Dua Tahun Ini Saham Batubara Naik Semua, Kenapa Bumi Resources (BUMI) Disitu-situ Saja?

Jadi ceritanya begini. Pada tahun 2011 lalu ketika harga batubara naik tinggi, saham BUMI juga naik sampai 3,600, sebelum kemudian turun dan mati di gocap. Tahun 2017 batubara booming sekali lagi, dan saham BUMI juga bangkit dan naik sampai 500. Nah, sebenarnya secara operasional, anak-anak usaha BUMI terus berkembang sejak tahun 2011 lalu hingga sekarang anak usaha terbesarnya, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), sudah memproduksi lebih dari 100 juta ton batubara per tahun, yang merupakan angka produksi terbesar di Indonesia.

Namun disisi lain kondisi keuangan BUMI terus memburuk terutama karena utang perusahaan yang kelewat besar. Pada tahun 2011, BUMI membukukan laba $215 juta, cukup besar berbanding ekuitasnya ketika itu $1.1 miliar. Tapi ketika setelah itu harga batubara turun maka perusahaan langsung merugi gila-gilaan terutama untuk bayar bunga utangnya, karena total kewajibannya sejak awal mencapai $6 - 7 miliar, dan sebagian diantaranya mengandung bunga sangat tinggi hingga 19% per tahun. Hasilnya ekuitas BUMI sudah menjadi negatif (baca: kewajibannya sudah lebih besar dibanding utang-utangnya, sehingga BUMI secara teknis sudah bangkrut) pada tahun 2013. Pada tahun 2016 - 2017, harga batubara kembali naik dan perusahaan kembali menghasilkan laba masing-masing $120 dan $242 juta, tapi ekuitasnya yang sudah negatif tidak langsung berbalik menjadi positif lagi karena labanya tersebut, karena laba segitu masih terlalu kecil dibanding ekuitas negatifnya yang mencapai lebih dari $2 miliar.

Meski demikian, ketika itu saham BUMI tetap naik sampai menyentuh 500 karena Grup Bakrie sebagai pemiliknya sukses melakukan restrukturisasi utang dengan right issue, memperpanjang waktu jatuh tempo utang, menerbitkan obligasi wajib konversi (OWK), dan menjual saham di beberapa anak usahanya baik seluruhnya maupun sebagian, salah satunya saham KPC yang sekarang tidak lagi dikuasai BUMI, melainkan dimiliki 50 : 50 dengan CIC (China Investment Corporation), salah satu kreditor BUMI. Alhasil sahamnya naik karena investor berpikir bahwa pasca restrukturisasi, maka masalah utangnya sudah beres dan ekuitas BUMI akan menjadi positif lagi. Analisa terkait restrukturisasi utang BUMI bisa dibaca lagi disini, dan disini.

Tapi ternyata pada tahun 2017 ketika restrukturisasinya akhirnya tuntas, ekuitas BUMI hanya membaik dari minus $2.7 miliar menjadi minus $437 juta, tapi yang jelas angkanya masih minus, dan inilah kenapa sahamnya kemudian turun lagi. Disisi lain KPC tidak lagi dianggap sebagai anak usaha BUMI, melainkan hanya entitas asosiasi. Atau dengan kata lain, sebesar apapun laba KPC, tapi laba itu tidak bisa langsung diakui sebagai laba BUMI, karena ada kepemilikan CIC yang juga dominan disitu, dan kendali atas KPC juga tidak lagi dipegang sepenuhnya oleh BUMI/Grup Bakrie, melainkan CIC juga ikut mengendalikan. Ini menjelaskan kenapa laba BUMI pada Q1 2022 barusan hanya $43 juta, atau lebih rendah dibanding labanya di tahun 2011 dan 2017, meskipun harga batubara sekarang ini sudah jauh lebih tinggi dibanding 2011 maupun 2017.

Kemudian yang juga penting, pada tahun 2011, jumlah saham beredar BUMI hanya 19.2 miliar lembar. Tahun 2013, BUMI menerbitkan saham baru untuk membayar sebagian utangnya ketika itu sehingga jumlah sahamnya bertambah jadi 20.8 miliar lembar. Tahun 2017, BUMI dua kali right issue untuk restrukturisasi utang sehingga jumlah sahamnya menjadi 65.5 lembar. Kemudian sejak tahun 2018 lalu sampai tahun 2022 ini, pemegang OWK di BUMI mengkonversi OWK-nya menjadi saham BUMI, sehingga saham BUMI bertambah lagi menjadi terakhir 115.3 miliar lembar.

Jadi bahkan dengan asumsi nilai ekuitas dan laba bersih BUMI tetap sama/tidak berubah dibanding tahun 2011 lalu, yakni tahun dimana BUMI terakhir kali menghasilkan kinerja bagus, maka nilai per lembar sahamnya sekarang tinggal tersisa satu per enam-nya, karena jumlah saham beredarnya bukan lagi 19.2 miliar lembar, melainkan 115.3 miliar lembar. Sayangnya jika dibanding kinerjanya di tahun 2011, maka fundamental BUMI sekarang ini terbilang buruk: Ekuitasnya negatif, dan laba bersihnya juga hanya $43 juta pada Q1 2022, dimana laba tersebut tidak akan lebih besar lagi karena itu tadi: KPC sudah tidak lagi dikuasai oleh BUMI.

Jadi sudah sahamnya kena inflasi, fundamental serta prospek BUMI juga tidak sama lagi dengan tahun 2011 lalu. Maka dengan demikian sahamnya tidak akan kemana-mana, karena bahkan kalaupun Bakrie ada goreng/kerek naik lagi sahamnya, maka mereka gak akan kuat jika harus goreng sampai misalnya balik lagi ke 500, karena itu akan butuh modal entah berapa triliun Rupiah (karena ingat sekali lagi, jumlah saham beredar BUMI sekarang lebih dari 100 miliar lembar), dimana mereka sekarang sudah tidak punya lagi duit nganggur sebanyak itu. Jadi jika anda ada pegang sahamnya, jual saja, mumpung sahamnya belum mati lagi di gocap.

***

Ebook Market Planning edisi Juli 2022 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 Juni mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email

Komentar

gerardy mengatakan…
Sebelum 2014, kepemilikan KPC adalah: Bumi 65% (lngsung/tdk langsung), Tata 30%, KTS 5%. Setelah 2014 berubah menjadi: Bumi 51% (langsung/tdk langsung), Bhira/Tata 30%, CIC 19%. Kendali dan operasional dipegang oleh Tata dan Bumi.

Tarif royalti yg baru (28%) cukup menggerus pendapatan bumi, dibandingkan dgn tahun lalu saja naik hampir 300%. Makanya laba kemarin terbilang kecil, selain porsi KPC memang sdh turun. Mengenai ekuitas yg msh minus, berharap sj 3 kuartal kedepan bisa naikkan laba diatas 450, maka akhir tahun mestinya
defesiensi modal tsb akan kembali postif.
Wong Fei Hung mengatakan…
mau konfirmasi saja...

Pada paragraf dua tertulis...., " ....Hasilnya ekuitas BUMI sudah menjadi negatif (baca: kewajibannya sudah lebih besar dibanding utang-utangnya, sehingga BUMI secara teknis sudah bangkrut)......"

apakah itu tidak salah tulis ya? dibanding UTANG-UTANGNYA atau dibanding EKUITASNYA?

Mohon konfirmasinya..

Salam

Wong Fei Hung

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham