Mengenal ‘Market Hype’, dan Pengaruhnya ke IHSG

Pertengahan Juli lalu, dunia dihebohkan dengan dirilisnya permainan ponsel Pokemon GO, yang segera menjadi hits karena berbeda dengan video game pada umumnya dimana si pemain akan duduk seharian di depan televisi, Pokemon GO mengharuskan pemain untuk pergi keluar rumah dan berjalan kaki kesana kemari. Begitu populernya permainan ini, hingga orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mendengar video game Pokemon (permainan Pokemon sudah ada sejak tahun 1990-an akhir, Pokemon GO ini merupakan versi terbarunya saja), karena penasaran akhirnya ikut men-download-nya juga, dan memainkannya di ponsel mereka masing-masing. Alhasil, kurang dari satu bulan setelah dirilis, Pokemon GO sudah dimainkan oleh 45 juta orang di seluruh dunia.

Penulis sendiri termasuk yang penasaran ikut mendownload Pokemon GO ini, dan untuk beberapa saat saya menyukainya. However, tak sampai seminggu kemudian penulis tidak lagi memainkannya karena beberapa faktor: 1. Jakarta belakangan ini hujan mulu, sehingga males keluar rumah, 2. Kalo nggak hujan maka panasnya minta ampun, belum lagi udara pengap karena asap kendaraan bermotor, kalau kebetulan kita nyari ‘monster’ di jalan raya, dan 3. Kalau kita tinggal di kota yang sepi dan gak banyak orang, maka aman-aman saja jalan kaki sambil melihat ponsel terus menerus. Tapi kalau di jalanan di Jakarta, anda bisa diserempet mobil! I mean, penulis bukannya gak suka jalan kaki, suka banget malah. Tapi tentunya jauh lebih menyenangkan berjalan kaki di gunung atau pantai sambil liat-liat pemandangan, ketimbang di jalanan kota yang macet dan sumpek sambil ngeliatin layar ponsel.

Dan.. baru hari ini penulis mendengar bahwa jumlah pemain Pokemon GO berkurang drastis, dari tadinya 45 juta menjadi sekitar 30 juta saja, dan terus berkurang. Segala kehebohan dan antusiasme tentang Pokemon GO dengan cepat menghilang, sama cepatnya dengan kemunculannya sebulan yang lalu. Namun demikian hal ini justru disyukuri oleh mereka-mereka yang sejak awal memang merupakan penggemar Pokemon, dimana dengan berkurangnya jumlah pemain maka tidak ada lagi keluhan server yang overload, failed login, dll. Bagi para ‘pokemon trainer’ sejati ini, hanya karena Pokemon GO sekarang sudah tidak populer lagi maka bukan berarti mereka akan berhenti memainkannya. Sebaliknya, bagi para pemain yang sejak awal cuma ikut-ikutan, mereka mungkin malah sudah meng-uninstall Pokemon GO dari ponselnya.

Nah, fenomena kemunculan Pokemon GO yang dengan cepat menjadi populer, namun popularitas itu segera menguap tak lama kemudian, itulah yang disebut dengan ‘hype’. Hype, atau secara harfiah bermakna ‘sensasi’, adalah situasi dimana sekelompok orang merasa tertarik dan antusias terhadap sesuatu, dan antusiasme ini dengan cepat menular ke orang-orang lainnya. Pada jaman serba internet seperti sekarang, ketika seseorang menyukai sesuatu, dalam hal ini permainan Pokemon GO, maka ia akan berbagi cerita tentang Pokemon GO ini melalui jejaring sosial dll, dan kemudian menjadi headline news di media, sehingga orang-orang akan penasaran dan akhirnya ikut bermain. Namun setelah orang-orang yang penasaran ini belakangan menyadari bahwa Pokemon GO ternyata tidak se-menyenangkan itu, maka mereka kemudian berhenti bermain, dan antusiasme mereka akan hilang begitu saja.

Okay, lalu apa hubungan antara fenomena ‘hype’ ini dengan pasar saham, khususnya IHSG?

Bersamaan dengan kemunculan Pokemon GO pada awal Juli kemarin, Pemerintah juga meluncurkan kebijakan tax amnesty, yang digadang-gadang akan mampu meningkatkan penerimaan pajak negara untuk pembangunan infrastruktur, menarik dana milik konglomerat Indonesia yang selama ini diparkir diluar negeri sehingga meningkatkan likuiditas perekonomian di tanah air, dan pada akhirnya kembali menumbuhkan perekonomian. Dan berbeda dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya, Pemerintah kali ini sangat gencar dalam men-sosialisasi-kan tax amnesty ini, sehingga kebijakan ini menjadi sangat populer dan memicu antusiasme para pelaku pasar saham, dimana IHSG dengan cepat naik pada awal Juli lalu dari posisi 4,800-an hingga hampir saja break new high di level 5,500-an, seolah-olah kebijakan tax amnesty ini sudah berhasil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Padahal, seperti yang sudah penulis sampaikan di artikel ini, tax amnesty ini baru dimulai dan belum menghasilkan dampak riil apapun ke perekonomian. Termasuk perlu dicatat bahwa target penerimaan uang tebusan yang sebesar Rp165 trilyun itu baru sebatas target yang mungkin akan tercapai, tapi mungkin juga tidak.

Jadi ketika kemudian belakangan ini mulai muncul beberapa masalah terkait pelaksanaan tax amnesty ini, seperti penolakan sebagian masyarakat terutama karena mereka harus membayar tebusan sebesar 2% (karena memang, 2% itu sebenarnya cukup besar. Let say harta yang dilaporkan Rp1 milyar, maka 2% itu sudah setara Rp20 juta, atau cukup buat beli motor), sementara penerimaan uang tebusan juga sama sekali masih jauh dari target (hingga ketika artikel ini ditulis, penerimaan uang tebusan baru mencapai Rp2.6 trilyun, padahal ini sudah akhir Agustus), maka penulis langsung ingat dengan fenomena hype Pokemon GO tadi, dimana cerita tax amnesty ini dengan cepat menjadi populer, tapi langsung meredup tak lama kemudian. Berbagai asumsi tentang ditariknya dana ribuan trilyun dari luar negeri, hingga para pengusaha yang bersemangat ikut tax amnesty ini, pada akhirnya hanya menjadi angan-angan semata, setidaknya hingga saat ini. To be honest, jika sebulan lalu para investor di pasar saham sangat bersemangat dalam membicarakan soal tax amnesty, maka sekarang ini mereka justru khawatir karena ternyata yang harus ikut tax amnesty ini gak cuma konglomerat, tapi juga investor yang memiliki harta dalam bentuk saham, yakni jika harta tersebut belum dilaporkan di SPT, apalagi jika si investor itu tidak pernah melaporkan SPT sama sekali (kalau anda masih bingung soal pajak bagi investor saham, baca penjelasannya disini).

Kesimpulannya, fenomena tax amnesty inilah yang kita sebut dengan ‘market hype’, yakni hype yang terjadi di pasar saham karena adanya cerita atau peristiwa heboh tertentu, yang menimbulkan antusiasme investor dan mendorong kenaikan IHSG secara signifikan. However, ketika kemudian hype ini meredup dengan sendirinya, maka IHSG juga otomatis tidak punya alasan untuk naik lebih tinggi lagi, dan kemungkinan itu pula yang menyebabkan indeks belakangan ini tertahan di level 5,300 – 5,400.

Lalu bagaimana kedepannya? That, only time will tell. Namun sebagai gambaran, pada tahun 2014 lalu pasar saham Indonesia juga pernah dilanda market hype terkait Pilpres, dimana hampir semua analis mengatakan bahwa perekonomian nasional yang sempat lesu di tahun 2013 akan pulih pada tahun 2014 ini, karena perputaran uang yang sangat besar terkait Pemilu dan Pilpres, dan sentimen tersebut langsung mendorong kenaikan IHSG bahkan sejak awal tahun. Kemudian pada bulan Maret, IHSG sempat melompat hingga 3% dalam sehari, setelah Jokowi pada hari itu resmi maju sebagai Calon Presiden (sejak awal, Jokowi merupakan calon presiden yang paling disukai para pelaku pasar). Dan seiring hasil quick count pada tanggal 9 Juli yang memenangkan pasangan Jokowi – JK, dilanjutkan dengan pelantikannya pada tanggal 20 Oktober (yang diluar dugaan berjalan sangat lancar, bahkan Pak Prabowo berbesar hati untuk turut hadir), maka market hype dengan judul ‘Jokowi Effect’ ini terus saja berlanjut, hingga IHSG akhirnya menutup perjalanan di tahun 2014 dengan kenaikan yang meyakinkan, yakni 22.3%.

Kenaikan dramatis IHSG di menit-menit terakhir perdagangan tanggal 14 Maret 2014, sesaat setelah Jokowi resmi nyapres.

Namun memasuki tahun 2015, kondisi ekonomi tiba-tiba menjadi lesu, dagang apa aja nggak laku, Rupiah terus saja melemah, dan para emiten melaporkan kinerja yang hancur lebur. Jadi ketika itulah, fenomena Jokowi Effect di pasar saham (yang bertahan cukup lama, lebih dari setahun), pada akhirnya mulai meredup dan tidak pernah menjadi populer kembali (sejak tahun 2015 lalu, nobody talk about Jokowi Effect anymore), dan IHSG ditutup anjlok 12.1% sepanjang tahun 2015.

Nah, jadi terkait tax amnesty ini maka analisisnya sederhana saja: Jika kedepannya Pemerintah mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan tax amnesty ini, dan penerimaan uang tebusan sukses meningkat hingga ke level dimana target Rp165 trilyun tadi menjadi realistis untuk dicapai, maka ‘hype’ yang sudah terjadi sejak dua bulan lalu seharusnya akan terus terjaga, dan IHSG berpeluang untuk naik lebih lanjut. Tapi jika tidak? Ya otomatis ‘hype’-nya akan hilang, orang-orang gak akan peduli lagi soal tax amnesty ini, dan akan balik lagi ke faktor fundamental. So, let’s hope bahwa kalaupun nanti market hype terkait tax amnesty ini pada akhirnya meredup, namun fundamental ekonomi tetap terjaga positif, minimal tidak memburuk lagi seperti tahun 2015 lalu (dan kabar baiknya, pertumbuhan ekonomi terakhir sudah di level 5.18%, jauh lebih baik dibanding pertengahan 2015 lalu, yang hanya 4.67%).

Sebab jika nanti antusiasme investor terkait tax amnesty ini benar-benar menghilang, sementara perekonomian/kinerja emiten juga tidak improve maka.. penulis sudah gak perlu ngasih tau lagi kan, IHSG bakal kemana?

Info Investor: Buletin Analisis IHSG & Stock Pick Saham Pilihan edisi September 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. Gratis konsultasi & tanya jawab saham untuk member, langsung dengan penulis.

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham