Bank BNI

PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk atau Bank BNI (BBNI) melaporkan laba bersih Rp3.3 trilyun untuk tahun penuh 2020, turun signifikan dibanding 2019 sebesar Rp15.4 trilyun, dimana jika ukurannya dari laba bersih itu saja, maka ini merupakan kinerja terburuk BBNI sejak sepuluh tahun terakhir. Menariknya, dilihat dari sisi pendapatan, maka angkanya masih cukup besar yakni Rp56.2 trilyun, atau hanya turun sedikit dibanding 2019 sebesar Rp58.5 trilyun, dan ini merupakan pencapaian yang sebenarnya cukup baik jika mempertimbangkan kondisi ekonomi yang memang resesi di tahun 2020 lalu. Nah, lalu kenapa laba BBNI bisa anjlok begitu? Dan apakah dengan demikian sahamnya masih layak invest?

***

Live Webinar Value Investing, Sabtu 9 Maret 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

***

Sejarah Bank BNI dimulai pada tahun 1946, yakni ketika Margono Djojohadikusumo, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, atas persetujuan Presiden Soekarno mendirikan dan menjadi direktur utama bagi Bank Negara Indonesia, yang ketika itu berfungsi sebagai bank sentral di Indonesia. Namun pada perkembangannya, fungsi bank sentral itu kemudian dialihkan ke Bank Indonesia (BI), yang merupakan hasil nasionalisasi De Javasche Bank milik Pemerintah Hindia Belanda (yang sudah berdiri dan beroperasi sejak tahun 1828), pada tahun 1953. Alhasil BBNI, bersama dengan Bank Rakyat Indonesia atau Bank BRI (BBRI), kemudian menjadi bank umum milik Pemerintah. BBNI kemudian bertumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia itu sendiri, dan menjadi perintis bagi sejumlah layanan baru perbankan, seperti Bank Terapung, dan Bank Keliling sejak tahun 1960-an.



Tapi setelah itu, bisa dibilang tidak ada peristiwa penting yang bisa diceritakan. Pada krisis moneter 1997 – 1998, BBNI termasuk dari sekian banyak bank yang hampir saja kolaps, namun diselamatkan dengan cara disuntik modal oleh Pemerintah. Tapi setelah itupun, lagi-lagi BBNI hanya bertumbuh secara pelan-pelan. Pada tahun 2000, BBNI untuk pertama kalinya mencatat aset diatas Rp100 trilyun, tepatnya Rp114 trilyun, dan aset itu baru tembus ke level Rp200-an trilyun pada tahun 2008. Peningkatan aset hingga dua kali lipat dalam delapan tahun mungkin tampak tidak terlalu buruk. Tapi sebagai perbandingan, BBRI sukses menumbuhkan asetnya dari Rp107 trilyun di tahun 2004, hingga tembus Rp246 trilyun pada tahun 2008. Yup, anda tidak salah baca: Dari sisi nilai aset, BBNI dulunya lebih besar dibanding BBRI. Tapi sejak tahun 2007, BBRI untuk pertama kalinya ‘menyalip’ BBNI, dan sampai hari ini belum disalip kembali.

Dan memang pada dekade 2000-an, perekonomian atau GDP Indonesia tumbuh kencang yakni dari $165 milyar di tahun 2000, menjadi $510 milyar di tahun 2008. Sehingga pertumbuhan aset BBNI ketika itu memang jauh dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi RI itu sendiri.

Hingga pada tahun 2008, Pemerintah melakukan reformasi besar-besaran di tubuh BBNI dengan mengganti seluruh komisaris dan direkturnya, dan tim manajemen yang baru dibawah pimpinan direktur utama Gatot Suwondo mulai banyak melakukan aksi-aksi korporasi penting, seperti spin off BNI Syariah, right issue untuk memperkuat modal, menerbitkan obligasi $500 juta di Singapura, mendirikan BNI Life Insurance, termasuk tentunya membuka banyak kantor cabang baru, meluncurkan berbagai layanan baru perbankan, dan seterusnya. Hasilnya, pada tahun 2014, laba bersih BBNI untuk pertama kalinya tembus ‘dobel digit’, tepatnya Rp10.8 trilyun, yang kemudian lanjut tumbuh menjadi Rp15.4 trilyun pada tahun 2019. Dan per akhir tahun 2020 barusan, aset BBNI tiba-tiba saja sudah mencapai Rp891 trilyun, dan harusnya cuma soal waktu saja sebelum nilai aset tersebut akan tembus level psikologis Rp1,000 trilyun, seperti yang memang sudah dicapai oleh tiga bank besar lainnya yakni BBRI, Bank Mandiri, dan Bank BCA.

Meski demikian sejak 2008 tersebut sampai hari ini, kinerja BBNI secara umum tetap kalah dibanding BBRI. Sehingga jika kita hanya melihat faktor fundamental saja dan mengabaikan valuasi sahamnya, maka BBRI tetap merupakan pilihan terbaik. Tapi tentu, berdasarkan kaidah value investing, faktor valuasi ini tidak bisa diabaikan.

Karena itulah, meski ketika penulis mulai belajar saham pada tahun 2009, saya hanya melirik BBRI saja karena memang fundamentalnya terbaik (nilai aset BBRI ketika itu masih dibawah BMRI, tapi saya ketika itu bahkan sudah memperkirakan bahwa suatu hari nanti aset BBRI akan menyalip/lebih besar dibanding BMRI, dan hal itu benar terjadi pada tahun 2017), tapi sejak 2015 lalu saya mulai lebih tertarik dengan BBNI ini, yakni setelah sahamnya drop dari 7,000-an hingga tinggal 4,000-an karena efek market crash ketika itu (pada tahun 2015, IHSG sempat anjlok 27%, sebelum naik lagi sehingga penurunannya menjadi total 12% pada akhir tahun), dan PBV-nya tinggal 1 koma sekian, yang tentu saja merupakan valuasi yang sangat rendah untuk ukuran saham bluechip berfundamental bagus. Anda bisa baca lagi ulasannya disini, ketika itu saya katakan bahwa sahamnya layak untuk investasi jangka panjang.

Unfortunately, per hari ini alias lima tahun kemudian, BBRI tetap lanjut naik banyak dari 1,700 (sudah disesuaikan stocksplit) di bulan September 2015, hingga sekarang tembus 4,700-an, tapi pada periode yang sama BBNI hanya naik sedikit saja dari 4,100 hingga 6,200. Malah jika kita lihat posisi harga BBNI pada akhir Januari 2021 kemarin, yakni 5,550, maka posisi tersebut hampir tidak berbeda dibanding posisinya pada Mei 2013 lalu, yakni 5,400. Sehingga bisa dibilang bahwa dalam tujuh tahun terakhir, saham BBNI ini jalan di tempat ketika dua anggota big four lainnya, yakni BBRI dan BBCA terus melesat menembus langit (untuk BMRI, sahamnya juga cuma naik sedikit sejak tahun 2013).

Valuasi BBNI: Murah!

Fakta diatas mungkin menimbulkan pertanyaan: Kenapa bisa demikian? Apa istimewanya BBRI dan BBCA sehingga dua ini naik jauh lebih tinggi dibanding BBNI (dan juga BMRI)? Nah, jawaban paling sederhana adalah itu tadi: Fundamental BBRI, bahkan hingga tahun 2020 kemarin, memang selalu lebih bagus dibanding BBNI dan juga BMRI. Sedangkan BBCA, meski kinerja keuangannya sebenarnya tidak sebaik BBRI, tapi sahamnya sangat populer di mata masyarakat umum (Bank BCA sejak dulu dikenal sebagai bank dengan pelayanan terbaik bagi para nasabahnya), dan market cap-nya juga paling besar di BEI. Sehingga kalau asing borong saham dimari, maka BBCA selalu menjadi pilihan pertama.

Tapi disisi lain, kinerja BBNI tentunya gak bisa disebut jelek juga, sehingga sahamnya tetap layak invest. Dan jangan salah: Pada tahun 2016 – 2017 lalu, ketika IHSG naik cukup signifikan hingga tembus 6,600-an untuk pertama kalinya pada awal tahun 2018, maka selama periode dua tahun tersebut, saham BBNI juga melesat dua kali lipat dari 5,000-an hingga sempat tembus 10,000! Alias lebih tinggi dibanding kenaikan tiga saham big four bank lainnya (pada periode yang sama, BBRI hanya naik 60%). Namun seiring dengan penurunan IHSG sejak saat itu, maka BBNI juga cenderung turun, bahkan hingga sempat sejenak tembus dibawah 3,000 secara intraday pada pada Mei 2020 lalu.

Dari fakta diatas, bisa kita lihat bahwa pergerakan BBNI sangat sensitif terhadap IHSG: Jika IHSG naik, maka BBNI naik lebih tinggi, tapi jika IHSG turun, maka BBNI juga turun lebih rendah. Dan diatas penulis katakan bahwa BBNI tidak banyak bergerak sejak Mei 2013, and guess what? Sebenarnya IHSG hingga hari ini juga hanya naik sedikit saja dari Mei 2013 tersebut, yakni dari 5,500-an sampai 6,000-an (malah baru saja Januari kemarin IHSG masih di 5,800-an). Dan jangan lupa bahwa sejak tahun 2013 sampai hari ini, BBNI rutin bayar dividen saban tahun, dimana totalnya mencapai Rp1,400 per saham diluar pajak (hingga pembayaran terakhir tahun 2020 lalu sebesar Rp206 per saham). Thus, jika seorang investor membeli BBNI, dan hanya beli BBNI ini saja pada Mei 2013 lalu di harga 5,400, lalu tetap di­hold sampai sekarang, maka per hari ini kinerja investasinya tetap diatas kinerja IHSG, alias beat the market.

Kemudian yang tentunya menarik adalah perkembangan ekuitas, laba serta dividen perusahaan. You see, kalau kita melihatnya dari sisi harga sahamnya, maka hasil investasi di saham BBNI tetap kurang memuaskan, karena hanya profit sedikit diatas IHSG bahkan setelah tujuh tahun. Tapi sekarang kita lihat lagi: Pada tahun 2013, BBNI mencatat ekuitas Rp47.6 trilyun, laba bersih Rp9.1 trilyun, dan dividen Rp113 per saham. Sedangkan pada tahun 2019, ekuitas tersebut sudah tumbuh menjadi Rp122.5 trilyun, laba bersih Rp15.4 trilyun, dan dividen Rp201 per saham.

Jadi itu artinya, dibanding tahun 2013 lalu, maka anda sekarang ini hanya perlu membayar harga yang sedikit lebih tinggi untuk membeli saham BBNI, tapi anda memperoleh ekuitas/aset bersih perusahaan yang dua kali lebih besar, laba bersih 50% lebih besar, dan dividen dua kali lebih besar! Dan memang pada harga saham 6,350, maka PBV BBNI hanya 1.1 kali, praktis paling murah diantara saham-saham bluechip lainnya, sedangkan BBNI ini, sekali lagi, fundamentalnya bagus dan tidak ada masalah apapun.

Oke Pak Teguh, tapi faktanya tetap saja kan di tahun 2020 kemarin laba BBNI anjlok? Jadi untuk tahun ini juga bisa dipastikan dividennya bakal drop, dan kita juga belum tahu apakah laba BBNI di tahun 2021 ini akan bisa naik lagi atau tidak? Nah, jadi apakah sahamnya tetap layak buy? Untuk itu mari kita cek lagi LK terbaru BBNI, dan akan langsung kelihatan bahwa penyebab utama penurunan labanya adalah melonjaknya cadangan kerugian penurunan nilai atau CKPN  dari Rp8.8 trilyun di tahun 2019, menjadi Rp22.6 trilyun di tahun 2020 (apa itu CKPN? Baca penjelasannya disini). Alhasil, rasio CKPN BBNI terhadap aset produktifnya juga naik signifikan menjadi 6.22%, lebih tinggi dibanding BBRI 5.42%, BMRI 5.36%, dan BBCA 2.78%.

Yang perlu dicatat disini adalah, besaran CKPN ini ditentukan oleh kebijakan manajemen. Atau dengan kata lain, jika manajemen BBNI tidak bersikap terlalu hati-hati, maka CKPN-nya juga tidak akan terlalu besar, dan labanya untuk tahun 2020 ini juga tidak akan turun terlalu dalam. Meski demikian, kehati-hatian ini menurunkan risiko terjadinya skenario terburuk bagi BBNI sebagai sebuah bank (yang kinerjanya berhubungan langsung dengan ekonomi makro nasional), bahkan jika resesi tahun 2020 lalu berlanjut di tahun 2021 ini. Dan faktanya ketika BBNI melakukan reformasi besar-besaran pada tahun 2008, maka salah satu strategi utamanya adalah dengan meningkatkan CKPN, sehingga memang sudah sejak tahun 2008 itulah rasio CKPN BBNI selalu tinggi, but still, itu tidak mencegah BBNI untuk tumbuh pesat sejak tahun 2008 tersebut sampai hari ini.

Dengan kata lain, jika kita melihatnya hingga katakanlah 5 tahun kedepan, maka penulis optimis bahwa BBNI akan bisa melanjutkan trend pertumbuhan pesatnya sejak tahun 2008 lalu, dimana ekuitas, laba, dan dividennya akan lanjut naik signifikan. Lalu sahamnya? Ya tinggal tunggu IHSG kembali rally saja seperti sebelum tahun 2018 lalu, maka saham BBNI juga akan melesat lebih kencang dibanding rival-rivalnya.

Hanya saja, jika yang terjadi adalah IHSG drop lagi, maka BBNI juga tetap akan ikut turun, dan bisa lumayan juga turunnya/lebih dalam dibanding penurunan IHSG itu sendiri. Sehingga jika anda tertarik dengan BBNI ini, maka berikut strateginya: Jadikan saham ini hanya untuk investasi jangka panjang, dan belilah secara menyicil, misalnya sebulan sekali sebanyak 10 lot (atau berapapun, sesuai dana yang anda rutin setor ke sekuritas), alias pakai metode DCA.  Sekarang kita lihat lagi: Sepanjang tahun 2020 lalu, BBNI, seperti juga saham-saham lain di BEI, mengalami fluktuasi yang amat sangat ekstrim dimana ia mencatat posisi tertinggi 7,925, dan posisi terendah 3,160, dan antara Maret – November posisi harganya selalu dibawah 5,000. Nah, jadi kalau anda misalnya menyicil beli BBNI ini setiap bulan di tahun 2020 tersebut, maka meskipun anda sempat nyangkut parah setelah membeli BBNI ini hingga tiga kali hingga bulan Maret (karena sebelum market crash di bulan Maret, posisi BBNI stabil diatas 7,000), tapi antara Maret – November, anda bisa beli BBNI ini lebih banyak pada harga yang jauh lebih rendah (average down), sehingga harga rata-rata modalnya juga harusnya turun menjadi 5,000-an, atau bahkan hanya 4,500-an.

Sehingga, ketika akhirnya BBNI naik ke level harga sekarang, maka posisi anda di BBNI sudah kembali cuan signifikan. Kondisinya bisa sangat berbeda jika anda hanya beli BBNI sekali saja secara sekaligus pada awal tahun 2020 lalu di harga 7,000-an, maka pada hari ini anda masih nyangkut karena BBNI juga masih di 6,000-an.

Nah, jadi untuk tahun 2021 ini juga sama: Anda jangan beli BBNI sekaligus, tapi nyicil saja katakanlah sebulan sekali. What? Anda hanya bisa beli sekali/tidak bisa beli secara nyicil karena anda juga tidak berniat untuk setor lagi ke sekuritas? Kalau gitu gunakan separuh dana untuk beli di harga sekarang, lalu separuh lagi tunggu perkembangan pasar. Ingat sekali lagi bahwa kita beli BBNI ini untuk long term, jadi belinya juga gak perlu buru-buru, melainkan kita bisa tunggu perkembangan pasarnya katakanlah hingga beberapa bulan kedepan, siapa tahu nanti bisa dapat sahamnya di harga terbaik (jangan lupa bahwa belum ada setahun lalu, BBNI pernah di 3,000 lho). Tapi jika BBNI ternyata naik lebih cepat, maka anda bisa gunakan sisa dananya untuk beli saham lain yang masih belum jalan. Therefore, it’s a win-win solution!

PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk (BBNI)
Rating Kinerja 2020: BBB
Rating valuasi saham pada 6,350: A

***

Live Webinar Value Investing, Sabtu 9 Maret 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

Komentar

Anonim mengatakan…
Bang bahas indofood dong
Anonim mengatakan…
Terima kasih insight-nya pak.
Anonim mengatakan…
kalau mau lebih murah lagi y GGRM pak....
Joni mengatakan…
Pak, tolong dibahas 2 bank juara 2021 : BANK & ARTO
Bagaimana ini market cap ARTO sudah lebih besar daripada BBNI
Terima kasih

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham