Membedah Prospek Bank BRI di Tahun Pandemi, Part 2

Pada ulasan sebelumnya tentang Bank BRI, kesimpulannya adalah bahwa kita tidak perlu khawatir bahwa BBRI akan bangkrut atau semacamnya, itu tidak akan terjadi bahkan meski kinerja perusahaan turun karena faktor pandemi Covid-19, sehingga sahamnya tetap layak untuk investasi jangka panjang. Meski demikian kalau kita pertimbangkan lagi faktor-faktornya, maka sekarang-sekarang ini mungkin masih belum waktunya untuk masuk, dan penjelasannya akan dibahas disini. Here we go.

***

Video Seminar Terbaru: Berburu Saham Mutiara Terpendam, yakni saham yang berpeluang naik hingga ratusan persen ketika nanti krisis karena Covid-19 ini berakhir. Anda bisa memperolehnya disini. Info Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

***

Pertama, terkait kebijakan pemerintah yang mengharuskan bank, terutama bank milik Pemerintah, untuk memberikan restrukturisasi kredit kepada kreditur yang mengalami kesulitan/kemunduran usaha karena dampak pandemi. Kemudian ada juga wacana ‘bank jangkar’, dimana bank-bank yang besar dan kuat, termasuk BBRI, bisa sewaktu-waktu mem-bail out bank-bank kecil bermasalah agar tidak sampai kolaps. Dua kebijakan tersebut sebenarnya bagus untuk ekonomi nasional, karena contohnya, bisa anda bayangkan jika ada satu saja bank kecil yang bangkrut lalu kemudian gagal bayar ke nasabahnya. Maka beritanya akan menyebar luas, dan imbasnya masyarakat akan panik dan menarik dana mereka dari bank-bank lain (bank rush) yang sebenarnya gak bermasalah apa-apa. Tapi jika itu terjadi, maka bank-bank lain ini akan kesulitan likuiditas, dan akhirnya bisa ikut bangkrut juga.

Ilustrasi staff Bank BRI sedang memberikan penjelasan produk perbankan ke calon nasabah

Jadi dengan adanya kebijakan ‘bank jangkar’, maka risiko terjadinya hal ini bisa dihindari, namun dalam hal ini akan timbul kesan bahwa BBRI, atau bank manapun yang akan melakukan bail out tersebut, menjadi dikorbankan, karena mereka seperti dipaksa mengambil alih aset jelek pada harga yang belum tentu murah. Kemudian, seperti yang kita ketahui, kalau investor asing masuk ke saham-saham di BEI, maka biasanya mereka masuknya ke saham-saham besar seperti BBRI ini. Dan anda tahu, apa yang paling tidak disukai asing? Yup, intervensi pemerintah. Dalam sistem ekonomi kapitalis, segala bentuk intervensi pemerintah terhadap cara kerja sebuah perusahaan akan dianggap merugikan perusahaan tersebut. Dan khususnya ketika bentuk intervensi-nya adalah pemerintah mengharuskan bank memberikan restrukturisasi kredit, dan bank jangkar itu tadi, maka itu jelas memberikan kesan akan merugikan BBRI. Kemungkinan inilah yang menyebabkan asing melepas saham BBRI dalam jumlah besar sehingga harganya anjlok, beberapa waktu lalu. Problemnya, berhubung sampai hari ini Indonesia (dan juga dunia) masih krisis karena pandemi, maka kebijakan restrukturisasi kredit belum bisa dihentikan, dan wacana bank jangkar bisa mencuat kembali sewaktu-waktu. Dan jika demikian, maka BBRI bisa anjlok gara-gara asing jualan lagi, kapan saja.

Kedua terkait BI Rate. Seperti yang sudah dijelaskan disini, BI Rate adalah instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral, untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi, dan inflasi (boleh anda baca lagi link diatas, untuk memahami lebih jelas antara BI Rate, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi). Nah, seperti yang kita ketahui, sejak merebaknya pandemi, maka Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan GDP menjadi hanya 2.97% pada Kuartal I 2020, jauh lebih rendah dibanding biasanya di angka 4 – 5%. Namun disisi lain tingkat inflasi masih sangat bagus di angka 2.2%. Yup, biasanya kalau suatu negara sedang krisis, maka harga-harga kebutuhan pokok akan naik. Contohnya mungkin anda masih ingat tahun 1998 lalu, dimana harga beras naik dengan sangat cepat dari Rp400, hingga tembus Rp5,000 per kilo, demikian pula harga-harga kebutuhan pokok lainnya ikut terbang.

Tapi untuk krisis tahun 2020, atau setidaknya hingga hari ini, maka harga sembako relatif masih stabil, dan inflasi sekarang ini adalah justru salah satu yang paling rendah dalam sejarah (biasanya inflasi di Indonesia itu 6 – 7% per tahun). Dan itu artinya? Yup, BI bisa menurunkan BI Rate, yang sekarang berada di level 4.50%, menjadi mungkin 4.25%, atau 4.00%, dengan tujuan agar bank-bank menyalurkan kredit lebih besar ke masyarakat, dan pada akhirnya menaikkan kembali tingkat pertumbuhan ekonomi. However, jika BI jadi menurunkan BI Rate, maka dalam kondisi krisis seperti sekarang, itu juga bisa menjadi sentimen negatif bagi perbankan, karena kesannya bank dirugikan karena suku bunga kredit turun, sedangkan mereka juga harus menyalurkan kredit lebih besar, padahal piutang kredit yang sudah ada saja berisiko macet gara-gara krisis. Jadi lagi-lagi, ini adalah seperti pemerintah ngomong ke bank, ‘You have to sacrifice for greater good for the nation’. Sebenarnya dalam jangka panjang, jika BI Rate benar diturunkan, dan itu benar berdampak pada kenaikan pertumbuhan ekonomi, maka BBRI dkk eventually tetap akan diuntungkan. Tapi dalam jangka pendeknya, maka sentimen yang ditimbulkan akan bersifat negatif.

Terakhir ketiga, terkait kurs Rupiah. Sebagai lembaga keuangan, maka aset terbesar perbankan adalah, tentu saja, uang, dalam hal ini uang Rupiah. Namun jika Rupiah melemah terhadap Dollar, maka artinya nilai aset BBRI dkk dari sudut pandang investor asing yang pegang Dollar akan ikut turun. Problemnya, meski beberapa waktu terakhir kita melihat bahwa Rupiah menguat dari Rp16,000 hingga Rp14,000 per $, dalam jangka panjang penulis melihat bahwa Rupiah akan terus melemah terhadap Dollar.. karena apa? Karena current account kita sejak tahun 2012 lalu sampai hari ini, angkanya terus minus alias defisit (terakhir minus 3.0% di tahun 2018). Current account adalah angka persentase nilai seluruh transaksi yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara lain, seperti ekspor impor, pendapatan perusahaan Indonesia yang beroperasi diluar negeri (dan sebaliknya, pendapatan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia), transfer uang yang dikirim dan diterima orang Indonesia dari luar negeri, dan seterusnya, dibandingkan dengan nilai GDP. Jika angkanya surplus, artinya kita terima duit dari luar. Tapi jika angkanya defisit, artinya kita bayar duit keluar. Karena kita sejak tahun 2012 sampai hari ini bayar terus keluar negeri (dan bayarnya ya pake Rupiah), maka nilai Rupiah itu otomatis melemah. Sehingga, penulis kira juga bukan kebetulan jika Rupiah kita, yang pada tahun 2011 lalu sempat kuat di level Rp9,000 per $, namun kesininya dia terus melemah hingga rata-rata Rp14 – 15,000 per $.

Dan selama current account ini tidak berbalik menjadi surplus, maka dalam jangka panjang Rupiah akan terus melemah. Sebenarnya ini bukan kabar buruk, karena actually salah satu penyebab current account defisit adalah karena sebelum adanya corona, jumlah orang Indonesia yang bepergian keluar negeri untuk wisata, umroh, dan haji (dimana kita kemudian menukar Rupiah dengan mata uang asing) terus meningkat, dan itu adalah pertanda bahwa ekonomi membaik. Namun khususnya untuk sektor perbankan, maka pelemahan Rupiah artinya penurunan nilai aset, dan itu semakin melemahkan posisi perusahaan perbankan di mata investor asing. Kalau anda perhatikan, meski dua bank besar yakni BBRI dan BBCA masih naik signifikan dalam lima tahun terakhir, tapi hal yang sama tidak dialami oleh saham-saham bank lainnya, yang relatif gak kemana-mana, atau bahkan turun sejak tahun 2012. Ini pula yang menyebabkan Astra International (ASII) akhirnya give up, dan melepas Bank Permata (BNLI) ke Bank Bangkok, dan demikian pula ada banyak bank-bank kecil menengah lain yang dilepas sepenuhnya ke investor luar, tentunya dengan harga yang tidak terlalu tinggi.

Kesimpulan

Anyway, sisi positifnya adalah, penulis sebelumnya sudah menyampaikan bahwa bank-bank milik Pemerintah itu diistimewakan oleh Pemerintah, sehingga BBRI dkk bisa berekspansi tanpa mengambil risiko yang terlalu tinggi, misalnya menawarkan bunga deposito tinggi yang berisiko bikin bank tekor. Dan kalau bank-bank kecil menengah satu per satu diambil alih asing, maka keistimewaan yang diberikan untuk BBRI akan semakin besar dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi nasional. Sehingga, meski sewaktu-waktu Pemerintah ada juga melakukan intervensi yang dianggap merugikan, tapi itu tidak seberapa dibanding keistimewaan yang diberikan, dan BBRI tetap akan profit dalam jangka panjang. Termasuk wacana bank jangkar tadi, jika memang tidak ada bank kecil yang bangkrut, maka ya BBRI juga gak perlu bail out atau apapun.

Okay Pak Teguh, jadi bagaimana kesimpulannya? Apakah kita tetap harus tunggu dulu untuk masuk ke BBRI ini, atau langsung masuk saja? Tapi sekarang juga sahamnya sudah di 3,000, gak seperti kemarin masih di 2,200. Jadi gimana pak? Nah, sekali lagi, fokus utama kita disini adalah untuk jangka panjang, dan diatas sudah disampaikan bahwa dalam jangka menengahnya, ada sejumlah faktor yang bisa membuat BBRI mungkin turun kembali. Kemudian, meski kalau dilihat dari pertengahan Mei kemarin, BBRI memang naik, tapi posisinya hari ini masih tidak lebih tinggi dibanding akhir Maret lalu ketika IHSG mulai rebound, setelah sebelumnya crash ke 3,900. Dengan kata lain, kalau kita melihatnya agak jauh ke belakang, maka BBRI sebenarnya masih belum kemana-mana lagi.

Tapi sekarang balik lagi ke valuasi: Pada harga 3,000, berdasarkan LK Q1 2020, PER BBRI tercatat 11.4 kali. Karena pada Q2 nanti laba perusahaan hampir pasti akan turun, maka PER ini bisa naik menjadi 13 atau 14 kali, tidak terlalu mahal tapi tidak bisa disebut murah juga, mengingat rata-rata PER BBRI dalam kondisi pasar normal (tidak sedang bullish, tapi juga tidak sedang terkoreksi) adalah 11 - 12 kali. Sedangkan pada harga 2,200, PER BBRI tercatat 8.3 kali, dan barulah itu bisa disebut murah. Yang penulis jadikan benchmark adalah, ketika BBRI drop sampai 1,660 pada September 2015 lalu, PER-nya juga sempat 8 kali, namun harus diingat bahwa krisis tahun 2020 ini far more severe dibanding tahun 2015 tersebut, dimana berbeda di tahun 2015 dimana BBRI masih mencatat kenaikan laba, maka laba perusahaan di tahun 2020 ini kemungkinan akan turun. Sehingga mungkin, kita bisa memperoleh BBRI pada valuasi yang yang lebih diskon lagi.

Hanya saja, meski memang sekarang kita sedang krisis, tapi ada juga kemungkinan bahwa krisisnya tidak akan terlalu lama, yakni jika kegiatan ekonomi kembali berlanjut dalam kerangka ‘new normal’. Sehingga mungkin, harga 2,200 kemarin itu sudah merupakan harga terbaik bagi BBRI ini, karena kedepannya diharapkan bahwa kinerja perusahaan akan bagus lagi. Tapi sekali lagi, dengan mempertimbangkan sejumlah faktor spesifik diatas, termasuk masih adanya risiko terjadi ‘second wave corona’, maka kita tidak perlu buru-buru, sekali lagi, jika tujuannya adalah untuk dipegang untuk selamanya kecuali mungkin, jika anda belinya nyicil. Selain karena kalau anda lihat-lihat lagi, ada banyak saham bagus dengan valuasi yang lebih murah, dan tidak ada faktor tertentu (termasuk faktor corona) yang bisa membuat kinerja perusahaannya turun. Kita akan membahasnya next time.

***

Buku kumpulan analisis 30 saham pilihan (Ebook Investment Planning) edisi Kuartal I 2020 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500. Info whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

Follow akun resmi penulis di media sosial, klik 'View on Instagram' berikut ini: Instagram

Komentar

Alfa mengatakan…
Mohon izin untuk dapat membahas analisis bapak untuk tesis saya nanti dalam perspektif yang sedikit berbeda. Terimakasih
halley mengatakan…
Seperti biasa kalau mau masuk sekitar november karena antisipasi tahun baru. Jadi kemungkinan ihsg masih tertekan sampai november.
Hendry mengatakan…
Pak, ada satu lagi sih yang tidak di bahas :). Mengenai LPS, seperti kita ketahui dana jaminan LPS itu maksimum 2M dengan lvl bunga tertentu yang di jamin. Saya rasa dengan mengungkit masalah jaminan LPS ini akan menyebabkan DPK di bank2 berkurang di pindahkan ke usaha sendiri (bagus untuk usaha), ke pasar modal (bagus untuk IHSG) atau ke bank2 yg peringkatnya lebih bagus di banding dengan pola2 investasi yang banyak karut marut (Koperasi dan penempatan di dana reksa gorengan) (Potensi ini akan bagus untuk bank2 seperti BRI dan BCA)
Foke mengatakan…
Harusnya sih kalau mau bail out juga ke bank yang kinerja bagus sebelum covid ya

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)