusahaan, dengan menyalurkan kredit ke sejumlah proyek pengembangan properti dari developer asal Jepang. Ketiga, memperluas portofolio segmen pembiayaan dengan mengakuisisi Home Credit, dan melakukan penyertaan modal di PT Mandala Multifinance, Tbk (MFIN), yang otomatis semakin memperkuat posisi ADMF sebagai market leader di industri pembiayaan. Keempat, menambah jumlah ATM dan cashpoint Indomaret. Dan kelima, mengakuisisi portofolio kredit consumer ritel (kartu kredit, kredit tanpa agunan, kredit KPR, dan kredit kepemilikan kendaraan bermotor) milik Standard Chartered Bank Indonesia, untuk memperkuat segmen kredit consumer yang merupakan spesialisasi perusahaan.

Kesimpulannya, meski dari sisi profitabilitas maka tetap kinerja BDMN belum sebagus big four, namun melihat kerja keras manajemen maka terdapat peluang bahwa trend pertumbuhan kinerjanya sejauh ini akan berlanjut di tahun 2024, dimana jika benar demikian maka sahamnya akan naik ke setidaknya 3,500 – 4,000, lalu bertahan disitu. Sedangkan jika perolehan laba perusahaan cenderung stagnan seperti 2023 ini (laba BDMN di 2023, meski terhitung naik dibanding 2022, tapi kenaikannya tipis saja karena faktor kenaikan suku bunga BI Rate yang secara signifikan menaikkan beban bunga untuk dana pihak ketiga), maka sahamnya hanya akan batal naik saja tapi juga tidak akan turun, yakni karena sejak awal valuasinya masih sangat murah dibanding saham-saham bank lain yang sudah jalan duluan, melainkan akan tetap di kisaran harganya saat ini yakni 2,750 – 3,000. Nevertheless, penulis menganggap risiko stagnan atau penurunan kinerja ini terhitung rendah karena BI Rate sudah tidak naik lagi di level 6.00%, dan malah ada kemungkinan akan turun lagi di 2024 ini. Nah, berminat untuk bergabung dengan Bapak Hermanto Tanoko?

***

Live Webinar Value Investing, Sabtu 9 Maret 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

Anonim mengatakan…
Mau POM-POM ya. Hermanto Tanoko sudah dari lama kok punyanya. Dia kan terjebak dalam VALUE TRAP.
Anonim mengatakan…
Pak Teguh, gk tertarik analisis HAIS? Sptnya menarik.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun