Buy, Hold, Sell, or.. Ignore?

Kalau anda baca-baca ulasan emiten yang dibuat analis sekuritas, maka di akhir ulasan tersebut biasanya terdapat kesimpulan terkait apakah rekomendasinya (untuk saham yang bersangkutan) adalah buy, hold, atau sell. Namun pada ulasan Lippo Cikarang (LPCK), di bagian akhir tulisan penulis mengajak pembaca untuk juga menyampaikan analisanya masing-masing, entah itu rekomendasinya buy, hold, sell, atau ignore. Nah lho, jadi apa yang dimaksud dengan ignore disini?

Ignore, secara harfiah bermakna abaikan. Jadi jika suatu saham rekomendasinya adalah ignore artinya anda disarankan untuk mengabaikan saja saham tersebut, dan gak usah pusing memikirkan soal apakah sahamnya layak buy atau tidak. Kesimpulan analisa berupa ignore ini ditujukan pada satu saham tertentu yang anda belum memegangnya sebelumnya, yang anda mungkin tertarik untuk membelinya karena alasan tertentu, misalnya karena harganya naik terus hingga bikin orang-orang jadi penasaran, atau sebaliknya harganya turun jauh hingga valuasinya menjadi kelewat murah, tapi pada akhirnya anda disarankan untuk mengabaikan saham tersebut, dan cari saja saham yang lain. However, jika posisi anda sejak awal sudah memegang saham tersebut, maka ignore ini juga bisa diartikan sebagai ‘quit (sell), and never look back’, alias segera jual sahamnya dan jangan pernah lihat-lihat lagi (jadi mau selanjutnya saham itu naik atau turun, biarkan saja).

Seperti yang sudah disebut diatas, kalau anda terbiasa membaca rekomendasi sekuritas, maka anda tidak akan pernah menemukan rekomendasi ignore ini, dan anda bahkan mungkin baru mendengar istilah ignore ini, dalam kaitannya dengan dunia investasi saham, pada artikel ini. Tapi berdasarkan pengalaman selama ini, penulis sendiri sudah sering ketemu suatu kondisi dimana kita sebaiknya memang mengabaikan saham tertentu, bahkan meski saham tersebut sedang ramai-ramainya dibicarakan di market/hampir semua orang membelinya, dan anda akan tampak konyol jika anda tidak ikut membeli.

Okay, lalu kenapa, dan kapan kita harus meng-ignore suatu saham? Ada beberapa alasan, tapi pertama-tama kita belajar dari quotes-nya Opa Warren Buffett (WB) dulu, dalam hal ini ada tiga quotes yang penting untuk diperhatikan:

1. Rule No.1, never lose money. Rule No.2, don’t forget rule No.1
2. Risk comes from not knowing what you are doing
3. Never invest in a business you cannot understand.

Jadi pertama-tama, kita berangkat dari rule paling dasar dalam investasi saham ala WB: Jangan pernah kehilangan uang, alias rugi. Sudah tentu, ini bukan berarti WB tidak pernah rugi sepanjang kariernya sebagai investor, tapi maksudnya adalah, alih-alih berusaha memaksimalkan keuntungan, ia justru selalu berusaha keras untuk meminimalisir risiko terjadinya kerugian.

Dan risiko terjadinya kerugian itu biasanya berasal dari ketidak tahuan kita dalam berinvestasi, salah satunya ketika kita berinvestasi pada saham/perusahaan yang tidak bisa kita pahami, entah itu terkait industri/sektor usaha yang dijalani perusahaan, cara kerja perusahaan, kualitas manajemen, valuasi sahamnya, pergerakan sahamnya, dan seterusnya. Kemudian perhatikan bahwa WB mengatakan ‘never invest in a business you cannot understand’, dan bukannya ‘never invest in a business you don’t understand’. Ini artinya, ketika anda tertarik untuk berinvestasi pada saham tertentu, maka anda seperti biasa boleh analisa dan pelajari terlebih dahulu perusahaannya secara menyeluruh, tapi jika setelah anda pelajari bolak balik namun anda tetap saja pada akhirnya tidak mengerti kenapa kok perusahaannya begini? Kenapa kok sahamnya begitu? Maka.. Anda jangan beli sahamnya! Karena kalau demikian, artinya anda berinvestasi pada perusahaan yang tidak anda pahami, atau dengan kata lain anda tidak tahu apa yang sedang anda lakukan, dan ini akan menyebabkan anda menghadapi risiko yang sangat besar untuk menderita kerugian.

Dan inilah kenapa, hingga sekitar tahun 2010, WB hampir tidak pernah berinvestasi pada saham-saham perusahaan teknologi, karena alasannya ya itu tadi: Ia tidak mampu untuk memahami value serta prospek dari perusahaan teknologi. Jadi meski orang mungkin mengkritik WB karena tidak membeli saham-saham teknologi yang naik luar biasa dalam jangkan panjang seperti Google, Amazon Inc, dst, tapi WB dalam hal ini telah melakukan tindakan yang paling tepat. Memasuki tahun 2010 sampai sekarang, barulah Berkshire Hathaway (BRK) mulai berinvestasi di saham-saham teknologi seperti IBM dan Apple, dan lagi-lagi itu mengundang kritikan karena WB dianggap plin-plan, tapi WB sekali lagi tetap melakukan tindakan yang tepat, karena pada hari ini, ia beserta jajaran fund manager-nya di BRK sudah mampu memahami cara kerja dan prospek jangka panjang dari Apple Inc, dimana kesimpulan dari analisanya adalah, Apple layak untuk invest.

Berdasarkan ulasan diatas maka bisa disimpulkan bahwa dalam memnentukan apakah suatu saham layak buy atau tidak, itu tidak melulu mempertimbangkan fundamental serta prospek perusahaan yang bersangkutan, melainkan juga mempertimbangkan posisi si investor itu sendiri, apakah ia cukup memahami perusahaan tersebut atau tidak. Jadi ketika WB tidak membeli saham Google di awal tahun 2000-an, maka itu bukan berarti saham Google nggak bagus (dan memang nyatanya saham Google naik banyak). Dan ketika WB mulai membeli saham Apple sejak sekitar tahun 2016, maka itu juga bukan berarti Apple ini pasti bagus, tapi yang jelas WB beserta tim-nya sudah mempelajari perusahaannya secara menyeluruh, dan kesimpulan mereka adalah, Apple ini layak invest.

However, jika anda sendiri kemudian mempelajari Apple, tapi kesimpulan akhirnya adalah aku ora ngerti, maka, dengan mengikuti kaidah value investing seperti yang disampaikan WB, rekomendasi penulis untuk Apple ini adalah ignore (dan memang penulis sendiri gak akan buy saham Apple, karena saya tidak punya waktu untuk mempelajari perusahaannya/kita fokus ke saham-saham dalam negeri saja).

Inilah sebabnya ketika penulis ditanya, ‘Pak Teguh, gimana prospek saham INKP? TKIM? ERAA?’ (Catatan: setiap tahun di market akan selalu ada saja ‘saham-saham terbang’ yang bikin penasaran seperti itu), tapi jawaban penulis adalah, ‘I don’t know and I don’t care’. Yup, tiga saham yang disebut diatas memang pernah sangat murah sekitar satu atau dua tahun yang lalu, dan fundamentalnya juga bagus (kita pernah merekomendasikan ketiganya di ebook kuartalan), tapi ketika itu kita tidak pernah menyangka bahwa sahamnya akan naik setinggi ini, dan meski sudah kita pelajari bolak balik, tetap saja kami tidak mengerti kenapa ketiganya bisa naik setinggi itu.

Jadi mau besok-besok itu saham naik atau turun, kami akan mengabaikannya. Demikian pula untuk saham-saham lainnya yang entah kenapa naik sendiri, atau sebaliknya turun sendiri (misalnya saham Campina Ice Cream (CAMP), yang sekilas menarik karena merupakan perusahaan es krim terkenal, tapi kita tetep aja gak mengerti kenapa saham ini di awal tahun kemarin sempat mencapai 1,800, dan sekarang anjlok ke 300-an), tapi kalau kita gak ngerti kenapa kok perusahaannya begini, kenapa kok sahamnya begitu, maka ya sudah, rekomendasinya ignore saja. Dalam hal ini, sekali lagi, ketika kita meng-ignore saham tertentu maka bukan berarti saham tersebut jelek, dan contoh-contoh saham yang disebut diatas bisa saja besok-besok naik lagi. Tapi ketika kita membeli saham tertentu yang ‘you cannot understand’, misalnya cuma karena penasaran soalnya saham itu naik terus/ramai dibicarakan orang, maka itu artinya bukan investasi, melainkan spekulasi.

Ini seharusnya bisa jadi saham bagus, tapi ya gak tau lah

Namun sebaliknya, ketika seorang investor membeli saham tertentu yang orang lain menganggap saham tersebut jelek, maka bisa jadi itu karena si investor tersebut mampu mempelajari dan memahami perusahaan, termasuk paham soal risk and reward-nya, sedangkan orang lain tidak cukup paham saja. In fact, WB sendiri menyarankan kita untuk membeli saham yang orang lain justru menghindarinya (atau orang lain tidak berminat untuk ikut membeli), tapi tentunya dengan catatan anda sudah mempelajari dan sudah memahami saham/perusahaan tersebut. Dan berdasarkan pengalaman penulis sendiri, saham-saham terbaik kita adalah memang saham yang ketika kami memutuskan untuk membelinya maka orang-orang justru kebingungan, itu saham apaan? Apa bagusnya? Bukannya perusahaannya rugi bla bla bla??

However, kalau kita sudah pelajari saham tertentu dan kesimpulan akhirnya adalah anda gak ngerti apa-apa (atau kadang ada juga saham yang semakin dipelajari, semakin bikin tambah puyeng), maka yo wis: Mau itu saham naik atau turun maka abaikan saja, dan anda boleh membeli saham lain yang, setelah anda pelajari, bisa disimpulkan bahwa saham itu memang bagus dan layak invest, dan setelah itu anda boleh pergi berlibur.

Jika anda punya pengalaman terkait meng-ignore suatu saham, boleh menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah.

Jadwal Seminar Value Investing: Jakarta 30 Juni, Medan 7 Juli, Surabaya 14 Juli. Keterangan selengkapnya baca disini.

Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin! TeguhHidayat.com akan tetap online sepanjang libur lebaran, jadi email-email yang masuk tetap akan dibalas secepatnya.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Andy Tantono mengatakan…
Mohon liputannya tentang Warren Buffet membeli perusahaan Electric Car dari China, BYD Motors ya, Pak Teguh.
Anonim mengatakan…
Beli mah beli aja, jual juga jual aja.
Profit ya syukur, rugi ya dapet pengalaman.
Mikir pusing amat.
Bink Natawijaya mengatakan…
Saham bumi (saham grup bakri), saya ignore dari dulu kala hehe
Anonim mengatakan…
Bung Teguh,

Menurut saya rekomendasi Ignore itu tidak perlu. Dia sudah implisit ada di rekomendasi SELL.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia