Cara Mengetahui Pilihan Saham Kita Sudah Benar Atau Belum

Pak Teguh saya investor pemula, dan saya sudah banyak baca-baca tentang analisa fundamental, value investing dll baik itu dari tulisan bapak maupun sumber lain. Kemudian saya juga sudah mulai coba-coba menganalisa saham sendiri, jadi tidak lagi hanya mengikuti rekomendasi orang lain. Pertanyaannya pak, bagaimana cara kita mengetahui analisa saham yang kita buat masih keliru atau sudah benar? Karena kadang saya sudah mengerjakan analisa hingga memperoleh kesimpulan bahwa saham A bagus, tapi karena saya ragu-ragu maka saya tetap tidak beli sahamnya. Jika kemudian saham A itu naik maka saya menyesal karena tidak beli, tapi sebaliknya jika sahamnya turun maka saya merasa lega. Tapi entah itu sahamnya naik atau turun, saya tetap tidak dapat apa-apa. Mohon bantuannya pak.

***

Live Webinar Value Investing, Sabtu 3 Februari 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

***

Jawab:

Sebagai investor pemula, apa yang bapak kerjakan sudah benar. Investor besar manapun tidak ada yang menghasilkan profit hanya berdasarkan rekomendasi saham dari pihak ketiga, melainkan mereka mengerjakan analisa dan memilih sahamnya sendiri. Ini bukan berarti kita sebagai investor tidak boleh menerima masukan atau saran dari orang lain, melainkan kita sejak awal harus punya pilihan saham sendiri, dan jika ragu-ragu maka baru minta second opinion dari orang-orang yang sudah kita kenal baik, yang kita tahu bahwa tidak hanya mereka ini kompeten, tapi juga bisa dipercaya. Contohnya Warren Buffett, yang selama ini dibantu oleh (alm.) Charlie Munger, Todd Combs, Ted Weschler, dst. Namun kata kuncinya adalah, Opa Warren juga bisa memilih sahamnya sendiri, jadi dia tidak terima rekomendasi saham begitu saja dari tim-nya di Berkshire Hathaway.

Warren & Charlie di Acara Berkshire Hathaway Annual Meeting 2023. Untuk annual meeting tahun 2024 ini, Warren tidak akan lagi didampingi Charlie yang sudah pensiun. Sumber gambar: CNBC Television

Problemnya, jika kita masih pemula maka tentu kita belum bisa menganalisa hingga memilih saham sendiri, dan juga akan sering ragu-ragu seperti yang bapak alami. Karena bagaimana jika kita sudah beli sahamnya, tapi ternyata analisanya keliru? Terkait hal ini maka kita bisa pakai analogi ujian di sekolah. Misal kita ikut ujian atau kuis matematika berisi sepuluh pertanyaan, dan kita kemudian sukses menjawab semuanya dengan baik. Tapi soal apakah jawaban kita itu benar semuanya atau tidak, maka kita akan mengetahuinya bukan ketika mengisi lembar ujiannya, melainkan nanti ketika guru memberikan nilai. Jika nilainya seratus, berarti jawabannya benar semua. Tapi jika nilainya kurang dari seratus, berarti dari sepuluh soal itu ada yang jawabannya benar, tapi ada juga yang salah.

Nah, jadi dalam investasi saham juga sama: Ketika kita menganalisa lalu memutuskan untuk membeli saham tertentu, maka soal apakah pilihan sahamnya benar atau tidak, kita baru akan mengetahuinya belakangan. Jika dari 10 saham yang bapak beli 7 diantaranya menghasilkan keuntungan, maka itu sudah merupakan hasil yang bagus. Tapi jika dari saham-saham yang dibeli justru lebih banyak yang rugi, berarti bapak harus evaluasi lagi cara analisa dan pemilihan saham yang bapak kerjakan. Paling gampang kita bisa lihat hasil investasinya itu sendiri setelah beberapa waktu, dalam hal ini 2 – 3 tahun. Jika misalnya dalam 2 – 3 tahun itu nilai porto bapak meningkat karena profit (diluar peningkatan modal karena setoran dana, jika bapak rutin menyetor lagi ke sekuritas), misalnya dari modal awal Rp10 juta tumbuh menjadi Rp12 – 15 juta, berarti analisanya sudah benar. Tapi jika nilai portonya justru berkurang, entah itu masih floating loss ataupun sahamnya sudah dijual, berarti analisanya masih keliru.

Dan karena itulah bagi investor pemula, di tahun-tahun awal (2 - 3 tahun pertama) disarankan untuk menggunakan dana kecil dulu, sehingga kita tidak lagi ragu-ragu ketika membeli saham karena toh kalaupun ternyata analisa kita keliru dan sahamnya turun, maka ruginya kecil karena modalnya juga kecil. Ini juga sekaligus akan membuat kita lebih tenang secara psikologis, jadi bapak tidak lagi akan merasa ‘menyesal’ atau ‘lega’ seperti yang bapak ceritakan.

Hingga suatu hari nanti, bapak akan mendapatkan ‘nilai ujian’ yang konsisten profit dengan hanya sesekali rugi (kalau profit terus sih tidak mungkin. Tapi seperti disebut diatas, jika 7 atau 8 dari 10 saham yang dibeli hasilnya profit, maka itu sudah bagus. Sama seperti mahasiswa yang memperoleh IPK 3.50, maka meski itu tidak sempurna, tapi sudah masuk kategori cum laude), maka barulah pada saat itu bapak bisa gunakan dana yang lebih besar, dan tetap pada titik ini bapak akan tenang secara psikologis ketika memilih saham, karena mental serta confidence sebagai investor itu sendiri sudah terbentuk. Semoga beruntung!

***

Live Webinar Value Investing, Sabtu 3 Februari 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun