Ketika Perusahaan Mengendalikan Harga Sahamnya

Beberapa waktu lalu penulis menerima pertanyaan dari seorang teman (damn I have a lot of friends, thanks to this blog) yang intinya kira-kira begini, ‘Pak Teguh, di BEI ada beberapa perusahaan yang mencatatkan pertumbuhan kinerja yang konsisten, valuasi sahamnya murah, dan manajemennya menerapkan GCG dengan baik. Namun sahamnya tetap saja tidak mau bergerak atau tidak likuid, salah satunya mungkin Mandala Multifinance (MFIN) yang Pak Teguh rekomendasikan.’

‘Sementara ada juga perusahaan yang kinerjanya tidak bagus, valuasi sahamnya mahal, dan manajemennya juga kurang baik. Tapi sahamnya banyak diperdagangkan alias likuid, dan juga mampu untuk terus naik karena pihak perusahaan, atau dalam hal ini investor relation-nya, rajin melakukan roadshow atau semacamnya untuk mempromosikan sahamnya ke investor, rutin melakukan presentasi di media, termasuk mereka sendiri juga turut mengendalikan harga sahamnya di pasar agar naik terus, atau minimal nggak turun.’

‘Dari sini kemudian timbul kesan bahwa percuma saja membeli saham dari perusahaan yang hanya fokus pada kegiatan operasional namun tidak peduli soal apakah sahamnya naik atau turun tanpa pernah berusaha mengendalikannya, termasuk juga jarang mempromosikan sahamnya ke investor. Karena, tak peduli sebagus apapun kinerja sebuah perusahaan tapi kalau tidak ada investor yang membeli sahamnya, maka harga sahamnya juga tidak akan naik bukan? Tapi bagaimana seorang investor akan membeli suatu saham kalau saham tersebut jarang dipromosikan?’

Nah, meski pertanyaannya cukup masuk akal, dan penulis sebelumnya sudah pernah juga menerima keluhan dari seorang teman yang menolak untuk membeli saham yang saya rekomendasikan karena dia bilang, ‘Saya lihat pihak manajemen perusahaan sama sekali gak peduli jika sahamnya naik atau turun’, namun setidaknya terdapat dua poin yang bisa langsung kita lihat bahwa hal tersebut tidaklah relevan.

Yang pertama, dikatakan bahwa ada beberapa saham di BEI yang perusahannya yang mencatatkan pertumbuhan kinerja yang konsisten, valuasi sahamnya murah, dan manajemennya menerapkan GCG dengan baik, akan tetap sahamnya tetap saja tidak mau bergerak atau tidak likuid. Contohnya mungkin MFIN. Selama ini MFIN memang gak pernah kedengaran melakukan roadshow atau promosi ke investor. Yang mereka kerjakan ya cuma sesuai bidangnya saja yakni menjalankan bisnis pembiayaan sepeda motor, dan mereka sama sekali tidak pernah mencoba mengendalikan harga sahamnya di pasar.

Pertanyaannya, kalau kita pakai contoh MFIN tersebut, maka benarkah MFIN tidak mau bergerak alias naik? Well, anda bisa melihatnya sendiri. Ketika artikel ini ditulis, MFIN berada di posisi 950, atau 27.5% lebih tinggi dibanding posisinya persis setahun yang lalu. Jadi bagaimana bisa dikatakan bahwa MFIN ini tidak bergerak naik?

However, penulis paham dengan istilah ‘tidak bergerak’ yang dimaksud oleh teman penulis tersebut. Memang, dalam jangka panjang (1 tahun atau lebih) MFIN ini senantiasa naik dan itu selaras dengan peningkatan nilai riil perusahannya. Namun dalam jangka yang lebih pendek, katakanlah beberapa bulan, maka seringkali saham ini gak mau kemana-mana. Contohnya kalau anda beli MFIN pada harga 710 di bulan April 2013, maka pada bulan Maret 2014, atau hampir setahun kemudian, saham MFIN anda ternyata tetap stay di harga 700, alias malah turun 10 perak. Bagi beberapa investor terutama yang masih pemula, tidak ada yang lebih membosankan ketimbang menunggui saham yang sama selama berbulan-bulan (jangankan berbulan-bulan, seminggu aja kadang-kadang udah gak tahan) dan ternyata dia malah gak naik-naik (kalau ditungguin tapi naik terus sih gpp lah, malah bagus). Mereka pengennya saham tersebut kalau ndak naik ya turun, sehingga mereka bisa melakukan profit taking ataupun cut loss. Para broker di sekuritas juga bakal bete kalau nasabahnya bengong aja dan nggak trading, karena kalau begitu caranya maka darimana mereka memperoleh penghasilan?

Logo PT Mandala Multifinance, Tbk

Namun intinya adalah, meski saham dari perusahaan tertentu terkadang tampak gak bergerak kemana-mana dalam kurun waktu yang tidak sebentar, namun pada akhirnya dia akan bergerak mengikuti fundamental perusahaan. Jika nilai riil atau nilai aset bersih/ekuitas meningkat, maka harga sahamnya juga akan meningkat. Jika perusahaannya mengalami rugi sehingga nilai ekuitasnya turun, maka sahamnya juga akan turun. Selama 5 tahun terakhir penulis belum pernah, sekali lagi lagi belum pernah, ketemu perusahaan yang menghasilkan laba bersih yang besar secara selama dua atau tiga tahun berturut-turut sehingga nilai ekuitasnya naik tajam, namun sahamnya tetap saja gak kemana-mana selama kurun waktu tersebut. Kalau anda ketemu dan membeli saham yang menurut anda bagus namun setelah ditunggu selama lebih dari setahun dia tetap saja nggak kemana-mana (sementara disisi lain IHSG bergerak normal dan tidak mengalami koreksi), maka coba evaluasi lagi: Apakah saham yang anda beli beneran sebagus itu?

Okay, tapi MFIN tetap saja nggak likuid kan? Yahh, itu sih karena memang harga sahamnya belum terlalu tinggi saja. Sekarang coba lihat Lippo Cikarang (LPCK) (ini saham favorit penulis di sektor properti, yang meski belum pernah dibahas secara terbuka di website ini, namun sudah sering dibahas di ebook kuartalan). Pada awal tahun 2011 lalu, ketika di BEI masih belum booming saham-saham properti, saham LPCK yang ketika itu masih berada di level 400-an, nilai transaksi perdagangannya hanya sekitar Rp100 juta per hari, bahkan seringkali kurang dari itu. Posisi bid dan offer-nya juga banyak yang bolong-bolong. Tapi sekarang? Sudah belasan milyar Rupiah per hari, alias sudah cukup likuid, karena disisi lain harga sahamnya juga sudah jauh lebih tinggi dibanding tahun 2011 tersebut.

Kalau mau contoh yang lebih ekstrim lagi, saham Astra International sempat tidak likuid sama sekali di tahun 1998 – 1999, karena ketika itu juga perusahaan sempat mengalami defisiensi modal. Tapi sekarang berapa nilai transaksi perdagangan saham ASII setiap harinya? Lebih dari Rp250 milyar!

Jadi sekali lagi, kalau sebuah perusahaan memiliki kinerja yang bagus dan senantiasa bertumbuh dari tahun ke tahun, maka jangan khawatir: Sahamnya tetap akan naik dan pada akhirnya juga akan likuid. Memang ada beberapa pengecualian, seperti saham HM Sampoerna (HMSP) dan Multi Bintang Indonesia (MLBI), yang meski mereka terus naik dalam jangka panjang karena fundamentalnya yang memang moncer, tapi sampe sekarang likuiditasnya tetep aja seret. Namun berdasarkan pengalaman, hal itu seharusnya tidak jadi masalah. Kalau anda bisa masuk (membeli) sebuah saham meskipun mungkin harus dengan cara nyicil karena likuiditasnya yang seret, maka anda juga seharusnya bisa keluar meski harus dengan cara nyicil juga. Balik lagi ke contoh MFIN, kalau sahamnya benar-benar tidak likuid sama sekali maka saya juga tidak akan membelinya (nilai transaksi MFIN mencapai lebih dari Rp100 juta per hari, masih cukup lah). Sementara ada satu lagi saham yang sebenarnya penulis suka, yakni Siantar Top (STTP), namun saya nggak pernah membelinya (meskipun faktanya STTP ini sudah naik lebih dari 10 kali lipat dalam 5 tahun terakhir). Karena dengan nilai transaksi saham yang bahkan gak nyampe Rp10 juta per hari, maka bagaimana penulis bisa membelinya?

Itu yang pertama. Yang kedua, ketika ada pertanyaan, bagaimana seorang investor akan membeli suatu saham kalau saham tersebut jarang dipromosikan oleh manajemen perusahaan? Maka jawabannya adalah pertanyaan juga: Memangnya penulis tau dari mana soal saham MFIN, padahal manajemen MFIN ini gak pernah woro-woro soal sahamnya? Sebuah perusahaan sama sekali tidak perlu melakukan promosi apapun kepada investor hanya agar sahamnya naik. Karena kalau fundamental perusahaan memang beneran bagus, maka para investor pasti akan mengetahui dengan sendirinya, sehingga sahamnya di pasar juga akan naik dengan sendirinya.

Sebab seorang investor sungguhan (baca: investor yang mengetahui cara untuk menganalisis saham/perusahaan), yang dia lakukan bukan baca-baca koran atau ngeliatin iklan/promosi yang dilakukan perusahaan atau ikut roadshow, melainkan baca-baca laporan keuangan perusahaan. Jadi kalau ada barang bagus, maka mereka akan mengetahuinya. Buktinya ya LPCK dan MFIN tadi, yang karena kinerjanya bagus maka sahamnya terus naik dalam jangka panjang, tak peduli meski perusahaan jarang atau bahkan tidak pernah peduli dengan harga sahamnya di market, dan tidak peduli meski nama perusahaan belum terlalu terkenal (MFIN sama sekali tidak seterkenal Adira). Selain itu, tiga perusahaan terbesar di BEI dari sisi market cap, yakni Bank BCA (BBCA), Unilever (UNVR) dan ASII, mereka juga hampir tidak pernah terdengar melakukan roadshow atau semacamnya (atau memang tidak pernah sama sekali?), namun tetap saja sahamnya ramai diperdagangkan karena perusahaannya punya fundamental dan reputasi yang baik. Plus, ketiga perusahaan juga tidak pernah terdengar mencoba mengendalikan harga sahamnya di pasar. Yang mereka lakukan hanyalah melakukan buy back jika dalam kondisi tertentu (misalnya krisis) saham mereka benar-benar anjlok.

Sebaliknya, ketika sebuah perusahaan memiliki fundamental yang buruk, maka nggak peduli sesering apapun pihak manajemen melakukan roadshow, atau sehebat apapun investor relation perusahaan dalam hal cuap-cuap untuk memaparkan ‘prospek saham’ hingga berbusa-busa, namun tetap saja sahamnya bakal jeblok. Bumi Resources (BUMI) mungkin bisa dinobatkan sebagai perusahaan publik yang paling sering menggelar roadshow di dalam maupun luar negeri, analyst meeting, press conference, hingga promosi-promosi lainnya agar investor tertarik untuk membeli saham BUMI. Tapi yah, karena perusahaannya juga terus merugi dalam beberapa tahun terakhir, maka berapa harga BUMI sekarang???

However, penulis juga tetap menghargai perusahaan yang mau memberikan sedikit perhatian terhadap harga sahamnya di pasar. Kalau kita pakai contoh perusahaan investasi milik Opa Warren, Berkshire Hathaway, perusahaan memiliki kebijakan untuk melakukan buy back sahamnya sendiri di pasar, jika saham Berkshire telah turun pada level tertentu yang dianggap jauh lebih rendah dibanding nilai intrinsiknya. Dan ketika perusahaan melakukan buy back, maka penurunannya akan berhenti untuk kemudian perlahan tapi pasti berbalik naik.

