Lippo Cikarang: Unbelievably Undervalue, But..

Kalau anda sudah sering baca-baca artikel di blog teguhhidayat.com ini, anda mungkin beberapa kali menemukan istilah unbelievably undervalue. Yup, itu adalah istilah yang penulis ciptakan sendiri untuk mendeskripsikan situasi dimana valuasi sebuah saham sudah sedemikian murahnya, sampai-sampai kita sebagai investor sulit untuk mempercayai bahwa ada saham semurah itu, dan malah jadi takut karenanya. Analoginya seperti kalau anda ditawari untuk membeli rumah mewah seluas 1,000 meter persegi di Pondok Indah pada harga Rp100 juta saja, dimana anda pasti berpikir, apakah sertifikatnya bermasalah? Atau jangan-jangan itu rumah angker?? Dan seterusnya.

Diluar ilustrasi rumah diatas, masih ada banyak contoh ilustrasi lain yang menunjukkan bahwa secara psikologis, orang cenderung gak mau kalau ditawari untuk membeli sesuatu pada harga yang kelewat rendah, karena ia akan otomatis berpikir bahwa mungkin barangnya ‘kenapa-napa’. Kalau motor Honda CBR dijual pada harga Rp5 juta saja, maka mungkin itu motor curian. Kalau tas Louis Vuitton harganya Rp1 juta, maka biasanya itu cuma tas LV mangga dua. Dan kalau duren montong harganya cuma Rp25,000, maka biasanya buahnya kurang sempurna/rusak sebagian.

Padahal, tidak semua barang murah itu bermasalah. Kalau anda pernah jalan-jalan ke mall di malam hari, ada beberapa toko kue dan roti yang, mulai pukul 20.00 keatas, menjual barang dagangan mereka pada harga diskon 50% atau bahkan lebih. Apakah itu berarti roti yang dijual itu kualitasnya jelek/tidak sebagus roti yang dijual di siang hari? Tentu tidak. Itu roti sama saja kok, dimana harganya jadi murah karena biar cepet habis saja, sebab besok rotinya akan sudah tidak fresh from the oven lagi. Malah bagi pelanggan yang udah ngerti, mereka sengaja datang malam hari agar bisa membeli rotinya pada setengah harga.

Tapi tetap saja, bagi mereka yang belum mengerti cara kerja toko roti, mereka mungkin malah takut ketika ditawari membeli roti pada harga diskon.

Nah, ‘cara kerja psikologis’ seperti itu juga sangat berlaku di pasar saham: Ketika sebuah saham bergerak turun hingga PER dan PBV-nya menjadi rendah, maka para investor, terutama mereka yang sudah cukup mengerti cara menghitung valuasi saham, mungkin akan mulai tertarik untuk masuk. Tapi ketika kemudian saham itu terus saja turun hingga valuasinya menjadi tidak masuk akal, maka mereka yang tadinya berminat untuk masuk biasanya malah jadi ragu, sementara mereka yang sudah masuk akan panik dan kocar kacir cari info kesana-kemari: Jangan-jangan perusahaannya kenapa-napa?? Dan bahkan kalaupun itu saham/perusahaan sebenarnya gak ada masalah apa-apa, tapi kalau sahamnya terus saja turun/gak mau naik-naik, maka orang akan berasumsi liar, bahwa memang perusahaannya ada masalah. Dari sinilah biasanya kemudian muncul rumor-rumor negatif terkait perusahaan yang sahamnya turun terus tersebut. Analoginya ya itu tadi: Kalau anda ditawari membeli rumah bagus di lokasi bagus tapi pada harga yang kelewat murah, maka anda akan otomatis berburuk sangka bahwa rumahnya bermasalah, bahkan meski itu rumah sejatinya aman-aman saja.

LPCK = Unbelievably Undervalue = Bad News Come Out

Dan pada kasus emiten Lippo Cikarang (LPCK), that is exactly the case. Pada awal tahun 2015, seiring dengan moncernya kinerja fundamental perusahaan ketika itu, saham LPCK terus saja naik hingga sempat tembus 12,000. Setelah itu saham LPCK mulai turun seiring dengan penurunan IHSG, dan karena memasuki tahun 2016 kinerja/laba LPCK juga mulai turun, maka jadilah sahamnya gak naik-naik lagi. Hingga pada pertengahan 2017, setelah LPCK berada di level 4,000-an, beberapa orang notice bahwa PBV LPCK ketika itu tinggal 0.5 kali, sementara ketika itu juga mulai ramai iklan megaproyek Meikarta yang disebut-sebut bernilai Rp200 sekian trilyun. Thus, meski kinerja perusahaan hingga Kuartal II 2017 masih belum bagus, namun mulai muncul ekspektasi bahwa LPCK menawarkan prospek yang luar biasa cerah. Dan alhasil sahamnya sempat naik lagi sampai hampir tembus 5,000.

However, entah karena di kuartal-kuartal berikutnya laba LPCK tetap saja turun, atau karena mulai muncul beberapa kejanggalan seperti: 1. LPCK terlambat merilis laporan keuangan, 2. Perusahaan tiba-tiba mengumumkan rencana right issue, tapi tidak jelas kapan right issue itu akan dilaksanakan, 3. Cerita terkait Meikarta menjadi simpang siur, malah ada rumor di media sosial bahwa pekerjaan konstruksi salah satu menaranya ‘ditunda hingga waktu yang belum ditentukan’ (meski kemudian rumor ini dibantah oleh perusahaan kontraktor yang bersangkutan), dan 4. Saham-saham Grup Lippo lainnya seperti MLPL, MPPA, LPKR terus saja turun, maka jadilah LPCK kembali turun.. dan terus turun. Puncaknya adalah ketika pada April – Mei 2018 ini, seiring dengan IHSG-nya mulai dilanda koreksi, sementara surprisingly kinerja LPCK sampai Kuartal I 2018 juga masih saja jelek/labanya masih turun, maka jadilah sahamnya bablas hingga kemarin mentok di 1,600.

Tapi disinilah menariknya: Pada harga sahamnya saat ini (1,870), PBV LPCK sekarang hanyaaa... 0.2 kali. Dalam banyak artikel-artikel analisis di blog ini, penulis sudah sering mengatakan bahwa kalau ada saham (yang dulunya pernah) bagus dihargai pada PBV kurang dari 0.4 kali, maka itu sudah masuk kategori unbelievably undervalue. Dan kalau saham tersebut termasuk saham yang (pernah) populer di kalangan investor dan trader, maka biasanya akan ada saja rumor jeleknya, dimana rumor-rumor tersebut sebenarnya berasal dari buruk sangka investor itu sendiri. Contohnya, masih ingat beberapa bulan lalu ketika salah satu saham second liner paling populer di BEI, Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA), terus saja anjlok dari 2,000-an hingga dibawah 500? Ketika itu memang karena perusahaan tersangkut masalah hukum, berencana menjual unit usaha berasnya, dan rating obligasinya pun turun. Tapi diluar fakta-fakta diatas, beredar pula rumor simpang siur bahwa AISA ini bangkrut bla bla bla, dimana sekali lagi, rumor-rumor itu berasal dari kepanikan investor itu sendiri karena pada harga dibawah 500, PBV AISA juga sudah persis 0.4 kali. Yep, alias sudah unbelievably undervalue.

Jadi mungkin perlu dicatat bahwa rumusnya adalah, kalau ada saham populer (populer itu bukan berarti berfundamental bagus, hati-hati!) yang terus turun hingga valuasinya undervalue, maka orang-orang akan meliriknya. Tapi jika dia turun lebih lanjut hingga valuasinya unbelievably undervalue, maka orang-orang justru akan ragu, dan akan mulai keluar berita-berita jelek. So, when a stock is unbelievably undervalue = bad news would come out.

Tapi berbeda dengan AISA yang beneran bermasalah, LPCK sebenarnya gak ada masalah hukum atau apapun. Silahkan anda buka http://www.idx.co.id/berita/pengumuman/, kemudian masukkan ‘LPCK’ pada kotak kata kunci, lalu klik CARI. Maka anda tidak akan menemukan keterbukaan informasi apapun yang menjelaskan permasalahan tertentu yang tengah dihadapi perusahaan (kecuali klarifikasi dari kontraktor terkait isu penghentian pekerjaan salah satu tower di Meikarta). Ini berbeda dengan AISA, dimana informasi faktual terakhir adalah terkait penurunan rating obligasinya, yang artinya setelah kemarin berurusan sama polisi terkait penutupan pabrik berasnya, sekarang utang obligasi perusahaan yang bermasalah.

Sementara untuk LPCK, sekali lagi, tidak ada masalah spesifik tertentu, sehingga informasi apapun yang anda dengar dari koran, media elektronik, ataupun medsos, rata-rata itu cuma rumor ‘saya dengar’, atau 'katanya' yang gak jelas kata siapa, dan biasanya sih rumor-rumor seperti ini akan menghilang dengan sendirinya jika nanti LPCK naik lagi. Masih ingat sekitar September – Oktober 2017 lalu ketika saham-saham BUMN konstruksi terus saja turun hingga keluar rumor aneh-aneh bahwa proyeknya mangkrak lah, pemerintah kehabisan duit lah, tapi ketika WSBP dkk kemudian naik lagi, maka semua rumor itu menguap dengan sendirinya dan berganti cerita optimis bahwa ‘Pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur’, atau semacamnya?? Well, mari kita lihat kalau LPCK juga nanti bakal sama kaya gitu. Sebab kalau kita pakai lagi analogi 'barang murah' diatas, maka LPCK ini bukanlah tas Lous Vuitton KW mangga dua, melainkan roti berkualitas baik yang harganya lagi diskon saja.

Masalah LPCK: Manajemennya

However, kalau dikatakan bahwa LPCK tidak ada masalah sama sekali, maka itu kurang tepat juga. Seperti yang sudah disebut diatas, masalah utama LPCK adalah ketika muncul kejanggalan-kejanggalan seperti laporan keuangannya telat keluar, right issue-nya gak jelas kapan dilaksanakan (dan pada harga berapa), dan yang paling penting, sampai sekarang labanya masih turun. Jadi kemana semua hasil pra penjualan/marketing sales Meikarta yang tercatat Rp7.5 trilyun sepanjang tahun 2017?? Disisi lain aset LPCK tiba-tiba saja melonjak dari Rp5.6 menjadi Rp12.4 trilyun, ekuitasnya juga melonjak, tapi tidak jelas dari mana asal lonjakan tersebut. Lebih aneh lagi: Kalau anda search laporan keuangan serta dokumen public expose LPCK, maka anda tidak akan menemukan kata ‘Meikarta’, sama sekali! Manajemen LPCK hanya menyebut soal Meikarta di laporan tahunannya, itupun tidak secara spesifik.

Pendek kata, kalau ada masalah di LPCK, maka itu adalah terkait fakta-informasinya yang serba membingungkan bahkan bagi analis/investor berpengalaman sekalipun, dan ada kesan bahwa itu semua disengaja (soalnya dulu LPCK gak begini, dimana laporan keuangannya bersih/gak ada akun yang aneh-aneh, dan selalu keluar tepat waktu). Yup, jadi wajar saja kalau rumor ‘LPCK vs Meikarta’ kemudian menjadi liar di publik, karena ketika saham Waskita Beton Precast (WSBP) turun, misalnya, maka investor bisa tetap santai karena toh biar gimana fundamental perusahaan masih sangat bagus. Sementara LPCK? Well, laba perusahaan biar gimana masih turun. Jadi meski valuasinya memang sudah sangat murah, tapi kecuali di Kuartal II 2018 nanti labanya (akhirnya) naik, maka secara fundamental belum ada alasan bagi sahamnya untuk naik lagi.

Anyway, seperti halnya AISA yang, meski belum naik lagi ke 1,000-an, tapi juga tidak turun lebih lanjut bahkan meski perusahaan masih menghadapi segudang masalah (LK AISA malah belum keluar), maka demikian pula LPCK nanti akan ketemu bottom-nya di berapa (atau mungkin memang sudah, yakni di 1,600-an kemarin), dan selanjutnya dia akan sideways, dan bisa naik lagi sewaktu-waktu. Yup, kata kuncinya disini adalah, seperti halnya AISA, LPCK tidak mengalami rugi, gagal bayar utang, bangkrut, atau semacamnya -malah kejauhan lah kalau dibilang bangkrut-, jadi perusahaannya tetap memiliki nilai, dan valuasinya beneran murah/bukan value trap. Dan ini berarti, seperti halnya AISA yang sempat beberapa kali membal naik dari posisi terendahnya (378) sampai tembus 700, maka LPCK juga bisa mengalami hal yang sama.

Namun jika anda tertarik untuk masuk, maka ingat bahwa karena, sekali lagi, fakta-informasi terkait LPCK ini serba membingungkan, maka LPCK untuk saat ini sulit untuk dianalisa (apalagi kalau anda masih pake jurus ‘katanya’, atau 'denger-denger Meikarta bla bla bla'), sehingga jika anda tidak mau ambil risiko maka boleh ambil saham lain saja yang ‘lebih jelas’, atau boleh juga tunggu sampai nanti laba perusahaan akhirnya naik (itu bisa terjadi dalam waktu dekat ini, karena pra penjualan Meikarta yang Rp7.5 trilyun itu bukan rumor, melainkan informasi faktual yang sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris & Direksi di laporan tahunan LPCK itu sendiri).

Kutipan laporan Dewan Direksi di Annual Report 2017 Lippo Cikarang

Sementara bagi anda yang sudah masuk, maka meski situasinya sekarang mungkin sudah desperate, tapi sebenarnya anda hanya perlu menunggu dua hal: 1. Pelaksanaan right issue LPCK, dimana kalau mempertimbangkan valuasi sahamnya yang saat ini kelewat rendah, maka kemungkinan besar right issue-nya akan dilakukan pada harga yang jauh diatas harga pasar, dan itu akan jadi sentimen positif bagi saham LPCK (masih ingat analisa Bank Bukopin (BBKP) kemarin?), dan 2. Membaiknya laporan keuangan perusahaan, dimana itu bisa terjadi kapan saja. Salah satu alasan kenapa LPCK masih belum mengakui pra penjualan unit-unit apartemen di Meikarta sebagai pendapatan, adalah karena megaproyek sebesar itu tentunya perlu waktu untuk dikerjakan (pra penjualan baru akan diakui sebagai pendapatan setelah unit propertinya selesai dibangun dan sudah diserah terimakan ke pembeli), tapi progressnya tetap berjalan, dimana update terakhir adalah sudah dilakukan topping off untuk dua tower apartemen perdana, dan tower-tower lainnya akan menyusul. Yep, jadi meski penulis juga gak bisa kasih saran untuk average down karena LPCK biar gimana labanya masih turun, tapi dalam value investing, anda baru boleh ‘quit and never look back’ kalau perusahaannya memang sudah ‘no hope’ sama sekali, baik itu dalam jangka panjang maupun pendek. Sedangkan untuk LPCK ini, the hope is still there. So, your call!

Jika anda punya analisa sendiri terkait LPCK, baik itu rekomendasinya buy, sell, hold, atau ignore, boleh sampaikan melalui kolom komentar dibawah.

PT. Lippo Cikarang, Tbk
Rating Kinerja pada Q1 2018: BBB
Rating Saham pada 1,870: AAA

Buletin Analisis IHSG, Update Situasi Pasar, Serta Stockpick Saham Pilihan edisi Juni 2018 akan terbit hari Jumat, 1 Juni mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham langsung dengan penulis untuk member.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Anonymous mengatakan…
Kalo posisi nyangkut tapi masih punya potensi besar untuk rebound.. Saya average down sj deh..
Anonim mengatakan…
kalau menurut saya pra penjualan 7,5 T itu dicatatkan di akun "Uang Muka Pelanggan" yg ada di bagian Liabilitas pak, yang membuat liabilitas LPCK juga melonjak (meskipun belum melebihi ekuitasnya). Tapi kalau kita lihat "Uang Muka Pelanggan" itu sendiri di 2017 FY masih 2,85 T, namun saya rasa itu baru uang DP dari total 7,5 T itu sendiri. CMIIW.
Lpck mengatakan…
Apartemen temen saya punua lippo yg di mampang jg nggak jelas kapan selesainya..hrsnya udh handover unit..
Juice Recipe mengatakan…
Kalau berita yg sy dengar tersangkut masalah perijinan lahan pak. Jadi mereka tidak boleh melakukan aktifitas penjualan hanya boleh promosi. Makanya semua transaksi hanya tanda jadi, tidak boleh dp
Anonim mengatakan…
Laporan keuangan adalah media komunikasi antara BOD dan investor. Ketika Lapkeu itu tidak clear, komunikasi terganggu dan bahkan gak nyambung. PBV dan PER hanya indikator saja. Saya prefer saham PBV 0.7-1 daripada PBV 0.1-0.5 tetapi informasi dalam Lapkeu ambigu. Jangan spekulasi. Mending judi bola aje sekalian jika mau spekulasi. Piala dunia sudah deket.
Anonim mengatakan…
Selain labanya yang turun, operating cashflownya juga negatif pak. Bikin investor bertanya ini LPCK laba nya beneran ada (kas masuk) atau nggak.
Puti K Sudarsono mengatakan…
Yang saya temukan di berita, ekuitas nambah 4 triliun itu dari investor yang membeli sebagian MSU (kemungkinan nama PT nya Meikarta), makanya meningkat asetnya. Karena Meikarta masih mayoritas dikuasai LPCK jadi asetnya dikonsolidasikan ke Balance Sheet LPCK. CMIIW....
Anonim mengatakan…
kebanyakan menilai LPCK dari sisi keuntungan, tp sy menilai dari sisi asetnya.. biarpun ada mslh di proyek, tp mnrt sy harganya "tdk pantas" dgn PBV 0.2

cth kasus BUMI, separah2nya BUMI, asetnya msh sgt bernilai.. hslnya lihat saja Lo Kheng Hong, dpt profit yang besar dr kenaikan harga BUMI krn beliau melihat dr sisi yg berbeda
Anonim mengatakan…
"LPCK laba nya beneran ada?"
LPCK tidak pernah membagikan deviden. Laba Beneran adalah deviden. Bentuknya tunai. Dibagi kepada investor atau trader, dan tidak bisa ditarik kembali. Percaya BOD Laba ditahan (reinvesting) "untuk pengembangan"?
d30 mengatakan…
Pra penjualan 7.5t belum dimasukkan di income statement. Seperti yg dibilang diatas, nilai itu akan masuk jika sudah serah terima unit yg kl ga salah terjadi di akhir tahun ini.

Sekarang coba lihat laporan cash flow. Ada pemasukan dr pelanggan 4.2triliun (2017), padahal pendapatan hanya 1.5triliun. Masalahnya kita ga bisa melihat 4.2triliun itu seberapa banyak yg masuk dari pendapatan 1.5triliun tadi. Kalau 3.7triliun pemasukan dr pelanggan kita anggap bersumber dr pra sales yg disebutkan sebesar 7.5triliun hingga akhir 2017. Maka masuk akal. Karena Mahkota Sentosa Utama selaku operator Meikarta saat ini dimiliki 3 pemegang saham utama (Mega Kreasi Cikarang, Peak Asia Investment dan Hansen Holding) penjelasannya ada dilapkeu 2017. Mega kreasi 100% adalah anak usaha LPCk yg memegang 49.9% saham mahkota sentosa. Sedangkan di PeAk Asia, LpCk hanya memiliki sebagian saham didalamnya (yg 49.9% saham mahkota sentosa juga di pegang oleh Peak ini).

Nah, kalau lah misalnya efektif lpck memiliki 50% saham mahkota sentosa, maka 50% dari pra sales tadi sekitar 3.7t menjadi hak lpck. Dan mereka masih memasukkannya ke dalam arus kas penerimaan dari pelanggan. Seperti yg disebutkan diatas, nilai ini belum dimasukkan kedalam income statement Krn unit belum diserahterimakan.
d30 mengatakan…
Aliran cash flownya yang sebenarnya buram. Kita ga bisa melihat 4.2triliun penerimaan dr pelanggan, seberapa besar porsi didalamnya yg merupakan bagian dr pendapatan yg 1.5triliun. 4.2triliun penerimaan dr pelanggan maupun 6.9triliun pembayaran kepada pemasok seperti yg terlihat di laporan arus kas 2017, kebanyakan itu adalah bagian pra sales meikartA.
Anonim mengatakan…
LPCK, mending jangan hold. Kalau bisa jangan beli juga.
Ingat aturan beli saham yang utama, kata guru: "Management harus bagus"

Management lippo udah pada tahu lah ya...wkwkwk :)
Noobinvestor mengatakan…
Pak Teguh jgn menyalahi kaidah value investing. Faktor integritas manajemen adl salah satu pertimbangan utama. Bahkan menurut sy LPCK tdk layak dibahas di sini.
Anonim mengatakan…
Sepertinya pak Teguh lupa menulis disclaimer kalau sudah memiliki LPCK
Eko mengatakan…
Saya open market hari ini beli LPCK di harga 2180. Smoga sampai harga 3000, baru lihat reaksi harga di sana, apakah hold atau jual saja.
Pintarsaham.id mengatakan…
Ngomongin grup Lippo ini memang kadang valuasi secara "umum" tidak akan berlaku..CMIIW. Saya lebih prefer stay away dulu sampai benar-benar ada kejelasan mengapa mereka kok bisa "semurah" ini.
Anonim mengatakan…
Dari pd pusing beli LPCK dibrp yg pasti sdh undervalue pas di harga Rp50. Trust me its work. Wkwkwk:D
Anonim mengatakan…
Perusahaan yang management ya bermain bersih, mempercantik lapkeu... Apa pantas kita investor melakukan valuasi.. kalau patokan valuasi adalah lapkeu, maka kita harus percaya dengan lapkeu ya..
LPCK = Lippo.. you know lah
Dudi mengatakan…
@Anonim:DISCLAIMER??? maksudnya DISCLOSURE kalee? cmiiiwwww...
#InPakTeguhWeBelieve
Unknown mengatakan…
@Puti K Sudarsono:Inilah yang menjadi kebingungan saya, karena di komponen modal terdapat tambahan modal lainnya sebesar Rp 3,1T yang katanya belum diaktekan. Dengan masuknya modal tersebut nantinya jumlah saham beredar kemungkinan akan bertambah dan menurunkan EPS perseroan.
MukaGrafik mengatakan…
LPCK bagi saya adlh peluang. saya juga nyangkut di LPCK. tapi prinsip saya dalam membeli saham2 'sakit' (spt LPCK) adlh: yang paling penting kita harus tahu penyakitnya. Spt AISA, penyakitnya adlh divisi beras, dan saya yakin semua tahu kalau ada pengumuman divestasi divisi beras AISA sahamnya pasti terbang. demikian pula LPCK, penyakitnya adlh meikarta dan gugatan perkara 1,7 t dari vendor iklan. dgn kata lain, bila ada pengumuman TOPPING OFF bbrp tower meikarta (dan kelihatannya akan terjadi di bulan okt) dan berita damai dgn vendor yg menggugat (kelihatannya pd akhirnya akan damai jg mengingat bagi vendor kalau di teruskan jg yg ada makin ribet), maka saham LPCK akan terbang juga. but....... this is not reccomendation. byk kok saham properti yg lebih sehat dr LPCK.
Anonim mengatakan…
Yg sakit manajemennh mungkin wkwkw
Unknown mengatakan…
Perkenalkan saya peter tinggal di lippk cikarang.. saya mau meluruskan informasi yg salah diatas.
1. Meikarta bukan dibawah manajemen lippo cikarang melainkan lippo karawaci.
2. Penjualn lippo cikarang anjlok karena memang pasar rumah tapak lagi sepi
3. Keterbatasan lahan untuk perumahan setelah diserobot meikarta menjadi alasan juga kenapa lpck mengerem pembangunan rumah tapak
4.Meikarta sendiri saya prediksi akan terkatung2 sampai 4 tahun kedepan. Karena sekarang yg digembor2kan akan serah terima itu adalah apartment yg dulu bernama orange county yg dijual tahun 2013 lalu.
4. Dual manajemen lpck dan lpkr di cikarang ini sekarang sedang kisruh karena infra yg terbagi tanggung jawabnya. Seperti contoh gorong2 lpck mengarah ke meikarta ditutup yg notabene beda mmanajemen sehingga mampet dll..
Bagi investor meikarta bila ada pertanyaan boleh tanya ke saya
Unknown mengatakan…
Meikarta itu sejak tahun lalu udah jelas proyek hoax. Mana mungkin bisa untung dengan jualan 7juta/m, sedangkan biaya konstruksi aja 5 juta/m.

Lagipula,ini siapa sih yg suruh bikin proyek HRB gede2an di Cikarang, padahal market HRB di sana ga kuat. Apalagi market utk tipe studio. Kalo bikinnya di sktr kampus, ok lah masih rasional.
Anonim mengatakan…
bagi yg bergerak di dunia property sebagai agent atau inhouse developer ( yg sudah lama ya) sudah tau lah lippo itu gimana.. .. ..
JOLIENARDI mengatakan…
PAK TEGUH, ANALISA YG BENAR DONK

PERUSAHAAN GA BAGUS DIANALISA
Yudi mengatakan…
pak teguh ayo bahas lagi lpck jilid 2 karena udah benar murah. bagaimana kelanjutan lpck setelah kena kasus suap perizinan??
Yudi mengatakan…
@Petar Avatar:

pak petar, habis kena kasus suap, bagaimana kelanjutan penjualan meikarta?masih bisa jualan atau sdh stop?
Anonim mengatakan…
Hanya TUHAN yang tau
Abburijal Bakri mengatakan…
Halo haloo..

sekarang abis imlek
tanggal 02-02-2020

LPCK juga jebol ke 750-an
lagi OTW menuju 500...
Yuk kita berinpestasi di LPCK
Unknown mengatakan…
Makin unbelievable undervalue nya.....
Anonim mengatakan…
Kenapa laporan keuangan terbarunya tidak ada laporan liabilitas jangka panjang dan hanya ada laporan liabilitas jangka pendek ?
the great depression mengatakan…
pak teguh, kalo analisa yang benar donk
pak teguh analisa berdasarkan apa ? Laporan Keuangan ?
check di laporan keuangan 2018
itu dia revisi laporan keuangan, parah itu revisi nya
2017 untung 400 M an, trus abis di revisi rugi 800 M
situ patokan laporan keuangan ?
wong laporan keuangan nya aja dimanipulasi, jangan kayak bocah
polos amad

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Kuartal II 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia