Yuan Ditetapkan Sebagai World Currency, Next?

Semalam, rapat umum direktur eksekutif International Monetary Fund (IMF) memutuskan bahwa mata uang China, Yuan (disebut juga Renminbi), ditetapkan salah satu world reserve currency, berlaku efektif mulai 1 Oktober 2016. Dalam perhitungan special drawing rights atau SDR, Yuan memiliki bobot 10.9%, atau lebih besar dibanding bobot Japanese Yen atau Britain Pound Sterling, tapi masih lebih lebih rendah dibanding bobot US Dollar dan Euro. Penjelasan mengenai apa itu SDR, bisa dibaca lagi disini.

Berikut adalah bobot baru perhitungan SDR, setelah masuknya Yuan.

Currency
Before (%)
After (%)
US Dollar
41.9
41.7
Euro
37.4
30.9
Chinese Yuan
-
10.9
Japanese Yen
9.4
8.3
Pound Sterling
11.3
8.1
Total
100.0
100.0

Pertanyaannya,  bagaimana dampak dari keputusan IMF ini terhadap perekonomian Indonesia (jika memang ada dampaknya), termasuk IHSG? Apakah ketika Senin kemarin IHSG jeblok 2.5%, itu ada hubungannya dengan hal ini?

Senin kemarin pada sesi pre-closing, asing tiba-tiba saja jualan hingga akhirnya IHSG ditutup di posisi 4,446, atau turun 2.5%, padahal sepanjang hari tersebut IHSG tampak cukup stabil di posisi 4,520. Penjual terbesar adalah sekuritas Merrill Lynch, yang melepas pegangan senilai sekitar Rp2.3 trilyun, tapi sebagian diantaranya diserap oleh investor asing juga (sehingga net sell asing untuk Senin kemarin hanya Rp1.5 trilyun).

Lalu kenapa Merrill jualan? Nobody knows, namun penjelasan yang masuk akal adalah bahwa mereka kemungkinan mengubah komposisi portofolio agar kembali sesuai dengan bobot-bobot saham Indonesia di indeks MSCI Indonesia Index (MSCI = Morgan Stanley Capital International). Sebelumnya pada 11 November lalu, saham HM Sampoerna (HMSP) masuk kedalam perhitungan indeks MSCI Indonesia Index dengan bobot 3.2% (jadi naik turunnya HMSP berpengaruh sebesar 3.2% terhadap pergerakan indeks MSCI), dan masuknya HMSP ini otomatis mengurangi bobot saham lain terhadap perhitungan MSCI, contohnya Bank Mandiri (BMRI), yang bobotnya terhadap indeks MSCI turun dari 7.4 menjadi 6.8%. However, beberapa saham seperti Astra International (ASII), bobotnya masih naik dari 10.8 menjadi 11.4%.

Berikut adalah bobot baru dari tiap-tiap saham yang menjadi komponen MSCI Indonesia Index (ada 31 saham termasuk HMSP). Saham yang berwarna biru adalah yang bobotnya naik.

Stocks
Before (%)
After (%)
Bank BCA
14.0
13.8
Telkom
11.7
11.8
Astra International
10.8
11.4
Bank BRI
10.5
10.1
Bank Mandiri
7.4
6.8
Unilever Indonesia
5.0
4.7
HM Sampoerna
-
3.3
Bank BNI
3.3
3.1
Matahari Dept. Store
3.2
3.1
United Tractors
2.9
2.6
Semen Indonesia
2.7
2.6
PGN
2.8
2.6
Kalbe Farma
2.6
2.5
Indocement
2.6
2.3
Indofood Sukses Makmur
2.3
2.1
Lippo Karawaci
2.2
2.0
Gudang Garam
1.9
1.9
Surya Citra Media
1.6
1.6
Charoen Pokphand
1.6
1.6
Indofood CBP
1.3
1.3
Summarecon
1.4
1.2
Bumi Serpong Damai
1.1
1.1
Tower Bersama
1.2
1.1
Jasa Marga
0.9
0.9
Bank Danamon
0.9
0.8
XL Axiata
0.8
0.8
Adaro
0.8
0.8
Media Citra Nusantara
0.7
0.7
Astra Agro
0.7
0.6
Global Mediacom
0.6
0.5
TB Bukit Asam
0.5
0.5
Total
100.0
100.0

Dan MSCI Indonesia Index merupakan patokan yang paling banyak digunakan oleh investor internasional dalam menempatkan investasi mereka disini. Jadi ketika susunan saham-saham yang menjadi komponen indeks-nya berubah, maka praktis para fund manager asing juga akan mengubah komposisi portofolio mereka, dimana mereka banyak membeli HMSP atau menambah posisi pada ASII, dan sebaliknya, mengurangi posisi pada saham-saham yang bobotnya turun, atau menjual habis saham-saham yang tidak lagi masuk indeks MSCI. Dan itulah yang dilakukan Merrill Lynch kemarin dimana mereka menjual BMRI dll, hanya saja mereka melakukannya sekaligus dalam sehari sehingga IHSG jadi jeblok begitu.

Jadi kalau teori diatas benar, maka penurunan IHSG Senin kemarin gak ada hubungannya dengan hasil rapat IMF terkait Yuan. Namun demikian, apa yang dilakukan Merrill kemarin menjelaskan tentang apa yang kemungkinan akan terjadi setelah Yuan ditetapkan sebagai world currency, dan berikut penjelasannya:

Investor di seluruh dunia melihat mata uang yang menjadi komponen SDR dengan cara yang sama seperti mereka melihat saham-saham yang menjadi komponen MSCI Indonesia Index. Jadi dengan masuknya Yuan sebagai komponen baru yang turut menentukan nilai SDR, maka lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia akan mulai menyimpan aset mereka dalam mata uang Yuan, sama seperti Merrill Lynch (dan mungkin juga investor asing lainnya) yang mulai membeli saham HMSP setelah HMSP masuk indeks MSCI. Disisi lain para lembaga keuangan ini juga akan mengurangi pegangan aset dalam mata uang US Dollar, Euro, Yen, dan Pound, karena memang bobot keempat mata uang ini terhadap SDR turun. Alhasil, mulai hari ini dan seterusnya, kemungkinan nilai tukar Yuan terhadap USD akan merangkak naik, sementara nilai tukar Euro, Yen, Pound, dan USD sendiri terhadap mata-mata uang lainnya di seluruh dunia, akan turun. Dan memang, pada hari Selasa ini, USD melemah terhadap IDR (Rupiah), namun IDR sendiri melemah terhadap RMB (Renminbi).

Logo mata uang Yuan, yang sangat mirip dengan logo Yen

Namun berbeda dengan perkiraan sebelumnya yang menyebutkan bahwa akan terjadi perpindahan aset besar-besaran dari aset dalam mata uang USD, menjadi aset dalam mata uang Yuan, maka sepertinya hal itu tidak akan terjadi karena bobot USD terhadap perhitungan SDR, seperti yang bisa anda lihat ditabel diatas, hanya turun sedikit dari 41.9 menjadi 41.7%. Yang bobotnya turun paling besar adalah Euro, dari 37.4% menjadi 30.9%, dan hal itu memang bisa dijelaskan mengingat dalam lima tahun terakhir (sejak IMF mengubah komposisi SDR di tahun 2010), perekonomian China masih maju cukup pesat, sementara ekonomi Eropa tidak lagi dominan seperti biasanya, malah dihantui oleh Krisis Yunani dll. Sementara Amerika? Masih strong sampai sekarang, dan ukuran PDB-nya masih yang terbesar di dunia termasuk lebih besar dibanding PDB zona Euro maupun China, jadi belum ada alasan bagi investor di seluruh dunia untuk mengkonversi aset mereka dari USD ke Yuan. Tapi bagi investor di Jepang dan Inggris, mereka mungkin akan mulai kurang pede dengan mata uang mereka sendiri (yang sekarang bobotnya lebih rendah dari Yuan), dan mungkin akan mulai mengumpulkan Yuan sambil tetap memegang US Dollar.

Okay, namun itu belum menjawab pertanyaannya: Kira-kira apa dampak masuknya Yuan ini sebagai world currency terhadap Indonesia? Well, karena bobot USD terhadap perhitungan SDR hanya turun sedikit, maka investor-investor asing yang menempatkan investasinya disini seharusnya gak akan kabur kalau alasannya cuma karena mereka harus mengkonversi Dollar mereka ke Yuan (sehingga mereka harus jual saham dulu), meski mungkin beberapa dari mereka tetap melakukannya. Tapi yang jelas dampaknya terhadap IHSG seharusnya akan minimal, kecuali jika terdapat banyak investor asing asal Uni Eropa, Inggris, atau Jepang yang juga turut berinvestasi disini. Sayangnya tidak ada data pasti soal investor dari negara apa saja yang ikut beli saham di Indonesia.

However, dari sisi ekonomi makro, Tiongkok selama ini merupakan mitra dagang terbesar di Indonesia, dimana sepanjang tahun 2014 lalu, Indonesia mengekspor barang-barang non migas senilai US$ 16.5 milyar ke Tiongkok, terbesar dibanding ekspor ke negara lain manapun, dan sebaliknya, mengimpor barang-barang non migas senilai US$ 30.4 milyar dari Tiongkok, juga terbesar dibanding impor dari negara lain manapun. Nah, dengan naiknya ‘status’ Yuan, maka itu akan mempermudah transaksi ekspor impor antara Tiongkok dengan Indonesia, dimana eksportir dari Indonesia tidak perlu lagi mengkonversi Rupiah ke USD (kemudian oleh importir dari Tiongkok dikonversi lagi ke Yuan), melainkan bisa langsung mengkonversinya ke Yuan, demikian sebaliknya.

Jadi kedepannya besar kemungkinan bahwa nilai ekspor impor antar kedua negara akan meningkat, dan itu bisa berarti dua hal yang saling berkebalikan: Jika Indonesia bisa mengekspor ke Tiongkok lebih banyak ketimbang menerima impor, maka perekonomian Indonesia akan diuntungkan. Tapi jika Indonesia justru kebanjiran impor, maka pertumbuhan ekonomi akan kembali tertekan (baca penjelasannya disini).

Dan sayangnya selama ini nilai impor Indonesia dari Tiongkok selalu lebih besar ketimbang nilai ekspornya, sehingga dengan naiknya status Yuan, maka kemungkinan Tiongkok-lah yang lebih diuntungkan ketimbang Indonesia. Namun disisi lain jika ekonomi Tiongkok mulai melaju kencang lagi karena mereka kini lebih mudah berbisnis dengan negara lain (karena mereka sekarang bisa beli barang diluar negeri pake Yuan, jadi gak perlu dituker ke Dollar dulu), maka kebutuhan mereka atas batubara dan CPO kemungkinan akan kembali meningkat, dan itu artinya kabar bagus bagi sektor tambang dan perkebunan di Indonesia yang pada tahun ini sudah mulai mati suri. Manapun yang terjadi, kita lihat nanti.

Buletin Analisis IHSG & Stock-Pick bulanan edisi Desember 2015 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi portofolio bagi member.

Komentar

Unknown mengatakan…
Mas Teguh, apa urusannya exim indonesia-china dengan SDR-nya IMF? Apa eksportir importir harus urusan dengan IMF kalau melakukan kegiatannya?
Teguh Hidayat mengatakan…
@Alvin Junior: Kegiatan ekspor impor gak ada hubungannya dengan IMF. Namun kegiatan ekspor impor selama ini harus pake Dollar atau mata uang lainnya yang menjadi komponen SDR (Euro, Yen, Pound Sterling), karena hanya empat mata uang itu yang diterima diseluruh dunia dan bisa langsung ditukar dengan mata uang manapun. Jadi kalau anda beli sesuatu di China, maka Rupiah yang anda pegang harus dituker dulu ke Dollar, kemudian dikonversi lagi ke Yuan. Sebaliknya, jika warga China beli sesuatu di Indonesia, maka Yuan yang dia harus dituker dulu ke Dollar, kemudian dikonversi lagi ke Rupiah.

Nah, dengan masuknya Yuan ke komponen SDR, maka Yuan kini juga bisa diterima diseluruh dunia, termasuk bisa langsung ditukar dengan mata uang manapun termasuk Rupiah. Jadi orang China bisa langsung menukar Yuan mereka dengan Rupiah, dan orang Indonesia bisa langsung menukar Rupiah dengan Yuan. Dengan demikian transaksi ekspor impor antar kedua negara bisa berjalan dengan lebih lancar tanpa perlu khawatir lagi dengan fluktuasi nilai tukar Rupiah/Yuan terhadap Dollar, karena memang para eksportir/importir dari kedua negara gak perlu pake Dollar lagi.
Unknown mengatakan…
Mas Teguh, dengan kata lain Yuan bs diperlakukan spt USD ya, nyimpan mata uang Yuan ?. Tq
Unknown mengatakan…
Mas Teguh, hari ini saya baca oke****.com bahwa "Menteri Perdagangan dan Industri Rusia Denis Manturov memberikan usulan untuk menggunakan mata uang nasional, termasuk dalam setiap transaksi perdagangan antara Rusia dan Indonesia."

Tapi "Ketua Dewan Bisnis Indonesia-Rusia Didie Soewandho menilai, kebijakan ini belum saatnya diterapkan di Indonesia. Pasalnya, nilai perdagangan kedua negara tergolong masih kecil sehingga masih perlu diperkuat pada berbagai sektor."

Ini berarti Rubel dan Rp bisa langsung dipake dalam perdagangan kedua negara tanpa harus tukar ke Dolar ataupun mata uang SDR lainnya, DENGAN CATATAN nilai perdagangan kedua negara cukup besar. Kalo perdagangan RI-Rusia sudah cukup besar, kan bisa langsung pake Rp-Rubel meskipun kedua mata uang bukan SDR IMF.

Thanks for the reply. I appreciate it.:)
Felix Darmawan mengatakan…
Mas Teguh, kalo Yuan jadi SDR dan investor dari negara2 yg bobot SDRnya dikurangi mulai memegang Yuan, nilai Yuan akan menguat terhadap mata uang lainnya kan.. Nah disisi lain bukannya pemerintah China sebelumnya juga menjaga nilai Yuan agar tetap rendah untuk meningkatkan nilai ekspornya ke negara lain? (untuk itu dilakukan devaluasi Yuan beberapa waktu lalu). Atau devaluasi kemarin utk jaga2 jika Yuan akan menjadi SDR (agar nilai Yuan tidak meningkat terlalu tinggi dari keinginan pemerintah China(?))


Gimana tanggapannya mas Teguh?? Hehehe

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)