Berapa Persen Idealnya Kinerja Portofolio Saham Per Tahunnya?

Sebelum kita masuk ke topik sesuai judul diatas, yakni tentang berapa idealnya kinerja atau hasil profit investasi saham setiap tahunnya, maka pertama-tama kita bahas dulu tentang earnings alias pendapatan, dan costs alias biaya-biaya dalam berinvestasi di bursa saham. Simpelnya, katakanlah pada awal periode/awal tahun, nilai porto kita adalah Rp100 juta, yang setelah ditambah akumulasi pendapatan Rp25 juta, dikurangi akumulasi biaya Rp5 juta, maka pada akhir tahun, nilainya menjadi Rp120 juta. Maka dalam hal ini kinerja portolio anda adalah +20.0%.

***

Video Seminar Terbaru: Saham-Saham Turnaround, termasuk outlook untuk 2021. Info selengkapnya baca disini, dan alumni juga bisa ikut webinar (jadwal berikutnya Sabtu, 30 Januari 2021) secara gratis.

***

Okay, lalu apa saja poin-poin pendapatan itu tadi? Ada tiga poin: 1. Capital gain, 2. Dividen, dan 3. Bunga. Capital gain, atau keuntungan investasi, adalah keuntungan yang berasal dari kenaikan harga saham yang kita beli entah itu sudah direalisasikan/sahamnya sudah dijual kembali, atau masih floating/sahamnya masih di­-hold. Sedangkan dividen berasal dari pembayaran dividen yang dilakukan oleh perusahaan yang sahamnya kita pegang. Nilai dividen ini biasanya jauh lebih kecil dibanding capital gain, dan kalau anda kebetulan membeli saham dari perusahaan yang tidak membayar dividen, atau membayar dividen tapi anda tidak memegang sahamnya pada tanggal cum-nya, maka anda tidak akan memperoleh dividen tersebut. Tapi bagi investor dengan dana kelolaan yang besar, dimana mereka bisa hold saham yang sama selama bertahun-tahun, maka nilai dividen yang mereka terima pada akhirnya akan cukup besar dibanding dengan capital gain yang juga mereka peroleh.

Kemudian yang ketiga, bunga. Nah, ini mungkin belum banyak yang tahu, tapi jika anda pegang cash yang tidak atau belum dibelanjakan saham di rekening sekuritas anda, maka cash tersebut menerima bunga seperti layaknya tabungan di bank, yakni sebesar kurang lebih 2.0% per tahun, dibayarkan setiap bulan. Dan angka 2% ini actually cukup besar, dimana kalau nilai cashnya Rp100 juta, maka setelah 1 tahun anda akan terima total Rp2 juta dipotong pajak, meskipun gak beli saham apa-apa sama sekali.

Okay, itu adalah poin-poin pendapatan. Berikutnya, biaya, juga ada tiga poin: 1. Capital loss, 2. Biaya transaksi, dan 3. Pajak. Capital loss, atau kerugian investasi, adalah kebalikannya dari capital gain, dimana itu berasal dari penurunan harga saham yang kita beli entah itu sahamnya sudah dijual kembali, atau masih di-hold. Secara teori, kita tentu tidak berharap ataupun berencana untuk ‘membayar’ biaya dalam bentuk capital loss ini, dimana setiap saham yang kita beli adalah karena kita melihat bahwa harganya akan naik, cepat atau lambat.

Tapi pada prakteknya, dari katakanlah sepuluh saham yang kita beli, biasanya ada saja satu atau dua yang turun sendiri, entah itu karena memang kita salah analisa, terjadi force majeure yang menyebabkan perubahan fundamental pada perusahaan yang bersangkutan, atau IHSG-nya turun. Dan ini sebenarnya normal, dimana Warren Buffett sekalipun tidak mungkin selalu profit dari setiap keputusan investasi yang ia buat, dan berdasarkan pengalaman penulis sendiri sejak tahun 2010 sampai hari ini, maka saya belum pernah melewati satu tahun tertentu dimana semua saham yang kita beli menghasilkan keuntungan. Yup, tidak pernah! Melainkan selalu ada saja saham-saham yang kita beli yang pada akhirnya harus cut loss. Meski demikian, selama capital gain yang dihasilkan lebih besar dibanding capital loss ini, maka kinerja portofolio secara umum bisa tetap dikatakan bagus. Tapi intinya adalah, jika capital gain bisa kita sebut sebagai ‘pendapatan’ investasi, maka capital loss ini adalah ‘biaya’-nya, yang mau tidak mau harus kita bayar entah itu karena kesalahan dari pihak kita sendiri, atau memang karena dipaksa oleh keadaan (karena IHSG drop, dll).

Berikutnya, biaya transaksi, yang meliputi trading fee yang otomatis dibayarkan ke sekuritas, pajak PPN 10% atas trading fee tersebut, levy yang dibayarkan untuk tiga self-regulated organization di lingkungan bursa (KSEI, KPEI, dan BEI), dan pajak penjualan sebesar 0.1% dari nilai penjualan saham yang anda lakukan. Nilai total biaya transaksi ini bervariasi antara 0.10 – 0.35% dari nilai transaksi, per satu kali transaksi pembelian atau penjualan saham. Nah sekilas, bahkan kalaupun anda harus bayar total 0.60% (0.25% beli, 0.35% jual) untuk setiap transaksi beli-lalu-jual yang anda lakukan, maka angkanya tetap terlihat kecil. Kalau misalnya nilai transaksinya Rp1 juta, berarti total biaya transaksinya cuma Rp6,000, lebih murah dari harga meterai.

Tapi jangan lupa bahwa itu adalah biaya per satu kali transaksi. Jadi jika anda sangat aktif trading dimana dalam setahun anda bisa sampai 100 kali jual beli saham, maka biaya transaksinya yang Rp6,000 tadi tinggal dikalikan 100 saja. Semakin besar nilai transaksinya dalam Rupiah, maka semakin besar pula biayanya.

Lalu terakhir, pajak. Nah, sebenarnya sebagai investor saham, kita patut bangga karena kita sangat berkontribusi terhadap pembangunan negara, dimana kita secara rutin dan otomatis membayar empat jenis pajak (dua diantaranya sudah disebut diatas), yakni 1. PPN 10% atas trading fee, 2. Pajak penjualan sebesar 0.1% dari nilai penjualan saham, 3. PPh 10% atas dividen, jika anda memperoleh dividen, dan 4. PPh 20% atas bunga dari cash yang tidak/belum dibelikan saham. Dibanding capital loss ataupun biaya transaksi, maka beban pajak ini relatif tidak terlalu besar, dan kalau anda jarang trading maka anda juga tidak perlu membayar pajak penjualan dan PPN atas trading fee. Termasuk, meski mulai tahun 2021 nanti ada biaya tambahan berupa bea meterai per trade confirmation, tapi jika anda selama ini jarang trading, maka dalam hal ini biaya investasi anda secara keseluruhan hanya naik sedikit saja (misalnya seperti penulis yang rata-rata transaksi 3 – 4 kali dalam sebulan, maka bea meterainya juga hanya Rp40,000). Meski demikian jika nilai portofolio anda cukup besar, maka pajak ini juga mungkin akan cukup besar dari sisi nilai Rupiah, dan sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kinerja portofolio secara keseluruhan.

Besar Pasak Daripada Tiang?

Nah, setelah membaca uraian diatas, maka sekarang anda mengerti bahwa pekerjaan utama investor itu ada dua: 1. Meraih profit/pendapatan, dan di waktu yang bersamaan 2. Meminimalisir kerugian/biaya-biaya. Investor pemula biasanya belum menyadari tentang pentingnya pekerjaan No.2 ini, dan hanya fokus pada upaya meraih profit sebesar-besarnya. Padahal seperti yang sudah sering penulis sampaikan, seperti analogi pertandingan sepakbola, jika tim kita bisa mencetak 3 gol tapi disisi lain gawang kita kebobolan 4 kali, maka hasilnya kita tetap akan kalah.

Dan karena itulah pekerjaan berinvestasi di saham, meski saya tidak menyebutnya sulit, tapi juga tidak semudah kelihatannya. Betul ketika pasar bullish dan IHSG naik, maka beli saham apa saja hasilnya untung, dan dalam kondisi seperti itu maka sepertinya investasi saham itu mudah sekali, termasuk meraih profit 100% dari saham tertentu juga tampak biasa saja. Tapi jangan lupa bahwa pasar tidak akan bullish selamanya, melainkan nanti akan ada waktunya dia bearish lagi, dan ketika itulah kita harus fokus untuk meminimalisir komponen biaya terbesar, yakni capital loss (penurunan saham yang sedang dipegang, meskipun posisinya masih floating profit, juga bisa dihitung sebagai capital loss, karena dalam hal ini ada sebagian capital gain yang hilang). Jangan lupa pula bahwa entah itu IHSG sedang naik atau turun, dan entah anda jual saham dalam posisi profit taking atau cut loss, maka trading fee termasuk pajak penjualan tetap harus dibayar setiap kali anda melakukan transaksi, dan akumulasinya bisa sangat besar jika anda sering melakukan transaksi tersebut. Sehingga bagi anda yang trader aktif/harian, maka hal ini sangat-sangat perlu diperhatikan, agar kondisinya tidak jadi lebih besar pasak daripada tiang.

Kemudian ketika menghitung kinerja porto pada akhir tahun, maka seperti pernah penulis bahas disini, jangan lupa untuk menghitung juga posisi cash, jadi jangan hanya melihat persentase kenaikan dari saham-saham yang dipegang. Dan semakin besar dana yang kita kelola, maka semakin sulit untuk menerapkan diversifikasi, average up/down, dst. Sehingga jika anda pegang misalnya Rp1 milyar atau Rp10 milyar, maka hampir pasti kinerja investasi anda dari sisi persentase profit akan lebih rendah dibanding investor lain yang hanya pegang Rp100 juta, atau Rp10 juta (penjelasannya baca disini). Terakhir, tekanan psikologis, termasuk timbulnya greed and fear juga bisa membuat seorang investor melakukan kesalahan yang pada akhirnya menyebabkan kerugian yang sebenarnya tidak perlu, tapi itu tetap menurunkan kinerja investasi secara keseluruhan. Dan meski anda mungkin berpikir bahwa tekanan psikologis, panik seperti itu hanya dialami oleh pemula, tapi sebenarnya investor berpengalaman juga terus mengalaminya. Penjelasannya bisa dibaca disini.

Demikian seterusnya. Nah, jadi balik lagi ke pertanyaan diatas, berapa persen sebaiknya kinerja portofolio saham setiap tahunnya? Maka jawabannya adalah, yang penting diatas kenaikan IHSG dalam tahun yang sama, alias beat the market. Semakin besar selisihnya, semakin baik. Artinya jika pada tahun tertentu IHSG turun, dan memang dalam satu dekade terakhir ini IHSG cukup sering turun (tahun 2013, 2015, 2018, dan 2020), maka jika pada tahun-tahun tersebut anda masih profit barang 5% saja, maka itu sudah merupakan kinerja investasi yang sangat bagus! Dan actually itulah target yang dicanangkan oleh semua investor profesional di seluruh dunia setiap tahunnya: Beat the market. Konsep ‘beat the market’ ini mungkin sulit dipahami oleh pemula yang melihat temannya kok gampang saja cuan 100 – 200% dari ‘saham-saham terbang’, dan bahkan itupun gak perlu menunggu sampai setahun, melainkan hanya beberapa bulan atau lebih singkat lagi.

Tapi jika memang investasi saham semudah itu, dan jika IHSG selalu bullish terus tanpa pernah turun apalagi crash, dan setiap saham yang kita beli juga pasti bakal naik, maka kenapa para fund manager yang hebat-hebat itu di Jiwasraya, yang tentunya sudah berpengalaman puluhan tahun di pasar modal, malah melakukan trik-trik manipulasi tertentu agar investasi saham yang mereka lakukan tampak profit, padahal sebenarnya rugi gila-gilaan?? Dan hal itu pada akhirnya merugikan para nasabahnya dengan nilai kerugian entah berapa puluh trilyun Rupiah. Kemudian lihat reksadana: Sepanjang tahun 2020 ini, IHSG ditutup turun -5.1%. Namun seperti yang bisa anda lihat disini, maka kinerja reksadana-reksadana saham di sepanjang tahun 2020 ini, meski ada juga yang profit, tapi jauh lebih banyak yang rugi, dan dengan kerugian yang juga lebih besar dibanding penurunan IHSG. Padahal ingat sekali lagi bahwa reksadana-reksadana ini dikelola oleh fund manager profesional dan berpengalaman, yang tentunya sudah sangat hafal diluar kepala tentang apa itu PER, PBV, ROE, dst. Terakhir, jika anda lihat statistik BEI, maka kelihatan bahwa dari 25 indeks non-sektoral yang ada di bursa (indeks LQ45, IDX30, IDX80, Jakarta Islamic Index, dst), maka 15 diantaranya ditutup negatif dengan penurunan yang lebih besar dibanding penurunan IHSG di sepanjang tahun 2020 ini (-5.1%), dan hanya ada 5 indeks yang ditutup hijau/positif, itupun angkanya tidak besar/paling tinggi hanya +6.0%.

Perkembangan kinerja indeks reksadana saham sepanjang tahun 2020. Secara keseluruhan berdasarkan indeks, maka reksadana saham membukukan rata-rata kinerja -8.2% di tahun 2020. Sumber: Bareksa.com