Namun cukup itu saja yang perlu dilakukan perusahaan, dan tidak perlu sampai berusaha menaik-naikkan sahamnya sendiri di pasar. Dan memang Berkshire tidak pernah mencoba mengendalikan harga sahamnya apalagi menaik-naikkannya.

Sementara di BEI, ada banyak perusahaan yang meski mereka juga tidak pernah mencoba mengendalikan harga sahamnya di pasar, namun mereka selalu siap sedia untuk melakukan buy back jika sahamnya turun terlalu rendah. Contohnya Semen Baturaja (SMBR), dimana manajemen sejak awal sudah menyiapkan dana maksimal hingga Rp100 milyar, untuk membeli sendiri sahamnya di pasar jika sewaktu-waktu SMBR turun hingga, katakanlah, lebih rendah dari 300. Pada puncak krisis global di tahun 2008, Pemerintah RI dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham pengendali dari perusahaan-perusahaan BUMN, juga dengan sengaja mengucurkan dana sebesar Rp4 trilyun untuk membeli saham-saham seperti BBRI, BMRI, SMGR dll untuk mencegah agar saham-saham tersebut tidak turun lebih rendah lagi. Kebijakan buy back ini, ketika disatu sisi kembali menghadirkan kepercayaan investor (karena pemerintah berani masuk ketika terjadi krisis), namun juga memberikan keuntungan bagi Pemerintah itu sendiri, karena mereka membeli saham-saham tersebut pada harga yang sebenarnya harga diskon.

But still, Pemerintah juga tidak pernah mencoba menaik-naikkan atau menggoreng saham-saham BUMN di BEI.

Sementara ketika sebuah perusahaan menggoreng sahamnya sendiri hingga dia naik tinggi, entah itu sambil promosi/roadshow atau tidak, maka seringkali ending-nya menjadi sangat tidak enak. Anda mungkin bertanya-tanya, kenapa kok saham Trada Maritime (TRAM) terus saja turun hingga sekarang tinggal 60 perak, padahal sebelumnya dia sempat gagah di harga 1,800-an. Namun pernahkah anda bertanya, bagaimana caranya TRAM bisa terus naik dari 500-an pada empat tahun lalu hingga menyentuh 1,800-an, juga dengan volume transaksi yang sangat besar, padahal fundamentalnya gak ada bagus-bagusnya? Ya itu berarti sudah pasti ada bandar besar yang bermain lah!

Komentar

Sunarto B. mengatakan…
Kalau AMAG bagaimana pak ? Kalau harga saham naik,Malah Grup Panin yang menekan harga sahamnya.
Anonim mengatakan…
bagus tulisannya
utampan mengatakan…
Pak teguh bagaimana pendapat bapak tentang saham SIDO ?
Anonim mengatakan…
Mantap artikelnya, nice Job Pak Teguh!
Unknown mengatakan…
Nice post
Anonim mengatakan…
Betul sekali. saya juga sudah beli MFIN di harga 800 tanpa promosi tetapi check laporan keuangan dan check historynya. Tapi saat ini sudah mulai ada promosi melalui web ini :)

Jhon
andirerei mengatakan…
seperti #ISSP, fundamental ok, kinerja ok, tapi harga sahamnya di situ-situ saja, bahkan untuk balik ke harga IPO-nya pun belum bisa,
Anonim mengatakan…
Pak teguh,saya selalu membaca semua artikel anda..tapi ada satu saham yang baru saya beli sama sekali belum dibahas di blog ini..yaitu CLPI (Colorpak).bagaimana pandangan anda? Terima kasih
Anonim mengatakan…
Issp bagus, tp tdk untuk tahun ini..harga baja turun cpt dlm q1 2014, bakal jeblok lk q 1. Sabar blm saatnya naik, bakal dpt harga lebih murah
Unknown mengatakan…
pak teguh..tolong bahas saham toto donk, tks

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Kuartal II 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia