Saya Akan Borong Saham Bukalapak! Tapi Ini Syaratnya

Dalam banyak kesempatan, misalnya pada ulasan berikut, penulis sudah menegaskan bahwa saya tidak tertarik untuk membeli saham PT Bukalapak.com, Tbk (BUKA), entah itu melalui IPO-nya atau beli di pasar. Demikian pula ketika saya pada bulan Juli 2021 lalu diundang Kompas TV untuk diskusi soal prospek IPO Bukalapak, maka dari empat narasumber yang hadir, hanya saya yang secara gamblang menyatakan bahwa BUKA ini gak bagus. Anda bisa menonton lagi video diskusinya disini.

***

Video Seminar Value Investing: Basic & Advanced, terbaru tahun 2022, sudah bisa diperoleh disini, gratis daftar live webinar hari Sabtu 12 Februari, langsung dengan penulis (Teguh Hidayat).

***

Dan memang beberapa bulan kemudian, hari ini saham BUKA sudah tersungkur di 368, anjlok hampir 60% dari harga IPO-nya di 850. Tapi karena saham BUKA sempat lompat sampai menyentuh 1,325, maka kerugian investor bisa jadi lebih besar lagi! Karena mereka ada juga yang modalnya di 1,000-an. Sayangnya, mengingat bagaimana hype-nya saham ini ketika IPO beberapa waktu lalu, maka jumlah ‘korban’ di saham BUKA ini tidak bisa disebut sedikit. Berdasarkan laporan registrasi pemegang efek BUKA, maka per Desember 2021, terdapat 124 ribu investor ritel, baik individu maupun institusi, yang memegang saham BUKA. Sebagai perbandingan, saham TLKM yang merupakan ‘menu wajib’ fund manager reksadana dan investor asing, dan dengan market cap yang jauh lebih besar, pada periode yang sama dipegang oleh 153 ribu investor. Bedanya tentu, tidak seperti investor di BUKA, para pemegang saham TLKM ini bisa tersenyum lebar.

Anyway, kalau dari sudut pandang para founder perusahaan, maka IPO BUKA kemarin itu sukses besar, dimana BUKA meraup uang tunai bersih Rp21.3 trilyun (hasil IPO Rp21.9 trilyun dikurangi biaya IPO-nya Rp575 milyar). Dan dari jumlah tersebut, maka per Desember 2021, baru sekitar Rp1.7 trilyun yang sudah digunakan sesuai rencana penggunaan dana di prospektus IPO-nya, yakni untuk modal kerja, sehingga sisanya masih sangat banyak. Pertanyaannya, sisa dana ini akan digunakan untuk apa? Jika kembali untuk ‘modal kerja’, misalnya untuk terus promosi dengan tujuan meningkatkan jumlah user aplikasi Bukalapak dst, maka ada satu concern: Saat ini BUKA sudah merupakan situs ecommerce terbesar keempat di Indonesia, di belakang Shopee, Tokopedia, dan Lazada. Masalahnya, ketiga ecommerce yang lebih besar dari BUKA tersebut posisinya sangat kuat karena didukung oleh pemodal besar: Shopee dimiliki oleh Sea Group, Tokopedia dimiliki oleh Softbank, dan Lazada dimiliki oleh Alibaba Group. Dengan kata lain, bahkan meskipun BUKA kedepannya kembali ‘bakar duit’ jor-joran untuk promo gratis ongkir dst, tapi tetap saja hampir mustahil untuk naik peringkat menjadi ecommerce terbesar No.1 di Indonesia. Bagi BUKA, jauh lebih realistis untuk mempertahankan posisinya saat ini sebagai ecommerce terbesar No.4, dalam hal ini agar beberapa ecommerce lainnya yang peringkatnya lebih rendah seperti Blibli, JD ID, dan Zalora, tidak sampai menyalip posisi mereka.


Sehingga, alih-alih lanjut bakar duit, maka sebagian besar dana hasil IPO itu bisa diinvestasikan di usaha lain, dan hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk modal kerja dalam rangka mempertahankan posisinya sebagai ecommerce No.4 itu tadi. Pada akhirnya, BUKA tidak perlu menjadi No.1 untuk bisa meraup keuntungan, dimana kalau di Amerika Serikat misalnya, maka eBay itu jauh lebih kecil dibanding Amazon. Tapi toh perusahaan tetap sukses membukukan laba bersih sekian milyar Dollar per tahun.

Nah, jadi inilah kenapa pada 23 Desember 2021 lalu, BUKA menyelenggarakan RUPS untuk meminta persetujuan pemegang saham terkait perubahan rencana penggunaan dana hasil penawaran umum, dimana pada rencana yang baru ditambahkan poin sebagai berikut: Selain untuk modal kerja, dana hasil IPO juga akan digunakan untuk membeli saham dan/atau aset, dan/atau penyertaan saham pada satu atau lebih perusahaan, termasuk dalam perusahaan patungan (joint venture). Lalu pada 18 Januari 2022, BUKA resmi membeli 2.5 milyar lembar saham PT Allo Bank Indonesia, Tbk (BBHI) dengan cara menebus right issue BBHI, pada harga Rp478 per saham. Sehingga dalam hal ini BUKA keluar dana Rp1.2 trilyun. Kedepannya, kemungkinan akan ada lagi pembelian saham atau akuisisi yang dilakukan oleh BUKA, sehingga dalam hal ini BUKA akan menjadi semacam perusahaan holding dengan kepemilikan di banyak perusahaan, entah itu secara mayoritas maupun minoritas. Mirip-mirip seperti Berkshire Hathaway-nya Warren Buffett, yang meski dulunya merupakan perusahaan tekstil, tapi karena bisnis tekstil itu sendiri tidak lagi menguntungkan, Buffett kemudian menjual semua pabrik-pabrik tekstil milik perusahaan, dan menggunakan uangnya untuk membeli saham/akuisisi perusahaan lain pada harga diskon, dan hasilnya Buffett menjadi salah satu orang terkaya di dunia seperti sekarang. Bedanya tentu, BRK gak pernah IPO pada harga mahal dengan cara pompom bahwa sahamnya adalah ‘The Next Amazon’ atau semacamnya, sehingga meninggalkan trauma bagi ratusan ribu investor nubie yang belum mengerti apa-apa. Tapi yah, welcome to Indonesia!

Anyway, sampai sini anda sudah mengerti jalan pemikiran penulis bukan? Okay sekarang kita runut lagi: BUKA selama ini memang rugi terus, bakar duit terus, tapi kedepannya mereka akan mengubah strategi dan gak bakar duit lagi. Sehingga asalkan perusahaan bisa mempertahankan posisinya sebagai ecommerce terbesar keempat di Indonesia, dimana pendapatannya stabil seperti sekarang yakni di level Rp1 – 2 trilyun per tahun, maka dengan asumsi beban penjualan dan pemasarannya turun signifikan (karena itu tadi, perusahaan akan mengurangi bakar duit), maka eventually ruginya akan berbalik menjadi laba, meski mungkin angkanya akan kecil/asal nggak minus saja. Hal ini juga kelihatan dari total kewajibannya yang hanya Rp1.1 trilyun, dimana tidak ada dari kewajibannya tersebut yang merupakan utang bank/obligasi, yang itu artinya manajemen sudah tidak ada lagi rencana ekspansi untuk usaha ecommerce-nya, melainkan menjalankan operasional yang sudah ada saja.

Sehingga dalam jangka panjangnya hingga 5 – 10 tahun kedepan, mayoritas keuntungan yang akan dihasilkan oleh BUKA sama sekali bukan dari operasional ecommerce-nya, melainkan dari investasinya di Allo Bank dan lain-lain. Sekarang perhatikan: BUKA membeli saham BBHI pada harga Rp478 per saham, sedangkan harga saham BBHI di pasar mencapai.. 6,100. Sehingga berdasarkan nilai pasar saham BBHI, maka pada laporan keuangannya di periode Kuartal I 2022 nanti, BUKA sudah bisa mengakui keuntungan sekian trilyun Rupiah meski hanya diatas kertas (belum ada duitnya karena BUKA belum kembali menjual saham BBHI tersebut). Untuk kedepannya, BUKA bisa memperoleh keuntungan yang riil/tidak lagi bersifat di atas kertas, dalam bentuk: 1. Dividen, 2. Realisasi capital gain atas penjualan saham, dan 3. Bagian laba bersih atas entitas asosiasi. Nah sejak awal, kesuksesan BUKA meraup dana lebih dari Rp20 trilyun dari IPO-nya menunjukkan bahwa para founder-nya memang merupakan para ahli keuangan termasuk ahli investment banking (seperti Hary Tanoesoedibjo, atau Sandiaga Uno), tapi bukan ahli ecommerce itu sendiri. Sehingga penulis percaya bahwa mereka juga akan mampu mengelola dana Rp20 trilyun tersebut untuk menghasilkan keuntungan, dalam hal ini keuntungan investasi, bagi BUKA. Pada akhirnya hanya 25% saham BUKA yang dimiliki oleh publik, jadi bisa dikatakan bahwa perusahaan tetap dikuasai oleh para founder (sehingga para founder ini akan cuan jika BUKA cuan). Kemudian BUKA juga bisa saja melakukan buy back sahamnya sendiri di pasar, sehingga porsi kepemilikan publik akan berkurang.

Berapa harga wajar saham Bukalapak?

Problemnya, bahkan pada harganya saat ini yakni 368, yang mencerminkan PBV 1.6 kali, maka saya menganggap bahwa BUKA ini masih agak mahal, karena kenyataannya perusahaan sampai dengan akhir tahun 2021 masih merugi. Dan kalau nanti mulai tahun 2022 BUKA membukukan laba karena ‘keuntungan investasi’-nya di saham BBHI (ini jika kepemilikannya di BBHI dicatat berdasarkan nilai pasar, penjelasannya baca disini), maka ingat sekali lagi bahwa laba itu tidak riil/hanya diatas kertas.

Namun demikian, jika kita lihat lagi komposisi neraca-nya termasuk nilai aset kas-nya yang jumbo, maka baru ceritanya berbeda. Menurut Warren Buffett, saham sebuah perusahaan bisa dikatakan sangat murah jika market cap-nya lebih rendah dari working capital, dimana rumus working capital adalah aset lancar dikurangi liabilitas lancar. Per Kuartal III 2021, BUKA mencatat aset lancar Rp24.2 trilyun (termasuk uang tunai Rp23.6 trilyun), yang setelah dikurangi liabilitas lancar Rp965 milyar, bersihnya adalah Rp23.2 trilyun. Jika dibagi jumlah saham beredar BUKA yakni 103 milyar lembar, maka hasilnya adalah Rp225 per saham.

Nah! Jadi jika saham BUKA lanjut turun sampai mendekati, menyentuh, atau lebih rendah dari 225, maka barulah sahamnya layak investasi berdasarkan kaidah value investing karena: 1. Valuasinya sudah murah, 2. Prospek perusahaan cukup cerah bukan sebagai perusahaan ecommerce, melainkan perusahaan investasi. Jika benar bahwa kedepannya perusahaan tidak lagi bakar duit, dan mampu mengelola dana hasil IPO-nya secara optimal untuk menghasilkan keuntungan, maka nilai working capital-nya yang Rp225 per saham tadi akan pelan-pelan bertumbuh seiring berjalannya waktu.

Problemnya tentu, kita tahu bahwa GCG/kualitas manajemen BUKA sama sekali tidak bisa disamakan dengan Berkshire Hathaway, bisa dilihat dari proses dan bahasa pompom IPO-nya yang sukses mencuci otak para investor hingga mereka berbondong-bondong membeli sahamnya. Okay, dalam hal ini para founder BUKA ga salah juga, karena tidak ada peraturan hukum yang melarang hal ini. Tapi yang jelas manajemen BRK tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan hal yang sama.

Sehingga jika kita tidak mau tawar menawar soal GCG ini, maka saham BUKA tetap tidak layak invest pada harga berapapun. Tapi jika anda bisa mengesampingkan soal GCG, maka boleh tunggu hal-hal berikut: Saham BUKA turun lebih lanjut, dan perusahaan akhirnya membukukan laba bersih di laporan keuangannya, baik itu yang bersifat riil maupun tidak, seiring dengan aksi korporasi perusahaan yang kembali membeli/akuisisi saham perusahaan tertentu. Nah, jadi mari kita lihat perkembangannya beberapa kuartal dari sekarang.

Minggu depan kita akan bahas prospek IPO Net TV.

***

Ebook Market Planning (EMP) edisi Februari 2022, berisi update analisa pasar/IHSG, rekomendasi saham bulanan, dan info jual beli saham, akan terbit tanggal 1 Februari 2022. Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.

Dapatkan postingan via email

Komentar

Anonim mengatakan…
yang aneh kok BUKA ini Bisa IPO segitu gede dan tidak mempunya arah yang jelas untuk penggunaan dan IPO nya di bisnis intinya yaitu e commerce, dan akhirnya beralih menjadi bisnis investasi dan akan jualan saham 3 tahun lagi :D
Anonim mengatakan…
itu kan pasti post profit di buku (non-riil) dari beli saham BBHI. Apakah itu saatnya buy?
Bukannya blakangan ini ada salah 1 syarat IPO, perusahaan harus untung ya?
Anonim mengatakan…
Oke siap, saya menunggu ulasan bp ttg net tv
Anonim mengatakan…
b semoga kelak bisa jadi investor saham..amiin
Anonim mengatakan…
Apakah yakin bukan cash out dana IPO?

BBHI kalau sebagai investasi, dividennya berapa untuk berapa lama?

Kalau mau dijual sekarang, setelah naik (atau "dinaikkan") 10X, hmmmm ...giliran "anggota arian" siapa nih sekarang...

saya selalu tersenyum kalau ada berita, M&A, divestasi, dan CA lainnya... selalu bagus.

Semangat yang positif, selalu optimis.

Simple rule: just follow the money, kemana air mengalir, di situ ikan berada. bdk..Grizzly tahu kebiasaan Salmon yang suka melawan arus menuju puncak ketika akan bertelur.

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)