Sehingga kesimpulannya, bahkan untuk sekedar beat the market saja saban tahunnya, maka itu tidak semudah kelihatannya, terutama sekali lagi jika kita mengambil sudut pandang fund manager profesional dengan dana kelolaan yang tidak lagi hanya sepuluh atau dua puluh juta Rupiah, selain karena kita tidak mungkin selalu profit dari setiap keputusan investasi yang dibuat, melainkan sedikit banyak kita juga pasti akan loss dari saham-saham tertentu (dan itu juga harus dihitung sebagai kinerja portofolio, jadi gak bisa cuma hitung profitnya saja!). Saking tidak mudahnya, maka bahkan kalaupun anda gagal beat the market pada tahun-tahun tertentu, tapi setelah dirata-ratakan selama 10 atau 20 tahun terakhir hasilnya tetap diatas IHSG, maka itu tetap merupakan pencapaian yang sangat baik. William J. Ruane, sahabat dari Warren Buffett, adalah satu-satunya fund manager yang direkomendasikan oleh Buffett kepada para partner-nya ketika ia menutup partnership-nya pada tahun 1969, dan Ruane kemudian mengelola Sequoia Fund antara tahun 1970 sampai dengan 1984 dengan hasil yang tidak mengecewakan, dimana Sequoia mencatat rata-rata kinerja +17.2% per tahun, berbanding rata-rata kenaikan indeks S&P500 sebesar +10.0% per tahun pada rentang waktu yang sama. Tapi selama 15 tahun tersebut, Ruane gagal beat the market sampai 6 kali, termasuk rugi -24.0% ketika S&P500 hanya turun -14.8% di tahun 1973, dan hanya 9 kali Sequoia menghasilkan kinerja tahunan yang lebih baik dibanding S&P500.

Okey Pak Teguh, tapi ada nggak sih target profit yang realistis secara angka persentasenya berapa gitu? Nah, setelah membaca banyak sekali tulisan Warren Buffett di annual letter-nya, dan mempelajari pergerakan IHSG itu sendiri sejak IHSG pertama kali diluncurkan pada tahun 1982, maka dengan asumsi IHSG rata-rata naik 10% per tahun dalam jangka panjaaaaaaaang, maka saya mentargetkan rata-rata profit 20 – 25% per tahun. That means, jika pada tahun tertentu dimana IHSG crash dan kita di tahun tersebut tidak profit, atau bahkan rugi -5% atau -10%, tapi jika setelah katakanlah 10 tahun rata-ratanya mencapai 20% per tahun, maka itu sudah sesuai target. Karena ingat bahwa diluar tahun-tahun dimana IHSG turun atau crash, maka akan ada juga tahun-tahun dimana IHSG naik banyak, sehingga pada tahun-tahun itulah kita tentunya akan bisa profit lebih besar dari sekedar 20%, untuk mengimbangi kinerja yang minus pada tahun-tahun dimana IHSG turun.

Dan sekali lagi, jika setelah dirata-ratakan hasilnya mencapai 20 – 25% per tahun, maka anda sudah bisa dikatakan sukses sebagai investor. Target 20 – 25% per tahun ini mungkin terdengar terlalu ‘merendah’ ketika pasar sedang bullish seperti sekarang. Tapi faktanya pada Maret 2020 lalu ketika IHSG crash hampir 40%, dan hampir semua investor saham di BEI (termasuk penulis) merugi hingga separuh nilai portofolionya, maka ketika penulis ditanya bagaimana targetnya dalam jangka panjang, jawaban saya ketika itu tetap sama yakni rata-rata 20 – 25% per tahun, dan saya katakan bahwa itu target yang realistis/tidak berlebihan. Karena pasar juga tidak akan selamanya turun, ekonomi tidak akan selamanya resesi, melainkan nanti akan ada waktunya ekonomi pulih, dan IHSG naik lagi.

Dan sebagai penutup, jangan pula anggap bahwa profit 20% per tahun itu kecil, karena jika anda bisa konsisten profit segitu setiap tahunnya selama 10 atau 20 tahun, maka hasilnya akan sangat besar! Yakni karena efek compounding, atau bahasa Indonesianya ‘bunga berbunga’, atau bunga majemuk. Soal ini penulis tidak akan menjelaskannya lebih lanjut (karena saya sudah membahasnya lengkap di buku), tapi silahkan temen-temen yang sudah ikut blog ini katakanlah sejak tahun 2014 lalu atau lebih lama lagi, untuk menulis pengalamannya terkait efek compounding ini di kolom komentar dibawah.

***

Video Seminar Terbaru: Saham-Saham Turnaround, termasuk Outlook untuk tahun 2021. Info selengkapnya baca disini, dan alumni juga bisa ikut webinar (jadwal berikutnya Sabtu, 30 Januari 2021) secara gratis.

Komentar

Toni mengatakan…
terima kasih pak TH,
artikel yang sungguh bijak dan mencerahakan di tengah hiruk pikuk "investor" pemula yang dengan mudahnya membeli saham tanpa melakukan analisa dan hanya mengandalkan grup messenger dan bahkan influencer,

jika boleh menambahakan,
ada satu lagi faktor yang belum masuk dalam hitung-hitungan di artikel bapak dan relatif sering terlupakan, yaitu inflasi sang vampir ekonomi :D

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia