Pendapat Saya Tentang Bea Meterai Rp10,000

Halo Pak Teguh, bisa tolong jelaskan tentang bea meterai Rp10,000 atas transaksi saham, yang disebutkan akan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Maret 2022?

Jadi, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 134 Tahun 2021, disebutkan bahwa dokumen Trade Confirmation (TC), yakni file PDF berisi informasi seluruh jual beli saham yang dilakukan nasabah dalam satu hari tertentu, yang dikirim oleh pihak sekuritas ke pihak nasabah via email pada sore atau malam hari setelah pasar tutup, itu akan dikenakan biaya bea meterai Rp10,000. Sehingga selain membayar trading fee, levy, dan pajak penjualan saham, maka investor/trader saham juga akan secara otomatis membayar bea meterai, setiap kali melakukan transaksi jual dan/atau beli saham. Bea meterai ini berlaku untuk TC berisi informasi transaksi senilai total Rp10 juta atau lebih. Jadi misalnya anda beli saham senilai Rp5 juta, lalu dijual di hari yang sama dalam posisi profit senilai Rp5.5 juta, sehingga nilai total transaksinya Rp10.5 juta. Maka untuk hari itu anda akan menerima TC yang dikenakan meterai Rp10,000. Sedangkan jika anda membeli saham senilai Rp5 juta, lalu baru jual besoknya, maka anda akan menerima dua dokumen TC dalam dua hari, dan dua-duanya tidak dikenakan meterai.

Anda bilang bahwa penerapan batas nilai transaksi Rp10 juta itu terlalu rendah, minimalnya Rp100 juta. Bisa dijelaskan alasannya Pak?

Karena TC itu dikirim setiap hari jika pada hari tersebut ada transaksi, maka jika seorang trader melakukan jual beli saham senilai Rp10 juta atau lebih setiap hari, maka dia akan membayar Rp10,000 per hari, Rp200,000 per bulan, dan Rp2.4 juta per tahun. Nah, bayangkan jika Anda trader dengan modal Rp10 juta, 20 juta, 30 juta, Anda harus keluar sampai Rp2.4 juta per tahun untuk bea meterai saja, dan ingat itu belum termasuk trading fee, levy, dan pajak. Maka si trader harus profit berapa juta Rupiah hanya untuk menutup biaya-biaya itu saja? Beda ceritanya untuk trader dengan modal ratusan juta Rupiah, milyaran Rupiah atau lebih besar lagi, maka bea meterai sebesar Rp1 – 2 juta setahun tidak akan terasa karena trading fee-nya jauh lebih besar dari itu. Sebagai contoh, pada dokumen TC dibawah ini disebutkan bahwa seorang investor dalam satu hari tertentu membeli dua saham senilai total Rp57 juta, dan menjual satu saham lainnya juga senilai Rp57 juta, sehingga totalnya Rp114 juta. Maka untuk biaya komisi trading fee, PPn, pajak penjualan, hingga levy, totalnya Rp285,000. Jadi jika kesemua biaya itu ditambah lagi biaya meterai Rp10,000, maka totalnya hanya berubah sedikit saja menjadi Rp295,000.

Tampilan confirmation note atau trade confirmation, biaya-biaya transaksi ditandai kotak warna hijau, yang nantinya ditambah lagi biaya meterai Rp10,000. Klik gambar untuk memperbesar


Tapi sekarang anggaplah ada investor lain yang nilai transaksinya sepersepuluh nilai transaksi di atas, alias Rp11.4 juta, sehingga trading fee-nya Rp28,500. Maka dengan adanya bea meterai Rp10,000, total biayanya lompat menjadi Rp38,500.

Sehingga penerapan bea meterai ini jelas tidak adil bagi investor dengan dana terbatas, karena berbeda dengan trading fee yang nilainya naik dan turun menyesuaikan dengan nilai trading itu sendiri, maka untuk meterai ini nilainya tetap Rp10,000, tak peduli tradingnya Rp10 juta atau Rp10 milyar. Memang kemarin salah seorang petinggi BEI mengatakan bahwa sekitar 50% trader saham sekarang ini modalnya kurang dari Rp10 juta, sehingga mereka gak perlu khawatir soal meterai ini. Tapi sekarang coba pikir: Investor dengan modal dibawah Rp10 juta ini pastinya karena mereka masih belajar dan masih coba-coba, dimana kedepannya seiring dengan meningkatnya pengetahuan, mereka akan setor lagi sehingga modalnya menjadi lebih besar. Tapi dengan adanya peraturan bea meterai ini, bukankah itu justru akan membuat para ritel kecil ini jadi tidak mau menyetor lagi untuk menambah modalnya? Dan kalau demikian maka pasar saham kita akan sulit bertumbuh, tentu saja.

Tapi ada yang bilang bahwa penerapan meterai ini agar investor saham benar-benar menjadi investor, yang membeli saham lalu hold saja, dan tidak lagi terjebak spekulasi trading harian. Karena bea meterai itu kan hanya harus dibayar jika nasabah melakukan trading. Menurut Pak Teguh?

Itu cuma alasan yang dibuat-buat. Sama seperti ketika Pemerintah rutin menaikkan cukai rokok setiap tahun, maka dikatakan bahwa itu bertujuan untuk menurunkan konsumsi rokok masyarakat, karena rokok ini (dianggap) merusak kesehatan. Tapi jika benar itu alasannya, maka tarif cukai akan ditetapkan pada level tertentu yang cukup tinggi sehingga harga rokok menjadi mahal dan tidak lagi terjangkau oleh masyarakat. Sedangkan seperti yang kita bisa lihat sendiri, harga rokok tetap terjangkau termasuk oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah, dan memang tingkat konsumsinya tidak pernah benar-benar turun.

Jadi sebenarnya, kenaikan cukai rokok itu sudah didesain sedemikian rupa agar penjualan rokok tidak sampai turun karenanya, sehingga tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara tercapai. Karena percuma saja kalau tarif cukai naik tapi penjualan rokok turun, maka penerimaan negara akan ikut turun. Untuk bea meterai transaksi saham ini juga saya lihat sama begitu, dimana batas transaksi yang Rp10 juta itu memang disengaja agar pendapatan negara menjadi maksimal, karena kalau lebih rendah dari itu maka jelas itu akan bikin pasar jadi sepi/akan ada banyak trader yang stop trading saham sama sekali (karena seperti disebut di atas, 50% trader saham modalnya kurang dari Rp10 juta). Sedangkan kalau batas transaksinya Rp100 juta maka pendapatan dari bea meterai ini juga sama tidak akan maksimal, karena investor dengan modal sebesar itu jumlahnya tidak banyak.

Yang juga saya sayangkan, penerapan bea meterai ini tidak diiringi dengan adanya keuntungan, manfaat, atau fasilitas baru tertentu yang diterima investor, dimana investor sekarang keluar biaya lebih besar untuk trading, tapi mereka tidak mendapat imbal balik apapun. Saya akan mendukung penerapan bea meterai jika itu diiringi dengan adanya semacam jaminan dari otoritas bursa bahwa pasar saham kita akan lebih aman dari praktek manipulasi para bandar dan influencer tukang pompom itu, misalnya, tapi sayangnya itu tidak ada. Jadi ini seperti kita sekarang harus bayar parkir Rp10,000 tiap kali mampir ke Alfamart, tapi kalau motor kita hilang atau kenapa-napa maka si tukang parkir gak akan tanggung jawab, sama sekali.

Bagaimana kira-kira dampak penerapan bea meterai ini terhadap pasar saham itu sendiri?

Ada kemungkinan pasar akan sepi, nilai transaksi akan turun tidak hanya karena para trader jadi enggan bertransaksi, tapi juga karena masih banyak diantara mereka yang belum sepenuhnya paham soal bea meterai ini. Dan kalau pasar saham sepi maka ada kemungkinan IHSG jadi turun. Maka dalam hal ini tidak hanya investor dan trader saham, tapi para sekuritas anggota bursa dan otoritas juga akan dirugikan.

Solusinya agar tidak terjadi seperti diatas?

Ya itu tadi, batas nilai transaksinya dinaikkan menjadi Rp100 juta, atau minimal Rp50 juta. Atau bea meterai-nya yang diturunkan menjadi Rp5,000 per TC. Intinya sih, saya mengerti bahwa tugas Kemenkeu dalam hal ini, seperti yang sudah diilustrasikan dengan cukai rokok di atas, adalah untuk memaksimalkan penerimaan negara. Tapi jumlah investor kita baru 6 jutaan dan baru mulai bertambah signifikan dalam 2 – 3 tahun terakhir, jauh dibawah jumlah perokok yang mencapai 70 – 80 juta jiwa di seluruh Indonesia. Sehingga jika cukai rokok naik dan imbasnya harga jual rokok itu sendiri naik, dan jumlah perokok kemudian berkurang, maka sisanya masih banyak. Tapi jika jumlah investor kita turun lagi menjadi 5 atau 4 juta karena bea meterai ini, maka jelas itu sebuah kemunduran besar.

Kemudian yang juga saya khawatirkan, kita tahu bahwa sekarang ini instrumen investasi/trading tidak hanya saham Indonesia, tapi juga ada saham luar negeri, crypto, logam mulia, forex dll, termasuk yang sudah dinyatakan ilegal seperti Binomo. Nah, jadi bagaimana jika karena penerapan bea meterai ini, para trader jadinya kemudian pindah ke instrumen-instrumen tersebut termasuk yang sebenarnya merupakan penipuan? Apa itu gak bikin pasar keuangan tambah kacau jadinya? Memang betul Binomo sudah diilegalkan, termasuk salah satu afiliatornya Indra Kenz, juga sudah dijadikan tersangka dan alhasil yang bersangkutan sudah tidak bisa cari korban baru lagi. Tapi sejarah membuktikan bahwa permainan judi, skema ponzi atau apapun itu yang menawarkan skema cepat kaya, pada akhirnya akan selalu muncul lagi namun dengan modus yang berbeda. Dan kita tentu tidak bisa menyalahkan para trader itu sendiri kalau mereka jadinya memilih untuk main spekulasi gak jelas seperti itu, jika untuk trading saham itu sendiri dipersulit.

Anyway, tolong bantu share agar tulisan ini sampai ke Pemerintah sebagai pihak yang membuat kebijakan.

***

Ebook Market Planning (EMP) edisi Maret 2022 berisi update analisa pasar/IHSG, rekomendasi saham bulanan, dan info jual beli saham, sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Kuartal IV 2021 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan via email

Komentar

MFTKIA mengatakan…
Mantap Pak Teguh, senang dengan tulisan² Anda. Semoga pemerintah bisa sedikit memberi keringanan akan hal ini.
Charley mengatakan…
Mending di terapkan dgn tegas aturan yg saham delisting harus di buyback oleh emiten. Jgn hanya macan ompong saja aturan ini.
Anonim mengatakan…
WOWW WOWWW WOWWWW

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia