Kenapa Investasi Saham di Tahun 2021 Terasa Sulit? Bagaimana dengan Tahun 2022?

Pada penghujung tahun 2019, setelah genap berinvestasi selama 10 tahun di Bursa Efek Indonesia (saya mulai buka rekening dan beli saham pada bulan Februari 2010), penulis memutuskan untuk secara terbuka mempublikasikan kinerja investasi kami setiap tahunnya dibandingkan dengan IHSG, mulai tahun 2020. Saya kemudian membuka satu rekening khusus yang saya sebut ‘rekening cermin’ dengan modal awal Rp1 milyar, yang merupakan cerminan dari rekening satunya lagi (rekening utama) yang berisi dana jauh lebih besar, dimana kedua rekening ini akan berisi saham-saham yang sama dengan alokasi persentase porto yang sama, pada harga beli (dan jual) yang juga sama, dan jumlah persentase cash (yang belum dibelanjakan saham) yang sama. Isi rekening cermin ini termasuk perubahan-perubahannya kemudian dipublikasikan secara rutin melalui program EMP.

***

Jadwal Seminar Value Investing Offline/Tatap Muka, Jakarta, Sabtu 15 Januari 2021. Untuk mendaftar klik disini. Diskon early bird bagi peserta yang mendaftar sebelum tanggal 10 Januari, dan tersedia juga versi videonya dengan biaya yang lebih terjangkau.

***

Dan kalau boleh jujur saya ketika itu merasa agak ragu, karena jika kami ternyata gagal untuk mencapai target beat the market pada tahun pertama, maka semua reputasi yang sudah susah payah dibangun selama satu dekade terakhir akan lenyap begitu saja, dan orang tidak akan lagi mau membaca blog TeguhHidayat.com ini. Karena faktanya bagi investor/fund manager profesional, maka untuk bisa beat the market, alias menghasilkan kinerja tahunan yang lebih baik dibanding IHSG, itu sama sekali tidak mudah. Apalagi pada tahun 2019 tersebut banyak terjadi skandal saham gorengan di pasar saham yang membuat pergerakan IHSG jadi gak karu-karuan (IHSG di tahun 2019 totalnya masih naik +1.7%, tapi dari awal tahun sampai dengan bulan November IHSG sebenarnya masih turun, dan hanya naik di bulan Desember-nya), sehingga sangat sulit bagi investor untuk sekedar tidak rugi di tahun 2019 tersebut. Beberapa skandal tersebut diantaranya kasus manipulasi laporan keuangan Garuda Indonesia (GIAA), kasus ‘tabungan’ ilegal oleh Hanson International (MYRX), kasus gagal bayar Jiwasraya, kasus Asabri, kasus manajer investasi (MI) membeli saham gorengan sehingga menyebabkan kinerja reksadana anjlok, dan seterusnya.

Jadi bahkan sebelum terjadi resesi karena pandemi corona, kondisi pasar saham di Indonesia sudah sangat sulit, dan alhasil kami juga membuka tahun 2020 dengan posisi rekening cermin Rp991 juta karena adanya sisa floating loss dari tahun 2019-nya, jadi bukan persis Rp1 milyar. Tapi ketika itu penulis tetap memutuskan untuk ‘open’ mempublikasikan kinerja investasi kami (Avere Investama), karena saya berpikir mau nunggu sampai kapan lagi? Sayangnya di tahun 2020 itu pasar saham kemudian justru mengalami krisis besar: Wabah virus Covid-19, yang pertama kali muncul di Wuhan, China, pada akhir tahun 2019, kemudian mulai menyebar keluar China tepatnya pada awal Maret 2020, dan seketika menimbulkan kepanikan dimana Dow Jones crash sampai 18,000-an, dan IHSG juga ikut crash dari 6,300 sampai 3,900-an!

Dan kinerja Avere? Jeblok sampai -47% secara year to date, jauh dibawah penurunan IHSG yakni -38%, pada titik terendah pasar pad tanggal 24 Maret 2020. Sudah gitu Pemerintah melarang masyarakat keluar rumah untuk bekerja, anak-anak tidak sekolah, dan kekhawatiran akan terjadinya krisis parah seperti tahun 1998 seketika menyeruak, karena bagaimana ekonomi bakal jalan jika seluruh warga satu negara dipaksa berdiam diri di rumah dan tidak boleh bekerja?? Saya masih ingat bagaimana depresinya saya ketika itu, dan merasa menyesal karena sepertinya kami mengambil waktu yang paling buruk untuk mulai mempublikasikan kinerja investasi. I mean, pada tahun 2008 lalu ketika IHSG crash sampai -50%, maka semua investor/fund manager ketika itu juga rugi gila-gilaan, tak peduli meski mereka sudah berpengalaman (dan selama itu konsisten profit) selama bertahun-tahun sebelumnya. Jadi apakah penulis juga akan mengalami nasib yang sama? Dimana kami harus mencatat kinerja perdana yang tidak hanya rugi besar, tapi rugi tersebut juga lebih besar dibanding penurunan IHSG??? Faktanya pada bulan-bulan berikutnya, meski kami mampu mengurangi kerugian seiring dengan membaiknya kondisi pasar (ketika muncul sentimen new normal, vaksin dll), tapi secara year to date (YTD) alias dihitung sejak awal tahun, totalnya tetap saja minus alias rugi.

Namun beruntung, memasuki November dan Desember, keputusan kami untuk cut loss saham-saham tertentu lalu menggunakan uangnya untuk membeli saham-saham yang kami anggap ‘prospeknya tetap cerah meski terjadi pandemi’, menyebabkan kami sukses balik modal dan bahkan meraup profit kembali, dimana pada akhir November kami untuk pertama kalinya mencatat profit +7.4%, lanjut menjadi +8.3% pada akhir Desember. Sedangkan IHSG? Ditutup di posisi 5,979, masih turun -5.1% secara YTD.

Kinerja IHSG vs Avere di sepanjang tahun 2020

(Catatan: Dalam menghitung kinerja portofolio, kita harus juga menghitung posisi cash yang ada di RDN yang belum dibelikan saham, atau persentase profit/loss kita akan tampak lebih besar dibanding yang seharusnya. Penjelasannya bisa dibaca disini). 

Kinerja kami yang somehow tetap mencapai target beat the market pada tahun 2020 untuk sesaat membuat penulis merasa lega, dan optimis bahwa pada tahun 2021 nanti kami akan bisa profit lebih besar lagi, seiring dengan kondisi pasarnya yang diharapkan akan lebih baik karena resesi/pandeminya sudah berlalu. Namun kenyataannya jauh panggang dari api: Pada awal tahun, seiring dengan tingginya kenaikan IHSG sejak dua bulan sebelumnya, maka ada banyak saham-saham yang naiknya sampai ratusan persen, tak peduli meski fundamentalnya buruk/saham gorengan, dan itu praktis memunculkan euforia. Lalu muncul ‘influencer saham’ yang entah sengaja atau tidak melakukan ‘pompom’ saham-saham yang sejatinya tidak layak invest, sehingga pasar saham seketika berubah menjadi ajang spekulasi ketimbang investasi. Sedangkan pandeminya sendiri masih ada, anak-anak masih nggak sekolah, dan saya juga masih belum bisa travelling seperti dulu karena syaratnya masih ribet (harus PCR segala macem). Dan kinerja emiten tentunya masih buruk karena sekali lagi, pandeminya masih terjadi. Sehingga untuk sesaat pada awal tahun, penulis sempat bingung mau beli saham apa, karena nggak ada pilihannya (kalaupun ada saham yang kinerjanya bagus, harganya sudah terbang tinggi).

Beberapa bulan berikutnya, keadaannya justru semakin buruk lagi: Kinerja emiten masih belum pulih, dan jumlah kasus positif Covid di Indonesia yang sempat mereda kembali meningkat di bulan Juni – Juli (second wave), dan bahkan penulis sendiri akhirnya kena juga sampai harus masuk ICU rumah sakit (dan itu pengalaman pertama saya kena sakit separah itu). Beruntung saya sembuh, meski untuk pulih 100% dan bisa kembali full beraktivitas tetap perlu waktu (saya kena gejala long covid), tapi disisi lain saya menyaksikan sendiri ada banyak teman/tetangga/saudara yang sampai kehilangan anggota keluarganya, atau kehilangan pekerjaannya karena efek pemberlakuan PPKM darurat oleh Pemerintah. Dan di Avere sendiri kami hanya membukukan profit +4.4% secara YTD pada akhir Juni.

Beruntung setelah itu kondisi pandemi terus membaik, dan pasar pelan-pelan naik lagi hingga kami juga sempat profit +32.0% pada pertengahan November, sebelum kemudian turun lagi seiring penurunan pasar pada November - Desember, dan kami akhirnya menutup tahun 2021 dengan kinerja +23.9% termasuk dividen, berbanding IHSG +10.1% secara YTD. Secara kumulatif dalam dua tahun terakhir (2020 dan 2021), maka kami profit +34.2% termasuk dividen, berbanding IHSG +4.5%. Lengkapnya bisa dibaca disini.

Nah, karena pada tahun 2021 ini IHSG naik +10.1%, alias jauh lebih baik dibanding tahun 2020 lalu dimana IHSG turun -5.1%, maka kondisi pasar saham di tahun 2021 ini sekilas lebih nyaman dibanding 2020 lalu. Tapi kenyataannya sama sekali tidak demikian, dimana anda sendiri juga mungkin bisa memperhatikan, ada banyak sekali saham entah itu bluechips maupun second liner yang harganya belum naik hingga kembali ke posisi mereka sebelum pandemi. Kemudian berdasarkan statistik BEI disini, maka di bursa terdapat sejumlah indeks-indeks saham penting diluar IHSG, yang diurutkan berdasarkan signifikansi/penting atau tidaknya, dimana 10 indeks terpenting di bursa adalah IHSG, LQ45, IDX30, dan seterusnya hingga Sri-Kehati. Gambar dibawah ini diambil dari statistik BEI per penutupan pasar tanggal 30 Desember 2021.

Nah perhatikan tabel yang ditandai kotak hijau: Sepanjang tahun 2021, IHSG memang naik +10.1%, namun semua indeks penting lainnya justru minus. Sebut saja indeks LQ45 yang minus -0.4%, IDX30 -1.0%, IDX80 -2.6%, dan seterusnya. Hal ini sangat berbeda dengan tahun-tahun lalu, dimana jika kita bandingkan dengan statistik BEI pada misalnya akhir tahun 2020 dan 2019, maka pergerakan IHSG ketika itu kurang lebih sama saja dengan indeks-indeks lainnya. Lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar berikut:

Statistik BEI per penutupan pasar tahun 2019

Statistik BEI per penutupan pasar tahun 2020

Kemudian kalau kita lihat kinerja reksadana, maka berdasarkan data indeks reksadana dari Bareksa.com, di sepanjang tahun 2021 indeks reksadana saham hanya naik +0.3%, reksadana campuran +2.7%, reksadana pendapatan tetap +2.0%, dan reksadana pasar uang +2.9%. Nah, selama ini memang jangankan mengalahkan IHSG, untuk sekedar menyamai kinerja IHSG saja maka itu sangat sulit bagi reksadana saham, karena para manajer investasi yang mengelola reksadana ini dibatasi oleh peraturan-peraturan tertentu yang tidak berlaku untuk investor ritel, misalnya mereka dilarang membeli saham tertentu sebanyak lebih dari 10% dari total dana kelolaan. Tapi jika selisihnya sampai sebesar itu (hampir 10%), maka penulis sendiri juga baru melihatnya sekarang. Perlu dicatat bahwa kinerja indeks reksadana ini merupakan kinerja rata-rata seluruh produk reksadana di Indonesia. Sehingga jika kita melihat kinerja reksadana secara individual/satu per satu, maka banyak diantaranya yang kinerjanya dibawah rata-rata indeks, alias rugi di tahun 2021.

Pergerakan indeks reksadana saham di sepanjang tahun 2021, dimana indeks ini ditutup di posisi 4,513, naik +0.3% sejak awal tahun.

Kinerja seluruh indeks reksadana di sepanjang tahun 2021 (tabel warna hijau). Sumber: Bareksa.com

Lalu sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa IHSG bisa naik tinggi sendiri ketika kenyataannya semua indeks-indeks yang lain, dan ratusan saham di BEI masih minus di sepanjang tahun 2021? Well, penulis punya teori tersendiri soal itu, dan kita akan membahasnya lain waktu karena cukup panjang. Namun yang hendak penulis sampaikan disini adalah, jika anda termasuk yang rugi di tahun 2021 ini, maka anda tidak sendirian, karena kenyataannya kondisi pasar saham di tahun 2021 ini sama saja sulitnya dibanding 2020 lalu (ini jika anda mulai invest sejak awal tahun, beda ceritanya jika mulai invest sejak pertengahan 2020 ketika IHSG sedang rendah-rendahnya, hasilnya pasti cuan), hanya saja nggak kelihatan karena IHSG-nya terus saja naik. Sudah tentu tidak semua investor/trader saham menghasilkan kinerja yang ‘kurang memuaskan’ di tahun 2021, melainkan tidak sedikit juga yang cuan besar. Tapi sekali lagi jika kita lihat rata-ratanya, maka sebagian besar investor masih kehilangan uang di tahun 2021 kemarin, termasuk yang berinvestasi melalui reksadana.

Sehingga, meski penulis sendiri dalam dua tahun terakhir ini menghasilkan kinerja yang kurang bagus jika perbandingannya kinerja kami di masa lalu (pada dua tahun terbaik kami yakni 2011 dan 2016, kami masing-masing membukukan profit kurang lebih +300% dan +77%), namun melihat kondisi pasarnya yang masih dalam kondisi resesi ekonomi/pandemi, plus mayoritas saham-saham di BEI sejatinya masih turun, maka saya pribadi tetap merasa puas karena minimal kami masih mencapai target beat the market, selama dua tahun berturut-turut.

Prospek Saham untuk tahun 2022

Pada krisis global tahun 2008 lalu, pasar saham/IHSG jatuh hingga -50% meski kondisi ekonomi nasional ketika itu sebenarnya tidak sedang krisis (yang krisis ketika itu ya Amerika), dan alhasil valuasi saham-saham ketika itu menjadi amat sangat murah, sedangkan fundamental mereka juga tidak bisa disebut jelek. Imbasnya selepas tahun 2008, pasar saham/IHSG kemudian naik signifikan di tahun-tahun setelahnya (2009, 2010, 2011, dan 2012) seiring dengan kembali kencangnya pertumbuhan ekonomi yang sempat mencapai rekor 7% di tahun 2011, ketika itu didorong oleh booming komoditas. Salah satu value investor paling senior di Indonesia, Bapak Lo Kheng Hong, pada periode ini sukses membeli sejumlah saham undervalue, salah satunya Gajah Tunggal (GJTL) pada harga 300-an, lalu menjualnya di harga 2,500-an, sehingga profit multibagger dalam waktu kurang lebih dua tahun.

Lalu bagaimana dengan krisis 2020? Nah, berbeda dengan 2008 dimana arguably krisisnya hanya terjadi di Amerika sana, dan Indonesia hanya kecipratan sedikit saja dimana tak lama kemudian ekonomi kita langsung pulih lagi karena sejak awal memang disini gak ada masalah subprime mortgage atau apapun, maka krisis 2020 ini melanda semua negara di seluruh dunia, dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat -5.32% pada 2020 lalu, terparah sejak tahun 2001.

Dan alhasil terjadi market crash di seluruh dunia termasuk di Indonesia, tepatnya pada bulan Maret 2020. However masih di tahun 2020, Dow Jones dkk naik dengan cepat seiring dengan aksi cetak Dollar oleh The Fed, dan otomatis IHSG ikut naik dengan cepat pula hingga menimbulkan euforia, padahal kinerja laba bersih emiten masih pada turun, dan banyak juga yang rugi. Sehingga memasuki tahun 2021-nya, saham-saham di BEI cenderung bergerak stagnan atau turun, yakni ketika investor akhirnya menyadari bahwa kinerja emiten yang bersangkutan memang masih turun karena imbas resesi. Ditambah fakta bahwa pandeminya masih terjadi dan ekonomi juga masih belum benar-benar pulih, maka jadilah kondisi pasar di sepanjang tahun 2021 masih terasa sulit seperti yang dipaparkan di atas, dimana ada banyak saham yang turun sampai puluhan persen jika dihitung dari posisi tertingginya pada Januari 2021 lalu.

Okay, tapi itu 2021, lalu bagaimana dengan 2022 ini? Well, kabar buruknya, pandeminya ternyata masih terjadi dimana ketika satu variant mereda maka disusul oleh variant berikutnya lagi, dan ketika artikel ini ditulis maka seluruh dunia sedang menghadapi varian omicron. Beberapa pihak menyebutkan bahwa tahun 2022 ini diharapkan akan menjadi tahun terakhir pandemi, tapi menurut penulis sendiri itu lebih merupakan harapan ketimbang prediksi, karena siapa yang tahu setelah omicron ini nanti akan ada apa lagi? Kemudian kinerja ekonomi makro, meski sudah lebih baik dibanding 2020 lalu, tapi masih belum sama baiknya seperti sebelum pandemi (2019). Dan kondisi yang sama juga terjadi pada kinerja emiten, namun disisi lain posisi IHSG sudah kembali mencetak rekor/sudah lebih tinggi dibanding posisinya di tahun 2018 dan 2019. Sebagai perbandingan, pasca krisis 2008 lalu, maka IHSG baru kembali mencetak rekor tertinggi pada pertengahan 2010, dan ketika itu ekonomi memang kembali tumbuh kencang. Namun seperti yang kita ketahui, keadaan ekonomi saat ini sama sekali berbeda dengan tahun 2010 tersebut, dimana sisa-sisa resesi tahun 2020 masih terasa sampai sekarang, terutama karena Pemerintah juga belum benar-benar melonggarkan peraturan PSBB/PPKM yang membatasi mobilitas masyarakat.

Nah, tapi kabar baiknya? Indonesia sejauh ini terbilang sukses dalam hal vaksinasi covid, dimana sudah lebih dari 41% penduduk menerima full vaksin 2 kali, dan angka tersebut akan meningkat lebih besar lagi dalam waktu yang tidak lama dari sekarang, seiring dengan mulai divaksinnya anak-anak usia dibawah 12 tahun. Vaksinasi ini terbukti secara signifikan menekan tingkat hospitalization dan tingkat kematian karena covid, dimana kalau kita lihat di Eropa, maka meski saat ini jumlah kasus positif kembali meningkat, namun jumlah kematian tetap rendah, sehingga tidak kembali diberlakukan lockdown. Kemudian meski kinerja emiten secara umum masih belum pulih 100% seperti sebelum pandemi, tapi untuk emiten di beberapa sektor terutama yang berhubungan dengan ekspor impor, mereka sukses mencatat kinerja yang bahkan lebih baik lagi dibanding sebelum pandemi selaras dengan meningkatnya nilai ekspor nasional, seiring dengan sudah pulihnya ekonomi di negara-negara maju (Amerika Serikat, dan China). Dan yang paling penting, karena sejatinya harga-harga saham belum banyak berubah dalam dua tahun terakhir (atau malah turun), maka valuasi saham-saham di BEI masih banyak yang murah, tinggal tunggu kondisi pasarnya lebih baik saja, misalnya ketika nanti varian omicron ini akhirnya mereda dan tidak disusul oleh varian baru berikutnya, mudah-mudahan.

Singkat kata, penulis perkirakan prospek pasar saham di tahun 2022 masih akan terus menantang, namun disisi lain tetap menawarkan peluang, dan target untuk meraih profit yang beat the market masih merupakan target yang realistis, dengan catatan kita memilih saham secara lebih hati-hati. Anyway, itu menurut pendapat penulis, bagaimana menurut kamu?

***

Jadwal Seminar Value Investing Offline/Tatap Muka, Jakarta, Sabtu 15 Januari 2021. Untuk mendaftar klik disini. Diskon early bird bagi peserta yang mendaftar sebelum tanggal 10 Januari, dan tersedia juga versi videonya dengan biaya yang lebih terjangkau.

Dapatkan postingan via email

Komentar

Anonim mengatakan…
di 2021 IHSG naik +10% namun indeks penting lainnya LQ45, IDX30, dan seterusnya hingga Sri-Kehati malah minus. menurut saya alasannya karena politis aja agar pemerintah memberi kesan bahwa krisis ekonomi karena Corona dampaknya tidak terlalu besar.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?