Redenominasi Rupiah dan Dampaknya ke Inflasi, Kurs, Serta Pertumbuhan Ekonomi
Beberapa waktu terakhir ini ramai isu Pemerintah akan melakukan redenominasi Rupiah dimana uang Rp1,000 akan menjadi Rp1, dan ‘satu juta’ akan menjadi ‘seribu’. Dan wacana ini kemudian memicu banyak pro dan kontra di masyarakat, dimana penulis sendiri termasuk yang kontra, jika redenominasinya dilakukan sekarang. Namun jika dilakukannya tahun 2027 nanti atau lebih lama lagi, maka jika pada saat ini situasi ekonomi nasional di dalam negeri sudah lebih siap, maka mungkin saya akan bersikap pro. Berikut penjelasannya.
***
Live Webinar How to Invest in US Stocks, Sabtu 6 Desember 2025, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.
***
Pertama, isu redenominasi ini mencuat setelah Kemenkeu merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70 Tahun 2025 tentang redenominasi Rupiah, yang mana menurut Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, PMK itu dirilis sebagai tindak lanjut dari Rancangan Undang-Undang (RUU) redenominasi yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025 – 2029. Namun soal bagaimana strateginya serta kapan redenominasi ini akan diberlakukan, maka menurut Pak Purbaya, itu menjadi wewenang Bank Indonesia (BI). Dan menurut Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, redenominasi akan diimplementasikan jika nanti persiapannya sudah cukup dan waktunya pun sudah tepat, yang itu artinya bisa 1-2 tahun dari sekarang, atau lebih lama lagi.
Kedua, salah satu kekhawatiran terbesar masyarakat terkait redenominasi ini adalah inflasi. Contoh sederhana saja: Kalau nanti Rp2,000 menjadi Rp2, maka tukang parkir kemungkinan tidak akan lagi mau terima Rp2 itu karena ‘terlalu kecil’ dan alhasil kita harus bayar Rp5, atau bahkan Rp10, yang itu artinya 2.5 – 5 kali lebih mahal. Dan kenapa penulis cukup yakin bahwa ini akan terjadi? Karena, disadari atau tidak, tingkat inflasi di Indonesia memang seburuk itu, dimana penulis sendiri masih ingat di tahun 1992 lalu, nilai uang terkecil yang diterima oleh penjual makanan di sekolah adalah koin Rp25. Sedangkan uang koin yang lebih kecil dari itu, let say Rp5, maka itu sudah tidak diterima lagi dimanapun, dan kata ‘lima perak’ menjadi istilah populer untuk menggambarkan nilai nominal uang yang saking kecilnya sampai gak laku, alias Rp5 itu tadi. Karena pada awal tahun 1990-an itu koin Rp5 masih mudah ditemukan, tapi sudah tidak lagi digunakan.
Problemnya, dan anda boleh tanya ini ke siapapun yang sekarang berusia 30an, 40an, atau 50an: Tahun 1992 itu seperti baru kemarin! Dan istilah ‘lima perak’ itu maka semua orang juga masih sangat mengingatnya. Therefore ketika nanti Rp5,000 menjadi Rp5, maka orang akan otomatis menyebutnya sebagai ‘lima perak’, dan seketika nilai Rp5,000 tersebut (yang sekarang menjadi Rp5) akan jadi terkesan sangat kecil. Beda ceritanya kalau inflasi di kita tidak separah itu, dan istilah lima perak itu adanya di tahun misal di 1960-an, bukan ‘kemarin sore’ alias 1990-an. Maka barulah nilai Rp5,000 itu akan tetap bertahan meskipun jadi Rp5, but unfortunately, situasinya tidak demikian.
Ketiga, kita tahu bahwa isu redenominasi ini sejatinya merupakan isu lama. Dan menurut penulis sendiri, isu tersebut mencuat lagi di tahun 2025 ini bukan hanya karena alasan Prolegnas seperti yang sudah dijelaskan diatas, melainkan kemungkinan karena Pemerintah melihat bahwa data inflasi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir relatif stabil di 2 – 3%, kecuali di masa Covid yang sempat naik sampai 6%, tapi setelah itu turun lagi (cek datanya disini). Yang itu artinya, betul inflasi mau tidak mau akan melonjak jika redenominasi diterapkan. Tapi jika redenominasi ini bisa meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat dan pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi, maka selama inflasinya tidak tinggi-tinggi amat (6 – 7% masih oke lah), then it’s worth it.
Nah tapi masalahnya, dan penulis sudah menyampaikan ini sebelumnya: Relatif stabilnya inflasi di Indonesia itu bukan karena Rupiah kita kuat, tapi karena daya beli masyarakat rendah, dimana harga-harga kebutuhan pokok cenderung tidak naik banyak karena gak ada yang beli. Jadi dalam hal ini kita harus lihat indikator lain untuk menilai kekuatan Rupiah: Nilai tukar alias kurs. Dan memang dalam setahun terakhir, kurs Rupiah melemah dari Rp15,800 ke sekarang Rp16,672 per US Dollar, atau turun -5.2%. Menariknya, di waktu yang sama USD juga sejatinya melemah, dimana Dollar Index (DXY, alias rata-rata nilai tukar USD terhadap mata uang lainnya di seluruh dunia) juga turun dari 107 ke sekarang 100.
![]() |
| Pelemahan Rupiah dalam 10 tahun terakhir, dari Rp13,000 ke sekarang Rp16,600 per USD |
Jadi penulis dalam hal ini kemudian membandingkan Rupiah dengan mata uang negara lain, dalam hal ini Malaysia, karena ada kemungkinan. Dan ternyata benar dugaan penulis: Dalam setahun terakhir, Rupiah melemah dari Rp3,564 menjadi sekarang Rp4,000 per Malaysia Ringgit, atau turun -10.9%, lebih besar dibanding penurunannya terhadap USD di atas.
Nah, jadi dari sini kelihatan bahwa Rupiah kita sedang lemah-lemahnya, sebagai imbas dari lesunya ekonomi riil di dalam negeri. Dan bisakah anda bayangkan jika Rp5,000 dibikin jadi Rp5 dalam situasi seperti sekarang? Maka inflasi yang akan terjadi bukan lagi hanya 6 – 7%, tapi mungkin tembus 10 – 12% per tahun! Seperti di tahun 2001 – 2008 lalu. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi juga belum tentu akan melonjak seperti yang diharapkan, karena kita tahu bahwa ekonomi riil kita saat ini banyak dihantui oleh ‘sektor yang lebih informal dari sekedar informal’, seperti tukang parkir tadi, pungli, hingga pinjol ilegal dll yang sejatinya tidak menghasilkan produk barang dan jasa apapun bagi masyarakat. Sehingga imbasnya jumlah uang beredar bertambah, tapi nilai produk domestik bruto/PDB segitu-gitu aja. So it’s a lose-lose solution.
Jadi Investor Harus Gimana?
Anyway, kabar baiknya adalah kalaupun redenominasi ini nanti jadi diterapkan, maka pelaksanaannya paling cepat di tahun 2027 nanti, dan mudah-mudahan pada saat itu situasi ekonomi riil kita sudah lebih baik dibanding hari ini. Namun demikian lonjakan inflasi itu biar bagaimanapun tetap akan terjadi, dan kurs Rupiah juga akan kembali melemah, bahkan mungkin sejak sebelum redenominasi itu diterapkan (Rupiah di bulan November ini juga sudah melemah sedikit dari Rp16,634 hingga sempat tembus Rp16,700 per USD). Sehingga dalam hal ini maka investor punya dua pilihan. Pertama, anda bisa kembali fokus ke saham-saham dari perusahaan yang berbasis ekspor, dan menerima pendapatannya dalam mata uang Dollar, seperti tambang emas, nikel, hingga batubara. Karena pada akhirnya, salah satu faktor yang membuat kurs Rupiah kita relatif stabil (meskipun dalam jangka panjangnya terus melemah pelan-pelan terhadap Dollar), adalah karena Indonesia punya banyak sekali sumber daya alam untuk dijual keluar, jadi kita fokus ke perusahaan di bidang itu saja.
Dan kedua, anda bisa mulai menabung dalam mata uang Dollar itu sendiri,
contohnya di US Treasury Bills, sama seperti Warren Buffett, dimana itu adalah
semacam surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan dan dijamin penuh oleh Pemerintah
US, dan anda akan mendapatkan yield 4 – 5% per tahun, dibayar dalam USD.
Anda bisa menggunakan broker internasional, aka broker yang sama untuk membeli saham
Amerika Serikat/US Stocks, untuk membeli T-Bills ini. Lebih jelasnya baca
disini. Menurut penulis sendiri, dengan melihat situasi ekonomi riil dll
dalam 5 – 10 tahun terakhir, maka anda bisa mempertimbangkan untuk menyimpan katakanlah
10 – 20% dari total aset tunai yang anda miliki dalam mata uang USD, lebih
tepatnya dalam bentuk T-Bills ini. And therefore, kita tidak perlu lagi
khawatir jika nanti redenominasi ini pada akhirnya jadi diterapkan.
Atau ketiga, anda bisa pindah negara, but honestly penulis tidak akan melakukan itu karena saya sendiri masih merasa sangat betah tinggal disini. Jadi opsi yang paling masuk akal adalah salah satu dari dua di atas.
***
Live Webinar How to Invest in US Stocks, Sabtu 6 Desember 2025, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

Komentar