Garuda Indonesia Sukses Cetak Laba Rp56 triliun, Kenapa Sahamnya Masih Disuspen?

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) baru saja merilis laporan keuangan (LK) periode Kuartal II 2022 dimana perusahaan mencatat laba bersih $3.76 miliar, atau setara Rp55.9 triliun berdasarkan kurs Rp14,898 per Dollar (sedikit berbeda dengan laporan sebelumnya di media yang menyebut Garuda laba Rp57.3 triliun). Karena pada periode yang sama tahun sebelumnya GIAA merugi $899 juta, maka apakah perusahaan sudah sukses turnaround? Tapi jika GIAA sudah kembali laba, maka kenapa sahamnya sampai sekarang masih di-suspen?

***

Jadwal Live Webinar Investasi Saham/Value Investing, langsung dengan Teguh Hidayat: Sabtu 22 Oktober 2022, pukul 08.00 – 11.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

***

Nah, jika anda sudah baca berita-berita yang beredar, maka anda pastinya sudah mengerti bahwa laba yang dihasilkan GIAA di atas berasal restrukturisasi sebagian utang-utangnya, bukan dari operasionalnya, sehingga tidak riil/gak ada duitnya karena hanya bersifat pembukuan. Penjelasannya sebagai berikut.

Jadi pada akhir tahun 2021, GIAA mencatat total liabilitas $13.3 miliar, dimana $5.7 miliar diantaranya merupakan liabilitas jangka pendek, sedangkan aset lancar perusahaan hanya $306 juta. Sehingga jelas perusahaan tidak punya cukup aset untuk memenuhi kewajibannya termasuk yang akan jatuh tempo dalam jangka pendek setahun ke depan. Kemudian total aset GIAA juga hanya $7.2 miliar, jelas tidak cukup untuk membayar total liabilitasnya itu tadi. Alhasil, sudah sejak jauh hari sebelumnya perusahaan dituntut PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) oleh para krediturnya, dimana proses PKPU itu sendiri sudah dimulai pada tanggal 9 Desember 2021. Nah, biasanya jika kondisinya sudah separah itu dimana total aset GIAA juga hanya $7.2 miliar, atau sama sekali tidak cukup untuk membayar total liabilitasnya itu tadi, maka akan masuk investor pihak ketiga yang mengambil alih/menjadi pemilik baru perusahaan, atau perusahaan pailit sama sekali. Tapi karena: 1. GIAA ini BUMN, jadi kecuali tidak ada opsi lainnya lagi maka perusahaan tidak akan dijual ke pihak swasta, atau itu akan menjadi ‘dosa’ bagi Pemerintahan yang berkuasa saat ini (seperti dulu ketika Pemerintah menjual Indosat, yang selalu diungkit-ungkit sampai sekarang) 2. Mengingat statusnya sebagai national flag carrier yang membawa ‘nama negara Indonesia’ ke seluruh penjuru dunia, maka GIAA juga tidak bisa dibangkrutkan.

Kemudian dari sudut pandang kreditur, maka kalaupun GIAA dipailitkan dan aset-asetnya dilikuidasi, maka mereka tetap saja bakal rugi karena nilai aset-aset tersebut jauh lebih rendah dari nilai piutangnya (yang tidak dibayar), bahkan jauh lebih rendah. Karena meski di atas disebutkan bahwa aset GIAA pada akhir tahun 2021 tercatat $7.2 miliar, tapi jika kesemua aset tersebut dilelang menjadi uang tunai, maka uang yang terkumpul biasanya tidak akan mencapai $7.2 miliar juga, karena aset-aset yang dilelang itu biasanya harganya akan anjlok. Jadi skenario terbaiknya hanya akan terkumpul uang sebesar 50 – 70% saja dari $7.2 miliar tadi. Karena total kewajibannya mencapai $13.3 miliar, maka bisa dihitung sendiri berapa kerugian yang harus ditanggung para bank/kreditur GIAA.

Disisi lain proses likuidasi dan pembagian uang hasil likuidasi juga bakal amat sangat ribet. Karena itulah kemudian diambil solusi alternatif: GIAA tetap dipertahankan, dan utang-utangnya direstrukturisasi melalui empat skema berikut: 1. Dilunasi secara bertahap berdasarkan ketersediaan kas operasional perusahaan, 2. Dikonversi menjadi saham, 3. Masa jatuh temponya diperpanjang.

Dan yang menarik adalah skema No.4: Diselesaikan dengan haircut dalam bentuk utang baru senilai maksimum $825 juta untuk kreditur-kreditur tertentu. Yang dimaksud haircut disini adalah pengurangan atau penghapusan nilai utang entah itu dari sisi bunganya, pokok utangnya, atau keduanya. Jadi intinya melalui skema ini, utang-utang tertentu di GIAA senilai sekian miliar Dollar dianggap lunas, dan diganti utang baru sebesar $825 juta tadi. Dari skema inilah, dan juga dari tiga skema di atas, GIAA kemudian mencatat ‘pendapatan dari restrukturisasi utang’ sebesar $2.85 miliar, dan ‘keuntungan restrukturisasi’ $1.34 miliar, sehingga totalnya $4.19 miliar, yang terutama berasal dari selisih utang lama senilai sekian miliar Dollar yang dianggap lunas, dikurangi utang baru senilai $825 juta. Nah, dari sini kita bisa lihat bahwa pihak kreditur ujungnya tetap rugi karena mayoritas piutang mereka tetap tidak tertagih, karena diganti piutang baru dengan nilai yang jauh lebih kecil. Namun solusi restrukturisasi ini lebih baik dibanding jika GIAA pailit. Karena jika GIAA pailit dan kreditur menerima uang hasil likuidasi aset (yang jumlahnya tetap jauh lebih kecil dibanding nilai piutangnya), maka jumlah uang yang diterima bisa lebih kecil lagi dibanding $825 juta tadi, dan setelah itu ya sudah. Tapi jika GIAA dipertahankan/tetap beroperasi, maka sekecil apapun tetap ada harapan bahwa perusahaan akan kembali membukukan laba di masa yang akan datang sehingga perusahaan kemudian bisa membayar utang-utangnya, dan alhasil kerugian yang dialami kreditur tidak akan terlalu besar, dan mereka tentunya tidak perlu ribet mengurus proses likuidasi itu sendiri.

Anyway, proses PKPU ini akhirnya mencapai tahap homologasi (baca: disepakati oleh semua pihak yakni GIAA dan para krediturnya, dan disetujui/disahkan oleh pengadilan) pada tanggal 27 Juni 2022. Karena itulah pada LK Kuartal II per tanggal 30 Juni, efeknya sudah kelihatan dimana total liabilitas perusahaan berkurang drastis menjadi $8.21 miliar, termasuk liabilitas lancarnya juga turun menjadi $2.16 miliar. Sedangkan di laporan laba ruginya, muncul akun ‘pendapatan/keuntungan restrukturisasi’ seperti yang sudah disebut di atas.

Kemudian mungkin timbul pertanyaan: Bagaimana ceritanya utang yang tidak dibayar diakui sebagai pendapatan? Ya karena logikanya sederhana saja: Seorang teman datang ke Anda meminjam uang Rp500 ribu, lalu dia tidak bisa bayar. Dan jika anda kemudian berhenti menagih/mengikhlaskan utang tersebut, maka itu seperti teman anda tersebut menerima uang Rp500 ribu itu tadi secara gratis bukan? Jadi si teman ini bisa menganggap Rp500 ribu yang ia terima sebagai pendapatan, tapi dalam hal ini dia tidak lagi memperoleh duitnya, karena dia sudah memperoleh duit itu sebelumnya (waktu dia kemarin datang pinjam uang ke Anda). Atau dalam kasus GIAA, si teman ini berjanji bahwa ia tetap akan membayar utangnya, tapi sebesar maksimum $825 juta saja. Jadi dari sudut pandang GIAA, perusahaan tetap mencatat pendapatan/laba sebesar nilai utang-utangnya yang sudah dianggap lunas, dikurangi utang baru sebesar $825 juta itu tadi.

Nah, tapi balik lagi: Meski GIAA di laporan keuangannya mencatat laba sekian miliar Dollar, tapi perusahaan sejatinya tidak benar-benar terima uang sebesar itu, malah secara operasional dia masih merugi (laba bersih GIAA tercatat $3.76 miliar, lebih kecil dibanding hasil restrukturisasinya sebesar $4.19 miliar. Yang itu artinya diluar pendapatan restrukturisasinya, GIAA masih merugi). Kemudian dari laporan auditor independen yang ditunjuk yakni PricewaterhouseCoopers (PWC), maka ada banyak catatan penting yang disampaikan, salah satunya ‘ketidakpastian material yang terkait dengan kelangsungan usaha’. Jadi pada intinya pihak auditor meragukan bahwa GIAA akan mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, salah satunya karena perusahaan menderita rugi secara terus-menerus (kerugian berulang). Dan inilah kenapa saham GIAA masih di-suspen sampai sekarang, karena salah syarat dari BEI terkait pencabutan suspensi sebuah saham, adalah ‘Tidak (lagi) terdapat potensi terganggunya kelangsungan bisnis (dari) perusahaan (yang bersangkutan), akibat potensi berlanjutnya perkara PKPU dan kepailitan perseroan’.

Cuplikan laporan auditor atas LK GIAA

Kesimpulannya, well, kondisi keuangan GIAA masih belum pulih, masih jauh dari itu, dan suspensi sahamnya juga mungkin belum akan dicabut/sahamnya belum akan diperdagangkan lagi dalam waktu dekat ini. Namun sisi positifnya sekarang kita tahu bahwa GIAA tidak akan pailit, dan mungkin setelah ini akan ada restrukturisasi lanjutan yang pada intinya kembali mengurangi utang perusahan. Sehingga suspensi sahamnya, meski mungkin masih lama dari sekarang, tapi pada akhirnya akan dicabut. Jadi yah, kita tunggu saja.

Untuk Minggu depan kita akan bahas isu kebangkrutan Credit Suisse, dan hubungannya dengan prediksi resesi ekonomi.

***

Jadwal Live Webinar Investasi Saham/Value Investing, langsung dengan Teguh Hidayat: Sabtu 22 Oktober 2022, pukul 08.00 – 11.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Sudah Terbit!

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun