Pertanyaan Investor Pemula, dan Jawabannya (Forum)

Setiap kali penulis menyelenggarakan seminar/training value investing, penulis memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya melalui email tentang apa saja, selama itu masih ada hubungannya dengan investasi di saham. Nah, kebetulan ada satu email yang masuk yang sepertinya mewakili mayoritas pertanyaan dari teman-teman investor, khususnya investor yang merasa masih pemula alias newbie. Karena itulah, sekalian saya bikin saja artikelnya. Actually, bagi anda yang baru masuk pasar kurang dari 1 tahun, maka pertanyaan-pertanyaan soal ini dan itu memang seperti tidak pernah ada habisnya. Namun mudah-mudahan artikel ini paling tidak bisa menjawab sebagian dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Bagaimana pengaruh dari beberapa indikator berikut ini terhadap saham dan IHSG? BI Rate, US Rate/Federal Reserve Rate, dan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar. Contohnya, kalau Rupiah melemah maka saham/sektor apa yang terkena imbasnya?

Terkait pengaruh naik turunnya BI Rate terhadap IHSG/saham-saham tertentu, baca lagi penjelasannya disini. Intinya adalah bahwa BI Rate ini merupakan instrumen dari bank sentral, dalam hal ini Bank Indonesia atau BI, untuk mengendalikan inflasi di tanah air dan juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Simpelnya, jika instrumen BI Rate ini bisa ditetapkan pada level yang secara efektif menekan inflasi, sembari disisi lain tetap menjaga atau mendorong pertumbuhan ekonomi, maka perekonomian nasional secara umum akan membaik, dan selanjutnya itu akan memberi dampak positif pada IHSG.


Kalau United States Rate, atau Federal Reserve Rate (Federal Reserve, atau The Fed, adalah BI-nya Amerika Serikat), itu hubungannya dengan dana milik investor asing yang ditanamkan disini, di pasar saham Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia menawarkan tingkat suku bunga yang sebenarnya sangat tinggi (BI Rate terakhir tercatat 7.75%, bandingkan dengan Fed Rate yang cuma 0.25%), namun disisi lain Indonesia juga dianggap sebagai negara yang mengandung risiko investasi yang relatif tinggi. Ini artinya dalam pandangan investor asing, investasi disini menawarkan keuntungan tinggi, tapi disisi risikonya pun tinggi.

Nah, kalau negara-negara maju, katakanlah seperti Amerika Serikat (AS), menaikkan tingkat suku bunganya dimana Fed Rate naik menjadi 0.50%, misalnya maka itu bisa menjadi cukup alasan bagi investor asing untuk memindahkan dananya dari sini ke AS, karena dengan demikian AS menawarkan keuntungan investasi yang lebih tinggi dari sebelumnya, sementara disisi lain risiko investasinya sejak awal dianggap jauh lebih rendah dibanding Indonesia.

Dan kalau dana asing ramai-ramai keluar dari bursa saham Indonesia, maka IHSG juga akan turun.

Tapi berdasarkan pengalaman, efek dari kenaikan atau penurunan Fed Rate itu biasanya cuma sementara. Pada akhirnya, seperti halnya dana domestik juga terus masuk ke pasar saham Indonesia (seiring dengan terus meningkatnya jumlah investor, baik ritel maupun institusi), dana asing juga tetap masuk kesini. Sejak tahun 1997 hingga tahun 2014 kemarin, cuma dua kali dana asing keluar dari BEI, yakni tahun 2005 dan 2013. Selebihnya dana asing terus masuk kesini dengan jumlah yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2014 kemarin bahkan jumlah dana asing yang masuk ke BEI tercatat Rp42.6 trilyun, atau terbesar sepanjang sejarah pasar saham Indonesia.

Terkait pengaruh pelemahan atau penguatan Rupiah terhadap saham/IHSG, kita sudah membahasnya berkali-kali di website ini. Coba anda baca lagi artikel ini, ini, dan ini. Sebenarnya, pelemahan Rupiah, selama masih dalam batas-batas yang wajar, maka pengaruhnya juga terbatas hanya pada perusahaan-perusahaan tertentu saja, yakni perusahaan yang: 1. Membeli produk/bahan baku dari luar negeri alias impor, dan 2. Memiliki utang dalam mata uang US Dollar dalam jumlah yang besar. Diluar itu maka nyaris tidak ada pengaruh apapun. Dalam tiga tahun terakhir, Rupiah sudah terjerembab cukup dalam dari Rp9,000-an hingga terakhir sudah menembus Rp12,500 per Dollar. But still, perekonomian di Indonesia masih berjalan dengan normal dan wajar, dan tidak sampai terjadi krisis atau semacamnya.

Bagaimana pengaruh penurunan harga minyak terhadap saham/IHSG?

Pengaruhnya? Well, harga minyak sudah anjlok dari sebelumnya US$ 90-an per barel hingga terakhir sudah dibawah US$ 50 per barel, atau anjlok hampir separohnya. Tapi nyatanya IHSG masih baik-baik saja bukan? Jadi kenapa khawatir?

Tapi.. okay, penjelasannya begini. Minyak mentah, alias crude oil, bisa disebut sebagai komoditas utama diantara berbagai macam komoditas lainnya yang diperdangkan di pasar futures maupun pasar spot (lho, bedanya futures dan spot itu apa? Tanya google!), seperti gas alam, batubara, CPO, nikel, timah, tembaga, emas, perak, kacang kedelai, jagung, karet, kapas, gula, daaaaan seterusnya. Penulis menyebut minyak ini sebagai ‘komoditas utama’, karena entah kenapa semua pelaku pasar saham di seluruh dunia lebih memperhatikan harga minyak dibanding harga komoditas lainnya. Termasuk di statistik BEI juga selalu dicantumkan harga minyak terbaru, tapi nggak ada harga batubara ataupun CPO. Alhasil, kalau harga minyak turun, maka akan timbul asumsi bahwa pasar komoditas secara umum juga turun, sehingga (meski tidak selalu) harga komoditas-komoditas lainnya juga ikut turun. Dan ketika harga batubara dan CPO turun, misalnya, maka mau tidak mau saham-saham batubara dan perkebunan kelapa sawit juga akan terkena imbasnya. Jika hal ini terjadi secara bersamaan pada banyak saham sekaligus, maka IHSG juga akan ikut tertekan.

However, poinnya disini adalah, kita tidak pernah bisa memprediksi apakah harga minyak (dan juga komoditas-komoditas lainnya) akan naik atau turun dalam beberapa waktu mendatang. Para analis dan chief economist dari bank-bank atau lembaga investasi besar biasanya punya pandangan mereka masing-masing soal bagaimana kira-kira harga minyak kedepannya. Tapi kalau anda tanya Warren Buffett, maka jawabannya cuma satu: I.. don’t.. know. Dan kalau anda tanya penulis, maka jawaban saya juga sama, plus: ...and I don’t care.

Bagaimana dampak krisis Rusia terhadap pasar saham Indonesia?

Sejak tahun 2009 sampai sekarang, penulis pribadi sudah kelewat kenyang dengan berbagai macam isu seperti Krisis Eropa, Krisis Yunani, Debt Ceiling, Fiscal Cliff, United States Shutdown, perlambatan ekonomi di China, Tapering, dan sekarang krisis Rusia... hanya untuk sampai pada kesimpulan bahwa berbagai macam isu tersebut tidak berpengaruh apa-apa terhadap IHSG. Bahkan krisis global yang melanda dunia pada tahun 2008 sekalipun (saya belum masuk pasar ketika itu, jadi artikelnya juga nggak ada), sejatinya tidak benar-benar berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan juga IHSG, kecuali dalam jangka pendek saja. Buktinya, meski IHSG ketika itu (sepanjang tahun 2008) hancur berantakan dimana ia turun lebih dari separuhnya, tapi hanya dalam tempo tak sampai dua tahun selanjutnya dia sudah mau break new high lagi. Ceritanya berbeda dengan krisis 1998, dimana ketika itu memang Indonesia-lah yang terkena krisis. Dan ketika itu, IHSG sampai perlu waktu hingga hampir lima tahun (sampai awal tahun 2004) untuk benar-benar pulih kembali.

Intinya sih, berbagai kejadian krisis dan semacamnya yang terjadi diluar sana, itu hal yang biasa terjadi dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan setelah krisis Rusia ini nanti pasti akan ada cerita 'krisis' lainnya lagi. Sementara kita sebagai investor lebih fokus pada fundamental perusahaan-perusahaan, dan juga perkembangan ekonomi dalam negeri. Penulis juga dulunya sering sekali memperhatikan, bahkan kadang sampai bingung sendiri, ketika mendengar berita bahwa Yunani krisis, Amerika krisis, Bekasi krisis bla bla bla.. (krisis aja terus!). Jadi kalau anda masih pemula, maka saya bisa katakan bahwa adalah wajar jika anda memperhatikan isu krisis Rusia dll, karena saya juga dulu begitu. Tapi suatu hari nanti, anda akan mengatakan sama seperti yang penulis katakan diatas: I don’t care.

Bagaimana cara screening saham yang benar? Poin-poin apa saja dalam laporan keuangan yang harus diperhatikan terlebih dahulu?

Yang ini nanti diajarkan di seminar. Well, sebenarnya di website ini juga sudah diajarkan kok, coba anda cari sendiri artikelnya. Kalau anda baru mengunjungi website teguhhidayat.com ini untuk pertama kali, maka silahkan baca-baca artikel lama (sejak tahun 2010) yang sudah disajikan secara terbuka disini. Semuanya gratis!

Data dari ft.com atau imq21, yang mana yang lebih akurat?

Investor profesional biasanya mengambil data langsung dari laporan keuangan perusahaan dan dokumen-dokumen lain yang terkait, namun jarang atau bahkan tidak pernah mengambil data dari pihak ketiga (seperti FT.com dan lainnya). Jadi bagi kami, data-data yang disajikan oleh pihak ketiga tersebut tidak akurat. Tips bagi investor pemula: Meski awalnya memang sulit, namun biasakan untuk mengerjakan analisis saham milik anda sendiri menggunakan data-data dari sumber primer, yakni laporan keuangan dan dokumen-dokumen lainnya yang bersumber langsung dari perusahaan. Anda bukannya nggak boleh ambil data-data atau analisis dari pihak ketiga, termasuk dari website ini, namun gunakan data pihak ketiga tersebut hanya sebagai alat bantu pengambilan keputusan, atau second opinion, dan bukannya acuan utama dalam menentukan saham mana yang akan anda beli atau jual.

Dan kalau anda tidak bisa atau sejak awal tidak punya waktu untuk mengerjakan analisis, maka pertimbangkan untuk membuka rekening reksadana saja. Meski juga tidak ada jaminan bakal untung, namun risiko investasinya akan lebih rendah dibanding jika anda membeli saham sendiri secara langsung, karena dana anda dikelola oleh fund manager profesional.

Apakah kita bisa memprediksi kapan pasar akan terkoreksi besar-besaran? Jika bisa, bagaimana caranya?

Sejak tahun 2009 sampai sekarang, kami sudah mengalami setidaknya empat kali koreksi pasar yang lumayan besar, yakni Mei 2010, Agustus – September 2011, Mei 2012, dan Juni – Desember 2013 (tahun 2013 ini yang terburuk). Sementara pada tahun 2014 kemarin, boleh dibilang tidak terjadi koreksi yang berarti.

However, setelah empat kali berdarah-darah tersebut, pada akhirnya tetap saja: Kami tidak bisa memprediksi kapan pasar akan terkoreksi, karena bahkan Warren Buffett pun tidak.

Meski demikian, kami bisa menilai pada level berapa IHSG dikatakan sudah terlalu mahal (penjelasannya baca disini), sehingga besar kemungkinannya bahwa dia akan terkoreksi. Meski kita tidak bisa secara persis memprediksi kapan pasar akan turun (atau naik), namun kami biasanya akan segera keluar dari pasar alias cuci gudang besar-besaran, jika kami melihat bahwa 1. IHSG sudah terlalu mahal, 2. Pergerakannya juga mulai bergerak kebawah (downtrend) ditandai dengan gagal break-out dimana, meski IHSG ditutup naik dalam satu hari tertentu, namun posisi penutupannya tetap lebih rendah dibanding posisi penutupan tertinggi beberapa hari sebelumnya, dan 3. IHSG mengalami penurunan signifikan (diatas 1 atau 2%) dalam satu hari. Udah, cuma tiga itu aja tandanya.

Lalu kapan waktunya belanja lagi? Ya kalau penurunannya sudah lumayan dalam hingga IHSG menjadi tidak mahal lagi, dan trend-nya secara teknikal juga mulai berbalik arah lagi menjadi uptrend. Pada prakteknya memang tidak semudah itu dimana dalam kondisi pasar jeblok, maka psikologis kita juga akan ikut terpengaruh (ikut panik) dan hal itu mau tidak mau berpengaruh terhadap cara kita mengambil keputusan. Pada akhirnya, untuk bisa mengatasi koreksi IHSG ini maka solusinya cuma satu: Anda harus pernah mengalaminya sendiri.

Apa itu yang dimaksud dengan EPS dan PER?

Jawabannya baca lagi artikel yang ini.

Okay, sebenarnya masih ada lagi beberapa pertanyaan lainnya, seperti:
  1. Bagaimana cara menganalisis ROE dan ROA? Apakah patokan ROA itu mesti lebih tinggi dibanding BI Rate?
  2. Analisis hutang cukup dilihat dari DER saja? Atau ada lagi yang lain?
  3. (Khusus bagi anda yang technicalist) Bagaimana cara melihat bahwa sebuah saham sudah overbought atau oversold?
  4. Apa itu yang dimaksud dengan trading plan? Bagaimana cara anda dalam menyusun/membuat trading plan? Apa-apa saja yang perlu dicatat dalam buku ‘diary’ seorang investor?

Daaannn seterusnya.. However, berhubung artikel ini sudah cukup panjang dan saya juga sudah capek ngetiknya (anda bisa lihat dari pertanyaan terakhir diatas yang jawabannya singkat banget), maka selebihnya saya serahkan kepada teman-teman yang mungkin juga bisa kasih pencerahan bagi teman-teman lainnya yang masih pemula. Anda bisa menulis jawabannya melalui kolom komentar dibawah.

Komentar

Anonim mengatakan…
Ijinkan saya untuk sedikit berkomentar dan harap saudara Teguh tidak keberatan bila ada perbedaan pandangan yang cukup signifikan terutama dalam hal fundamental MAKRO.

"Jadi kalau anda masih pemula, maka saya bisa katakan bahwa adalah wajar jika anda memperhatikan isu krisis Rusia dll, karena saya juga dulu begitu. Tapi suatu hari nanti, anda akan mengatakan sama seperti yang penulis katakan diatas: I don’t care."

Pandangan saudara ini sangat arogan menurut pandangan saya dan delusional mengingat "butterfly effect" dari pasar finansial dan pasar uang. Krisis finansial di satu negeri atau regional bisa berimbas luas , dari endemik menjadi global. Silahkan baca-baca lagi sejarah krisis global termasuk krisis moneter '97 tercinta di SEA yang sebelumnya didahului Tequila Crisis '95 yang kemudian Russia menyusul '98 dan US juga menerima nikmatnya "Crash" Dot-Com Bubble di tahun 2000 setelah rally kencang sejak '97. Argumen bantahan satu krisis dan krisis lain tidak terkait bisa digelontorkan dan diperdebatkan namun larinya aliran dana dari satu tempat ke tempat lain akibat krisis tidak bisa dibantah juga, dunia ini terkoneksi oleh uang.

Apalagi anda sendiri mengakui bahwa baru masuk pasar 2009 ketika triliunan dollar untuk Bail Out akibat Lehman dan AIG yang juga mengawali currency war baik oleh BOJ dengan abenomics-nya , EU dan tentunya US juga tak lupa sang juru selamat yang mulai keteteran belakangan ini China)yang dengan sendirinya menikmati gelontoran kredit murah dan likuiditas luar biasa besar yang tentunya deras masuk ke Indonesia juga dan volatilitas yang relatif rendah karena ada penjamin kredit oleh Central Banks raksasa.

Saya tidak mengatakan pasar akan crash dalam waktu dekat karena memang Central Banks dan kemungkinan triliunan stimulus baru dari Draghi akan menyusul pengaruhnya sangat besar dalam men-direct pasar.

Namun kita juga harus mengakui bahwa 6 tahun ini Eropa belum keluar dari resesi , pertumbuhan US belum sesuai target meski secara data sudah lebih membaik dan tentunya problematika di Jepang yang belum berhasil memacu ekspor walau koreksi Yen sedikit banyak sudah mengarah pada titik yang dikehendaki. Selain itu gejolak geopolitik yang tak kunjung mereda bahkan cenderung memanas tidak bisa dipisahkan dari kondisi ekonomi makro yang memang masih kembang kempis walau sudah diinjeksi dengan hujan UANG.

Secara Internal , kebijakan BI lebih banyak dipengaruhi faktor CORE diluar negeri. Mempertahankan nilai tukar dengan menaikkan rate namun disisi lain likuiditas kredit perbankan tertekan sehingga baik kebutuhan modal kerja maupun investasi dari perusahaan dalam negeri lebih sulit dan mahal , selain itu kebijkan LTV yang menyebabkan mulai kendor dan lesunya pasar properti di 2014 lalu menambah bumbu-bumbu penekan GROWTH Indonesia.

Sementara export kita juga tertekan mengingat harga CPO , karet dan tentunya si hitam COAL yang terus mengalami kontraksi sejak 2012 - coal yang sempat menyentuk kisaran 139 usd/mt di 2011 dan saat ini di kisaran 60-61- , manufaktur kita juga mengalami tantangan dari pasar yang lebih efisien di sekitar SEA terutama si merah Vietnam yang berlari kencang , alhasil menekan impor diimbangi dengan tekanan permintaan yang notabene tidak membuat keadaan lebih cerah.

Sebelum komentar ini menjadi lebih panjang lagi , saya ingin menyimpulkan bahwa masing-masing orang mempunyai cara pandang dan pendekatan sendiri-sendiri , saya tidak mendiskreditkan orang-orang yang lebih banyak memandang faktor fundamental internal perusahaan ,karena saya juga setuju bahwa yang utama adalah perusahaan itu sendiri, namun menutup mata akan perkembangan ekonomi global / makro tidaklah bijak menurut hemat saya.

“What goes up must come down.” - Isaac Newton
Quote ini dipilih bukan hanya karena relevan namun juga Newton sang cendekiawan juga larut dalam euforia South Sea Bubble...yes , seorang Newton
Teguh Hidayat mengatakan…
Halo Pak Anonim, meski sedikit 'berat' tapi kami hargai pendapatnya :) Mudah-mudahan temen-temen yang lain juga ikut berpartisipasi.

Intinya sih, kami juga bukannya menutup mata sama sekali pada perkembangan ekonomi diluar sana. Kalau pada tahun 2008 lalu kami sudah masuk pasar dan mendengar bahwa institusi sebesar Lehman Brothers bangkrut dan meninggalkan utang sebesar US$ 900 milyar (setara Rp10,000 trilyun, dan angka tersebut bahkan sudah lebih besar dari GDP nasional Indonesia), maka kami juga pasti do something dan tidak akan mengatakan 'We don't care', karena itu adalah kejadian yang masuk kategori LUAR BIASA yang sedikit banyak pasti memiliki dampak terhadap perekonomian di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada kasus dot com bubble di awal tahun 2000-an, ketika itu juga banyak perusahaan IT yang bangkrut termasuk yang besar-besar, dan ini juga bisa disebut sebagai peristiwa luar biasa, yang pastinya tidak bisa diabaikan.

Yang kami maksud dengan krisis yang kami tidak peduli terhadapnya, adalah 'krisis' yang masih dalam tanda kutip, yang tidak benar-benar berpengaruh signifikan karena skala peristiwanya yang kecil, atau bahkan krisis itu sendiri sebenarnya tidak pernah terjadi. Contohnya pada tahun 2011 lalu, ketika itu terjadi Krisis Yunani. Tapi yah, sebesar apa sih nilai GDP Yunani ini? Kalau ketika itu negara yang lebih besar seperti Jerman juga ikut terkena imbas krisis, maka barulah kami akan do something (saya pernah menulis artikelnya dulu, coba baca lagi). Actually, ketika pada tahun 2011 tersebut kami mendengar bahwa Italia dan Portugal turut terseret krisis (meski tidak separah Yunani), maka kami juga tetap menaruh concern.

Sementara 'Krisis Rusia', meski Rusia ini memang negara yang cukup besar (GDP nomor delapan di dunia) dan dampaknya bisa sangat hebat kalau dia benar-benar krisis, namun kami belum mendengar ada institusi besar yang bangkrut disana, atau terjadinya peristiwa luar biasa lainnya. Kalau sekedar melemahnya Rubel dan hal-hal semacam itu, maka belum ada yang perlu dikhawatirkan. Sekitar satu atau dua tahun lalu, kami sempat bingung sendiri ketika terjadi 'United States Shutdown' dan mengira bahwa terjadi krisis di Amerika sana, sebelum kemudian kami menyadari bahwa itu tidak lebih dari peristiwa politik antara Obama vs The House, dan bukan benar-benar karena masalah ekonomi.

Poin kami disini sebenarnya adalah, seringkali investor yang masih baru bisa dengan mudah panik dan kebingungan ketika mendengar rumor-rumor 'krisis' atau semacamnya, kemudian bertindak irasional karenanya. Sementara investor yang lebih berpengalaman, kita sudah bisa membedakan mana krisis di luar negeri sana yang memiliki 'butterfly effect', dan mana krisis yang tidak memiliki dampak apa-apa. Pada jenis krisis yang disebut kedua inilah, saya bisa bilang I don't care.

Diluar 'krisis', maka untuk perubahan harga komoditas, dalam hal ini batubara dan CPO, maka itu memang ada pengaruhnya terhadap ekonomi nasional karena dua komoditas tersebut merupakan komoditas ekspor utama di Indonesia. Di artikel berjudul 'Tantangan Ekonomi Presiden Jokowi', kamis sudah membahas soal itu. Di artikel diatas juga sudah ditulis bahwa kalau harga batubara dan CPO turun, maka IHSG bisa ikut tertekan.

Okay, sepertinya diskusinya sudah dimulai. Ada lagi yang mau menambahkan?
Yudhistya mengatakan…
Mungkin kita berpikir terlalu rumit, seperti resesi eropa. Padahal walaupun resesi, eropa masih baik saja. penduduknya beraktivitas, bekerja, berkarya, dan belanja.

Bisnis naik turun, demikian pula perekonomian. Bisnis hebat tentunya yang selalu naik walaupun teman-temannya naik turun secara wajar.

Memasukkan faktor-faktor seperti krisis, BI rate, Fed dll akan bagus untuk bargain hunter.

sementara untuk yang lebih simpel, tinggal melihat dan menunggu. Taruh uang dalam bentuk likuid atau kas saat harga mahal. walaupun trkesan tak mungkin, harga tetep akan turun. suatu hari nanti.

melihat, mana saja bisnis yang mampu tetap menaikkan untung setiap tahun

menunggu ketika tuan pasar sedang jelek moodnya sehingga harganya menjadi benar-benar wajar.

berapa harga wajar sebuah bisnis? jika PBV = 1. Diatas itu tentu saja bukan wajar lagi.

tidak mungkin saham bagus akan menjadi PBV 1 atau dibawahnya. benarkah?
Unknown mengatakan…
komen menarik dari bung anonim.
Saya mohon maaf tdk bermaksud menggurui atau sotoy

berkaca pada thn 2013, dimana investor asing ramai ramai keluar bursa ya mereka sebenarnya melihat kondisi makro kita.

kita tidak bisa bilang "We don't care" apabila perusahaan yang kita hold merupakan perusahaan yang bergantung kepada kondisi makro spt Si Batubara, ya sebaiknya ikut keluar saja alias cut loss

Pak Lo Kheng Hong saja sudah mengurangi portonya di Petrosea (PTRO), buktinya saham tsb terus turun sejak awal bung teguh rekomendasikan di harga 1300 an. namun saat ini turun tajam hingga 920 perak doank.

Beda PTRO beda UNVR, UNVR relatif tidak terpengaruh makro, buktinya UNVR naik kencang walaupun PER, PBV nya selangit,

KLBF, ICBP, JSMR juga naik kencang walaupun mahal secara value nya.

Kalo fakta di lapangan spt ini, Boleh jadi value investing berbahaya bagi investor pemula yang "don't care" data data makro

mhon maaf bila kurang berkenan
salam sesama investor
Anonim mengatakan…
Saya sependapat dgn pak teguh, dari sudut pandang investor krisis diartikan sebagai kesempatan emas. Investor bukan suka dengan krisisnya tapi harga perusahaan yang ditawarkan di pasar saat krisis benar2 menarik sehingga sangat sayang untuk dilewatkan. Kalau pasar berkembang atau ekonomi menjadi bubble, harga2 perusahaan menjadi mahal sehingga sangat sulit mencari harga tawar perusahaan yang murah
Anonim mengatakan…
Kalau saya kurang sependapat dengan Pak Teguh, suatu krisis pasti mendapat perhatian investor dan dari analisa terhadap krisis tsb baru seorang investor mengambil tindakan. apakah akan tetap hold dan 'don't care' atau akan keluar.

Seorang yang telah menganalisa fundamental suatu perusahaan dan yakin akan tidak berpengaruh pada portofolionya tentu akan tenang saja

saya berpendapat yang perlu diperhatikan adalah :
1. Apa pengaruhnya krisis tsb terhadap perusahaan?
2. Apakah Fundamen perusahaan masih dapat bertahan thd krisis?
3. Sejauh mana pengaruh Laba perusahaan yang akan datang akibat krisis tsb?
4. Apakah terjadi perubahan SDM perusahaan?
5. Apakah Anda Yakin bahwa nilai saham Anda akan naik dimasa mendatang?
furasesa mengatakan…
Saya suka artikel dan pendapat dari beberapa anonim. Saya newbie, atau bahkan newcomer. :D
Unknown mengatakan…
saya marzuki dari banjarmasin.
saya sedang mengerjakan proyek perumahan sebanyak 75 unit type 45m2.
yang jadi pertanyaan,
jenis dana investasi yang cocok untuk proyek saya apa ya?
mohon pencerahannya.

tolong kirim juga jawabannya lewat email abdanmarzuki@yahoo.com

terima kasih.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)