Ekonomi Bagus, Kenapa Saham Turun?

Ada yang menarik ketika Dow Jones turun nyaris 1,200 poin pada hari Senin, 5 Februari lalu, dan itu bukanlah fakta bahwa penurunan tersebut merupakan penurunan terbesar Dow dalam-satu-hari sepanjang sejarah (dari sisi poin, bukan persentase), melainkan respon Presiden Trump melalui akun Twitter-nya: ‘Di masa lalu, ketika berita baik keluar maka pasar saham akan naik. Tapi hari ini, ketika berita baik keluar pasar saham justru turun. Ini kesalahan besar! Dan kita punya banyak berita baik terkait perekonomian Amerika!’

Dan meski kemudian muncul berbagai respon positif dan negatif atas tweet tersebut, tapi logika pertanyaannya memang masuk akal: Kenapa kok pasar saham Amerika turun justru ketika berita baik terkait rendahnya angka pengangguran dll keluar? Bukankah berita baik seharusnya menjadi sentimen positif bagi pasar saham??

Tapi jika anda sudah cukup berpengalaman di stock market, maka anda akan hafal bahwa ini bukan kali pertama terjadi peristiwa saham turun ketika keluar good news, atau sebaliknya saham naik justru ketika keluar bad news, melainkan itu sudah sering terjadi sejak dulu. Contoh paling baru, pada April – Mei 2017 lalu, saham-saham batubara turun rata-rata 10 – 20%, justru setelah Harum Energy (HRUM) dkk melaporkan kenaikan laba bersih yang cukup signifikan di laporan keuangan (LK) mereka untuk Kuartal I 2017.

Namun jika anda memperhatikan, maka akan juga tampak fakta bahwa saham-saham batubara sudah naik jauh sebelum para emitennya melaporkan kenaikan laba bersih. Pada contoh saham HRUM, pada September 2016 sahamnya masih di level 1,000-an, sebelum kemudian naik dengan cepat hingga hampir saja tembus 3,000 pada awal April 2017. Jadi meski di bulan Mei-nya HRUM kembali turun hingga mentok di 2,000, tapi secara keseluruhan jika dihitung dari September 2016 tersebut, maka HRUM ini, demikian pula dengan saham-saham batubara lainnya, tetap terbilang naik signifikan.

Apa Itu Teori ‘Price In’?

Tapi pertanyaannya balik lagi: Kenapa kok saham-saham batubara sudah naik duluan sebelum para emitennya merilis LK, dan justru turun setelah LK tersebut dirilis? Nah, dalam hal ini penulis hendak memperkenalkan satu istilah yang mungkin tidak akan anda temukan di buku-buku text book tentang investasi saham: Price In Theory. Harap baca bagian ini baik-baik: Yang dimaksud dengan price in adalah suatu keadaan dimana harga sebuah saham sudah berada pada level yang mencerminkan/selaras dengan fundamental perusahaan dan/atau isu-isu yang beredar terkait perusahaan tersebut. Dalam hubungannya dengan indeks saham seperti Dow Jones dan IHSG, maka price in adalah keadaan dimana posisi indeks sudah mencerminkan fundamental ekonomi negara, dan juga selaras dengan berita-berita ekonomi (dan politik) nasional.

(Catatan: Kalau di dunia trader saham, maka price in theory, meski tidak sama persis, adalah kurang lebih sama dengan istilah buy on rumors, sell on news!).

Jadi kronologisnya seperti ini. Pertama, harga batubara mulai naik, dan semua orang bisa melihatnya. Kedua, karena harga batubara naik, maka muncul harapan alias ekspektasi bahwa emiten-emiten batubara akan membukukan kenaikan laba. Ketika ‘harapan’ ini semakin menguat, maka para investor, terutama mereka yang menyadari bahwa valuasi saham-saham batubara sudah kelewat murah (pada September 2016, ada banyak saham batubara yang PBV-nya cuma nol koma sekian), akan mulai membeli saham batubara bahkan meski emiten yang bersangkutan masih membukukan penurunan laba atau bahkan rugi. Alhasil, saham-saham batubara mulai naik. Ketiga, para emiten batubara akhirnya merilis LK dimana kinerja mereka indeed bagus, tapi ketika itu saham-saham batubara sudah naik tinggi hingga valuasinya tidak murah lagi/sudah match dengan LK terbaru tersebut, sebagian malah sudah kelewat mahal. Pada titik inilah beberapa investor yang ‘curi start’ membeli saham-saham batubara di harga bawah, ketika itu dengan ekspektasi bahwa LK-nya bakal bagus dan kemudian ekspektasi tersebut tercapai/sudah ‘price in’, akan mempertimbangkan untuk profit taking dulu. Karena mereka menyadari bahwa agar saham-saham batubara bisa naik lebih tinggi lagi, maka dibutuhkan ekspektasi yang baru lagi.

Dan ketika sudah tidak ada/belum muncul lagi ekspektasi yang baru tersebut, maka para investor ini kemudian jualan. Inilah yang kemudian menyebabkan penurunan saham-saham batubara di bulan Mei, yakni justru ketika para emiten sudah merilis LK terbaru mereka. Tapi karena yang jualan hanyalah mereka yang beli HRUM dkk di harga bawah (sementara orang-orang yang baru masuk ke saham batubara di harga atas, mereka gak akan jualan karena posisinya masih nyangkut, dan mereka tidak akan cut loss karena toh nyatanya kinerja emiten batubara terbilang bagus), maka penurunan yang terjadi tidak terlalu dalam, dan tidak sampai mengembalikan saham-saham batubara ke level sebelum mereka mulai rally, September 2016 lalu.

Pergerakan indeks saham-saham tambang dalam setahun terakhir. Perhatikan bahwa indeks tambang turun signifikan pada bulan Mei 2017 (kotak merah), tapi beberapa waktu kemudian naik lagi

Nah, jadi bisa disimpulkan bahwa penurunan yang terjadi pada saham-saham batubara di bulan Mei 2017 merupakan koreksi sehat, yang bukan disebabkan karena para perusahaan batubara melaporkan kinerja jelek, tapi justru karena saham-saham batubara sudah naik tinggi sebelumnya hingga harganya sejak awal sudah match/sudah price in dengan kondisi fundamental terbaru perusahaan. Berbeda dengan penurunan saham berkepanjangan karena adanya masalah fundamental, ‘koreksi sehat’ seperti ini biasanya tidak akan terjadi terlalu lama dan juga tidak akan terlalu dalam, dan lebih merupakan 'istirahat sejenak sebelum nanti mulai jalan lagi'. Dan memang terbukti, saham-saham batubara pada hari ini sudah lebih tinggi dibanding posisi tertinggi mereka (sebelum terkoreksi) pada April 2017 lalu.

Kenapa muncul bad news ketika sebuah saham/indeks saham turun?

Jadi balik lagi ke penurunan Dow Jones: Kenapa pada 5 Februari lalu Dow turun signifikan justru ketika data-data ekonomi Amerika menunjukkan angka-angka yang bagus? Ya itu karena Dow memang sudah naik banyak sejak dua tahun sebelumnya, ketika itu memang karena di-drive oleh ekspektasi terkait pulihnya kondisi ekonomi. Jadi ketika ekspektasi tersebut akhirnya terpenuhi, dimana ekonomi Amerika sekarang ini lagi bagus-bagusnya, maka justru inilah saatnya untuk keluar dulu. However, karena yang jualan hanyalah mereka yang mulai belanja saham ketika Dow dua tahun lalu masih di 18,000-an, maka kecuali terjadi peristiwa ekonomi politik yang serius, penurunan Dow tidak akan terlalu besar/tidak akan sampai balik lagi ke level 18,000 tersebut.

Tapi Pak Teguh, seperti yang anda bahas di artikel minggu lalu, kenapa ketika Dow turun total 10.3%, berita yang kemudian muncul di media-media mainstream adalah bad news terkait inflasi, dan bukannya soal ‘price in’ ini? Well, itu karena untuk bisa mengerti bahwa harga atau valuasi sebuah saham sudah match/sudah price in atau belum dengan fundamentalnya, maka seorang investor haruslah mengerti tentang analisis fundamental itu sendiri, dan khususnya mengerti soal metode value investing. Dan problemnya, jangankan orang awam, dua orang value investor yang sama-sama berpengalaman sekalipun bisa saja berbeda pendapat tentang apakah saham A yang naik dari harga 500 ke 1,000 itu sudah price in dengan kinerja fundamental terbaru perusahaan, atau belum?

Karena itulah, kalau misalnya para broker dan analis sekuritas menerima pertanyaan dari nasabahnya dan wartawan terkait jatuhnya Dow, dan mereka kemudian menjawab, ‘Soalnya valuasi Apple dkk emang udah mahal pak, jadi ya harus turun dulu’, maka mereka akan diberondong pertanyaan lanjutan: ‘Tau dari mana kalau Dow sudah mahal?’ ‘Gimana cara ngitungnya?’ ‘Jadi Dow harusnya berada di level berapa??’ (karena, honestly, jangankan di Indonesia, di negara maju seperti Amerika sekalipun, sangat sedikit investor yang benar-benar menganalisa saham pake analisis fundamental/kaidah value investing).

Tapi kalau para broker dan analis bisa menemukan ‘peristiwa penting’ untuk menjelaskan penurunan Dow, dalam hal ini cerita soal inflasi tadi (meski ceritanya sebenarnya mengada-ngada), maka soal inflasi itulah yang kemudian menjadi kambing hitam, tapi setidaknya itu akan cukup untuk membuat orang-orang ngomong, ‘Oh, jadi Dow turun karena itu toh!’ Padahal Dow turun ya bukan karena inflasi atau apapun itu, melainkan karena faktor price in tadi (anda bisa membaca lebih lanjut soal ‘penyebab keluarnya bad news setiap kali saham turun’, di artikel ini).

Anyway, jadi sekarang anda mengerti bahwa, seperti yang penulis sampaikan di artikel minggu lalu, terdapat dua penyebab turunnya saham/indeks saham. Yang pertama adalah karena faktor fundamental/terjadi penurunan kinerja perusahaan, dan kedua karena faktor price in ini. Sudah tentu, untuk bisa membedakan keduanya maka anda harus telebih dahulu paham soal fundamental perusahaan, valuasi saham, hingga makroekonomi serta analisis industri/sektoral. Tapi yah, meski memang bikin bingung pada awalnya, tapi kalau sudah terbiasa maka itu nggak sulit kok :) Anda tinggal baca-baca lagi saja artikel-artikel lama di blog ini.

Kecuali ada peristiwa penting, untuk minggu depan kita akan bahas satu saham bagus dan (masih) murah, yang kinerjanya di Full Year 2017 barusan beyond expectation.

Penulis membuat Buku Kumpulan Analisis Saham Pilihan (‘Ebook Kuartalan’) edisi Tahun Penuh 2017. Anda bisa memperolehnya disini.

Jadwal Seminar: Value Investing Advanced Class, Jakarta, Sabtu 17 Maret 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Anonim mengatakan…
Bagus tulisannya Pak. Bahas saham-saham "gocapan" (maksimal 75 perakan lah) yang berpotensi naik dong. Baik dan buruknya saham-saham jenis ini.
Unknown mengatakan…
Pak sorry agak melenceng mau tanya sedikit valuasi wajar untuk PTPP & BBRI ada di angka brp ya menurut bapak? Kalau saya hitung pakai pendekatan eps growth untuk BBRI ada di sekitar 3.650 kalo PTPP blm sempat hitung. Matursuwun
Unknown mengatakan…
Ok, pak Teguh.Terimakasih... Salam sukses

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia