Perusahaan Gas Negara (PGAS): Prospek Jangka Panjang

Warren Buffett pernah mengatakan bahwa ia menyukai perusahaan yang seperti kastil dengan ‘unbreachable moat’ di sekelilingnya, sehingga perusahaan itu sulit untuk dikalahkan oleh para kompetitornya. Yang dimaksud moat tersebut adalah, salah satunya, jenis bisnis yang sulit untuk ditiru oleh perusahaan lain (high barriers to entry), sehingga perusahaan yang bermain di bisnis tersebut bisa terus leluasa menghasilkan keuntungan tanpa perlu khawatir akan kompetisi.

***

Ebook Market Planning (EMP) edisi Maret 2022 berisi update analisa pasar/IHSG, rekomendasi saham bulanan, dan info jual beli saham, sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.

***

Dan salah satu bisnis tersebut adalah distribusi dan transmisi gas. You see, gas alam adalah sumber energi yang relatif lebih bersih dibanding minyak atau batubara, dan beberapa jenis industri seperti peleburan baja juga hanya bisa menggunakan gas (atau metallurgical coal, tapi bukan thermal coal) sebagai bahan bakar. Namun harganya juga lebih tinggi, karena memang untuk memproses, menyimpan, dan menyalurkan gas ini perlu infrastruktur pipa dll yang biaya pembangunannya sangat mahal. Inilah kenapa gas alam biasanya hanya digunakan di negara-negara maju.

Meski demikian Indonesia bukannya tidak memiliki jaringan pipa untuk distribusi gas, sehingga produksi gas di dalam negeri juga bisa digunakan dalam skala besar untuk keperluan industri, termasuk untuk pembangkit listrik. Dan perusahaan terbesar, atau bisa dibilang monopoli di bidang ini adalah PT Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGAS). Dikatakan monopoli, karena per akhir tahun 2020, PGAS menguasai 92.3% pangsa pasar distribusi gas niaga di Indonesia. Dan PGAS bisa monopoli seperti itu karena, seperti disebut diatas, sangat sulit bagi perusahaan lain untuk masuk di industri distribusi gas ini, karena butuh investasi yang sangat tinggi, serta waktu break even yang juga sangat panjang karena ketika sebuah perusahaan membangun jaringan pipa gas sepanjang sekian ratus kilometer, maka konstruksinya akan butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa selesai dan mulai beroperasi. Thus, PGAS dalam hal ini memiliki ‘unbreachable moat’.

And thanks to monopolinya tersebut, maka PGAS di masa lalu menikmati keuntungan yang sangat besar, dimana sampai dengan sekitar tahun 2013, perusahaan adalah satu dari sedikit BUMN yang menghasilkan return on equity konsisten diatas 20% per tahun, dan membayar dividen yang juga besar. Pada tahun 2013, PGAS menghasilkan rekor laba bersih $838 juta, berbanding ekuitas $2.7 milyar. Namun mulai tahun 2013 tersebut, manajemen PGAS memutuskan untuk diversifikasi dengan juga masuk ke bisnis hulu gas, dimana melalui anak usahanya, PT Saka Energi Indonesia, PGAS mengakuisisi kepemilikan di beberapa blok migas baik itu di Indonesia dan juga luar negeri. Jadi sejak tahun 2013, PGAS tidak lagi fokus di distribusi gas, tapi juga produksi gas, yang sayangnya justru menghasilkan kerugian, yang mungkin karena untuk produksi gas ini maka PGAS harus banyak bersaing dengan perusahaan-perusahaan migas lain termasuk yang lebih besar (seperti Pertamina, Chevron, etc). 

Hasilnya pada tahun 2014, laba bersih PGAS mulai turun ke $711 juta. Dan karena di tahun-tahun berikutnya PT Saka terus merugi, maka laba PGAS terus turun hingga hanya $113 juta pada tahun 2019, dan rugi $217 juta di tahun 2020. Sedangkan sahamnya? Juga turun dari 6,000-an hingga sempat menyentuh 700 pada market crash bulan Maret 2020 lalu, sebelum kemudian naik lagi ke posisi sekarang yaki Rp1,200 per share.

Namun terlepas dari kerugian yang dialami PT Saka, sebenarnya dari usaha distribusi gas-nya, PGAS masih profit cukup besar. Sehingga pada tahun 2018, Pemerintah sebagai pemegang saham pengendali di PGAS memutuskan bahwa PGAS harus kembali fokus ke distribusi gas. Pertama-tama, saham PGAS diambil alih oleh Pertamina, BUMN lainnya yang juga bergerak di bidang migas, yang ukurannya jauh lebih besar. Kemudian anak usaha Pertamina di bidang distribusi gas yakni Pertagas, diakuisisi oleh PGAS. Untuk PT Saka sendiri masih dimiliki oleh PGAS, dan masih berkontribusi secara negatif terhadap kinerja perusahaan, namun sudah tidak dikembangkan lagi, dan sejak 2018 tersebut manajemen PGAS kembali fokus untuk mengembangkan usaha distribusi gas, dengan membangun jaringan pipa baru dll. Hasilnya, panjang pipa gas milik PGAS yang tercatat 7,453 KM di tahun 2017, atau hanya bertambah sedikit dari 6,014 KM di tahun 2013, pada tahun 2020 bertambah signifikan menjadi 10,688 KM. Untuk kedepannya jaringan pipa ini akan kembali bertambah karena ketika artikel ini ditulis, PGAS sedang membangun sejumlah jaringan pipa baru di sejumlah lokasi produksi migas seperti Dumai (Riau), Balongan (Jawa Barat), Cilacap (Jawa Tengah), dan Balikpapan (Kalimantan Timur). PGAS juga membangun fasilitas distribusi gas untuk sejumlah pembangkit listrik di Kawasan Indonesia Tengah dan Timur, dengan total kapasitas produksi 1.8 Gigawatt. Dan terakhir, Pemerintah mulai tahun 2021 ini mulai membangun jaringan pipa gas perkotaan (city gas project) untuk pelanggan rumah tangga di 21 kota dari Sumatera hingga Sulawesi menggunakan dana APBN, dimana PGAS sebagai perusahaan terbesar di bidang distribusi gas, memiliki peluang terbesar untuk memenangkan tender proyeknya.

Sedangkan untuk proyek produksi gasnya? Sudah tidak ada pengembangan apa-apa lagi. Dan hasilnya, sampai dengan kuartal ketiga 2021, PGAS membukukan laba bersih disetahunkan $382 juta. Memang masih jauh dibanding rekor labanya di tahun 2013 sebesar $838 juta, tapi sekarang laba tersebut sudah kembali naik dari sebelumnya turun terus, dan prospek kedepannya juga cerah seiring dengan kembali fokusnya perusahaan ke bisnis distribusi gas. Ingat pula bahwa, berbeda dengan kota-kota besar dunia seperti New York, London, dan Tokyo, dimana hampir semua rumah tangga disana sudah memiliki gas yang terhubung oleh pipa-pipa, maka untuk rumah-rumah di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, masih sangat sedikit yang sudah terhubung dengan pipa gas. Sehingga city gas project ini memiliki potensi pertumbuhan yang luar biasa dalam jangka panjang.

Dan yang menarik adalah harga sahamnya: Pada tahun 2013, PGAS berada di Rp6,000 per share. Dan sekarang? Hanya Rp1,300 per share, yang mencerminkan PBV 0.9 kali, dan PER 5.8 kali. Sedangkan seperti disebut diatas, hari ini PGAS sudah jauh lebih besar dibanding tahun 2013 lalu (dari sisi jumlah panjang pipa gas, dan juga jumlah pelanggan dan volume gas yang didistribusikan), sedangkan prospeknya juga lebih cerah karena sekarang manajemen sudah kembali fokus ke bisnis distribusi gas yang memang menguntungkan. Dan jangan lupa bahwa gas alam relatif lebih bersih dibanding bahan bakar fosil lainnya, sehingga sesuai dengan konsep ESG (environmental, social, governance). Sehingga dalam jangka panjang, saya percaya bahwa PGAS pada akhirnya nanti akan membukukan rekor laba bersih kembali. Sedangkan sahamnya? Well, mari kita lihat apakah dia bisa kembali lagi ke 5,000 – 6,000, dalam 1 atau 2 tahun kedepan.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Kuartal IV 2021 sudah terbit, dan bisa langsung dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan via email

Komentar

christian mengatakan…
lah profitnya pgas dikasihin ke arna ... jadi pgas rugi krn mesti nanggung subsidi gas .. piye... :D

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia