Value Investing di Kehidupan Sehari-hari

Suatu pagi di tahun 1991. Penulis, yang ketika itu masih duduk di bangku kelas 1 SD, sedang sakit demam sehingga pagi itu saya tidak berangkat sekolah, melainkan hanya tidur-tiduran saja dirumah. Kemudian mbak-mbak penjanja makanan keliling yang biasa mampir ke rumah kami mengetuk pintu, dan ditemui oleh ibu penulis, dan penulis bisa mendengar mereka mengobrol dimana salah satu topiknya adalah, ‘Si Teguh lagi sakit panas’, yang kemudian dijawab, ‘Kasih ini aja bu, mudah-mudahan cepet sembuh ya’.

Beberapa saat kemudian ibu masuk ke kamar, ‘Guh, ini ada jeruk satu buat kamu, dimakan ya’. Penulis seketika beranjak dari tempat tidur dan bertanya dengan nada menginvestigasi,
‘Jeruk? Berapa harganya??’
‘Seratus. Kamu kan lagi sakit, harus banyak makan buah-buahan.'

(Catatan: Ketika itu uang saku penulis kalau berangkat sekolah adalah Rp100, dimana uang tersebut cukup untuk beli dua atau tiga macam jajanan, jadi harga jeruk tersebut terbilang mahal. Ketika itu kami sekeluarga memang menganggap bahwa buah-buahan seperti apel dan jeruk adalah ‘makanan mewah’ yang hanya boleh dimakan pada hari raya atau semacamnya).

Penulis kemudian mengambil jeruk tersebut, kemudian setengah berlari menuju pintu keluar rumah dimana si mbak tadi masih ada disitu, ‘Munah! Ini ambil lagi jeruknya, balikin duitnya sini!’ (Catatan: nama si Mbak adalah Maemunah, biasa dipanggil Munah. Dan kalau dipikir-pikir penulis kurang ajar banget bisa kasar gitu sama orang yang lebih tua, tapi itulah yang saya lakukan ketika itu).

Mbak Munah hanya tersenyum, dan ibu kemudian menemui kami, ‘Gak apa-apa Guh, kamu makan aja jeruknya. Kamu kan lagi sakit, boleh dong sekali-kali makan jeruk manis. Jangan khawatir, mama ada kok uangnya’. Penulis menggeleng, dan bersikeras mengembalikan jeruk tersebut, hingga akhirnya Mbak Munah menawarkan untuk mengganti jeruk itu dengan buah salak, yang harganya hanya Rp25. Jadi satu jeruk itu bisa dapet empat buah salak. Kali ini penulis setuju, karena saya pikir lebih baik dapet empat buah salak yang bisa dimakan seharian daripada satu jeruk yang langsung habis sekali makan. Toh, baik itu jeruk maupun salak, keduanya sama-sama buah-buahan bukan?

Nah, penulis sendiri terus terang sudah lupa dengan kisah diatas kalau bukan karena ibu yang menceritakannya kembali, tapi dari cerita itulah penulis jadi mengerti kenapa buah favorit saya, sampai sekarang, adalah salak dan bukannya jeruk, apel, atau lainnya. Yup, karena harganya paling murah. Ketika artikel ini ditulis, satu kilogram salak pondoh di terminal kampung rambutan harganya cuma Rp10,000, sementara jeruk sekitar Rp20 - 30,000.

Dan tidak hanya buah-buahan, tapi untuk barang-barang lainnya saya juga selalu memilih yang harganya paling murah, atau harganya sama tapi dapetnya lebih banyak. Penulis masih ingat ketika diajak oleh papa untuk belanja baju lebaran, ketika itu saya kelas 5 atau 6 SD, dan penulis memilih baju yang harganya Rp20,000. Kenapa begitu? Karena baju yang lain harganya diatas itu semua. Penulis ketika itu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa membedakan mana baju yang bagus dan yang jelek (sampai sekarang juga masih, anda bisa lihat gaya berpakaian penulis yang asal-asalan dan cuek, bahkan ketika menjadi pembicara). Yang saya lihat, sekali lagi, hanyalah harganya, dan juga asal nyaman dipakai. Beberapa tahun kemudian, ketika penulis sudah kuliah dan mulai sering pergi travelling, maka kalau beli air mineral untuk bekal, saya selalu ambil kemasan terbesar 1.5 liter, karena harganya gak beda jauh dibanding kemasan sedang 600 ml, tapi dapetnya dua setengah kali lebih banyak.

(Dan sampai sekarang, kebiasaan beli dan bawa-bawa botol aqua gede kalau lagi jalan-jalan itu masih penulis lakukan).

Jadi ketika penulis akhirnya lulus kuliah lalu terjun ke pasar modal, dimana saya ketika itu untuk pertama kalinya mengenal dan belajar tentang metode value investing dalam berinvestasi di saham, maka penulis langsung merasa bahwa ini adalah metode yang ‘Gue banget!’ Yup, kalau konsep dasarnya adalah ‘Belilah saham/perusahaan bagus pada harga yang setara atau lebih rendah dari yang seharusnya, alias wajar atau murah’, maka dari dulu juga saya sudah melakukannya, hanya saja yang dibeli bukanlah saham, melainkan barang kebutuhan sehari-hari. Dan bahkan sampai hari ini pun, penulis masih menerapkan ‘gaya hidup hemat ala value investor’ ini, salah satunya bisa dilihat dari gambar dibawah ini:

Struk belanja ala value investor. Perhatikan bahwa hampir setiap item barang memperoleh diskon antara 30 - 50%

Dan seperti yang bisa anda perhatikan, para investor besar juga tidak hanya menerapkan metode value investing dalam pekerjaan investasi mereka, melainkan benar-benar menerapkannya secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari, dimana mereka memiliki gaya hidup yang hemat, sederhana, tidak berlebih-lebihan, dan hanya membeli apa yang mereka butuhkan. Warren Buffett masih tinggal di rumah yang sama, dan mengendarai mobil yang sama yang ia beli di tahun 1960-an hingga terpaksa ganti ketika mobil itu akhirnya mogok sama sekali. Bill Gates, kecuali di acara yang formal, selalu mengenakan kemeja yang itu-itu saja. Dan Li Ka-shing hanya mengenakan jam tangan merk Citizen seharga USD 400. Mendiang Ng Teng Fong, pendiri Sino Group yang merupakan perusahaan real estate terbesar di Singapura (putra Mr. Ng yakni Robert Ng, sekarang menjadi orang terkaya di Singapura), terkenal dengan gaya hidup hematnya dimana ia selalu membawa makan siangnya sendiri kalau naik pesawat terbang, karena ia tahu persis bahwa harga makanan di pesawat itu jauh lebih mahal dibanding di rumah makan biasa.

However, banyak orang salah kaprah tentang ‘gaya hidup hemat’. Ada yang mengatakan bahwa, kalau beli apa-apa selalu dihemat-hemat terus, lalu gimana caranya kita bisa bersenang-senang dan menikmati hidup? Kalau apa-apa maunya serba murah, bukannya pelit itu namanya? Well, penulis tidak tahu bagaimana dengan value investor lain, tapi saya tidak pernah dengan sengaja menyusahkan diri sendiri, melainkan saya dan keluarga tetap menikmati hidup kok! Yang penulis lakukan, sekali lagi, hanya berusaha untuk tidak mengeluarkan uang lebih besar dari yang seharusnya. Jadi kita bukannya maunya serba murah, melainkan: Gak apa-apa kita beli sesuatu yang harganya mahal, selama itu setimpal dengan nilai barang yang diperoleh.

Sebagai contoh, setiap satu atau dua bulan sekali, penulis mengajak anak-anak dan ibu mereka untuk menginap semalam di hotel bintang lima di Jakarta atau Bandung, dan itu tentu saja tidak murah, but it’s worth it, atau dengan kata lain penulis tidak menganggap bahwa saya mengeluarkan uang dengan sia-sia, karena dengan menginap semalam itu maka kami bisa berenang, bermain, dan sarapan pagi bersama-sama, dan anak-anak sangat senang mandi di bathtub di kamar hotel (dirumah kami nggak ada bathtub). Namun demikian sebelum kami datang ke hotel maka kami selalu mampir dulu ke minimarket untuk beli bekal cemilan kacang, keripik kentang, jus, dll. Kenapa begitu? Karena kalau kita ambil cemilan yang persis sama di minibar hotel (yang di kulkas kecil dibawah televisi), maka harganya bisa beberapa kali lipat lebih mahal. Yup, anda juga mungkin sudah hafal bahwa satu botol kecil coca-cola yang harganya cuma Rp4,000 kalau beli di Alfamart, maka di hotel bintang lima harganya melonjak jadi Rp25,000, dan itu bahkan belum termasuk tax and service 21%.

Jadi maksud penulis adalah, kalau saya harus bayar 3 – 4 juta untuk menginap semalam di hotel mevvah, maka saya tidak keberatan karena quality time bersama keluarga yang penulis peroleh juga terasa sangat menyenangkan. Tapi kalau disuruh memilih dua botol coca-cola yang persis sama, dimana yang satu harganya Rp4,000, sementara yang satunya lagi harganya Rp25,000, maka tentu saja saya memilih yang harganya Rp4,000. Got it?

Problemnya, meski logikanya sangat sederhana dan juga sangat masuk akal (kenapa anda harus beli minuman pada harga 25,000, kalau harga aslinya cuma 4,000?), namun tidak semua orang bisa menerapkan gaya hidup ala value investor seperti yang disampaikan diatas. Sebagian besar orang kalau dapet duit banyak ya langsung dihambur-hamburkan, dan mereka tidak terlalu peduli dengan konsep ‘Harga < Nilai barang yang diperoleh’. Contoh, kalau penulis pergi ke tempat wisata dengan rombongan, maka saya selalu mampir ke supermarket dekat hotel untuk beli bekal makan dan minum, karena saya sudah hafal bahwa kalau belinya nanti di lokasi wisatanya, maka harganya bisa dua atau tiga kali lebih mahal. Namun penulis perhatikan, tidak ada peserta travel lain yang melakukan hal yang sama (cuma saya saja). Sebagian besar kaum pekerja di Jakarta juga kesulitan untuk sekedar menyisakan sebagian gaji untuk ditabung, tak peduli meski gajinya lumayan besar, karena gaya hidup mereka terlanjur glamor ala ‘eksekutif muda’, dan mereka terlalu malas (atau bahkan malu) untuk membawa bekal makan siangnya sendiri ke kantor.

Anyway, dengan ulasan diatas maka anda sekarang sudah mengerti bahwa untuk menjadi investor yang sukses, atau dalam hal ini value investor yang sukses, maka pertama-tama anda harus mengubah lifestyle terlebih dahulu seperti layaknya seorang investor, yakni: Biasakan untuk mertimbangkan nilai atau manfaat yang akan anda peroleh dari barang atau jasa yang akan anda beli. Biasakan untuk bertanya, is it worth it or not? Karena memang itulah yang dicontohkan oleh Warren Buffett dkk. Disisi lain, jika anda sejak awal sudah memiliki kebiasaan tersebut, then congratulations, selanjutnya cuma soal waktu sebelum anda akan menjadi investor besar :)

Jika anda pernah punya pengalaman atau kebiasaan dalam menerapkan gaya hidup hemat ala value investor, maka anda boleh share pengalaman tersebut melalui kolom komentar dibawah.

Jadwal Kelas Value Investing: Jakarta, Amaris Hotel Thamrin City, Sabtu 28 Okt 2017. Keterangan Selengkapnya baca disini.

Buku Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan (Ebook Kuartalan) edisi Kuartal III 2017 akan terbit hari Senin, 6 November 2017 mendatang. Anda bisa memperolehnya disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Troy Richardo Mulyono mengatakan…
ikutin grab uber promo pak!! hahahaha
Untouchable Investor mengatakan…
asli saya kadang kayak gitu pak wkwk terlebih karena saya itu anak kos xD
Anonim mengatakan…
Minum teh pahit dan paling banter teh manis kalau di rumah makan.
Jelana jeans cuman punya 2, ganti2 seperti kaset side a side b.
Sidhi mengatakan…
Kalau kayak gitu semua, ekonomi bs tumbuh kenceng darimana bos? Bisa2 kontraksi GDP growth nya
Anonim mengatakan…
Pasti Value Investor ga pake Apple dan ga ke Starbucks :D
Unknown mengatakan…
Di kantin belakang kantor saya bekerja, harga teh tawar gratis, sedangkan harga teh manis 4ribu rupiah. Padahal teh manis cuman ditambah 2sendok gula saja, berarti harga 2sendok gula 4ribu rupiah. Muahaaalll. Akhirnya selalu pesan teh tawar tiap makan dikantin. Klo lg pengen teh manis, tinggal bkin sendiri di pantry kantor,hahaha.
'de Oeboed mengatakan…
Kalau tidak berubah, saya akan kalah !

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)