Prospek Saham PT MNC Energy Investments, Tbk (IATA), Setelah Masuk ke Sektor Batubara

Sebelum membahas soal IATA, pertama-tama kita kembali dulu ke peristiwa booming batubara di tahun 2010 – 2011. Ketika itu harga batubara benchmark Newcastle Australia sedang tinggi-tingginya di level $120 – 140 per ton, sehingga ada banyak perusahaan batubara di tanah air yang membukukan laba sangat besar, dan saham mereka pun mendominasi bursa. Sebut saja Bumi Resources (BUMI), Adaro Energy (ADRO), Indika Energy (INDY), dan Bukit Asam (PTBA), dimana pada masa itu keempat saham ini termasuk dalam dua puluh saham dengan market cap terbesar di BEI. Di Kalimantan sendiri ada banyak orang mendadak kaya karena batubara, dan pertumbuhan ekonomi nasional sempat mencetak rekor 6.9% secara year to year di tahun 2011-nya, karena didorong oleh melonjaknya nilai ekspor batubara.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Kuartal IV 2021 akan terbit hari Senin, 28 Februari 2021, dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Tidak mau ketinggalan pesta, Grup Bhakti, yang sekarang bernama Grup MNC, masuk ke sektor ini melalui PT MNC Investama, Tbk (BHIT), dimana BHIT mengakuisisi delapan lokasi kuasa pertambangan (KP) batubara di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pada bulan Mei 2010, yang kemudian dikonsolidasikan dibawah satu anak usaha dengan nama PT MNC Energi. Sehingga diluar tiga segmen bisnis utamanya yakni media, jasa keuangan, dan properti, maka BHIT sekarang ada usaha batubara juga. Didorong oleh berita akuisisi diatas, saham BHIT dengan cepat terbang dari 200 di awal tahun 2010, hingga tembus 1,000 di bulan Mei, sebelum kemudian anjlok dengan cepat ke 200-an lagi, bahkan malah sampai ke 100 (catatan: Ketika itu tidak ada batas autoreject bawah 7%, sehingga sebuah saham bisa saja jeblok hingga 25% hanya sehari).

However, meski harga batubara masih lanjut naik hingga tahun 2011-nya, namun setelah itu dia turun, dan terus turun, hingga mentok di $50 per ton pada tahun 2016. Alhasil saham-saham batubara juga ikut turun secara terus menerus, dan demikian pula cerita soal investasi BHIT di tambang batubara tidak pernah kedengaran lagi, dimana pada materi presentasi public expose perusahaan di tahun-tahun berikutnya, BHIT hanya menyebutkan bahwa mereka fokus di tiga segmen usaha: Media (melalui BMTR, MNCN, MSIN, IPTV, MSKY), jasa keuangan (BCAP, BABP), dan properti (KPIG).

Meski demikian, jika kita lihat daftar anak usaha pada laporan keuangan terbaru BHIT per Kuartal III 2021, maka jelas disitu masih ada nama PT MNC Energi, atau dengan kata lain BHIT masih memegang usaha batubara, dimana delapan KP yang diakuisisinya pada tahun 2010 lalu masih belum dijual kembali. Hanya saja bisa dibilang bahwa usaha batubaranya tersebut tidak diapa-apakan lagi, melainkan dibiarkan menjalankan operasional yang sudah ada saja.

Hingga pada tahun 2021, atau lebih dari 10 tahun kemudian, harga batubara mendadak terbang tinggi lagi hingga tembus $200 per ton, atau sudah jauh lebih tinggi dibanding rekor tertingginya di tahun 2011 lalu. Dan sudah tentu PT MNC Energi juga ikut cuan, dimana salah satu anak usahanya yakni PT Bhakti Coal Resources (BCR), yang membawahi delapan KP yang disebut diatas, hingga Kuartal III 2021 membukukan pendapatan Rp631 milyar dan laba bersih Rp222 milyar, berbanding asetnya Rp875 milyar. Sedangkan pada tahun 2019 ketika harga batubara masih di $70 – 80 per ton, maka pendapatan dan laba bersih BCR untuk tahun tersebut masing-masing hanya Rp174 milyar dan Rp5 milyar, sehingga memang pada tahun 2021 kemarin kinerja perusahaan sangat diuntungkan oleh kenaikan harga batubara. Nah, namun karena total pendapatan BHIT itu sendiri sampai dengan Q3 2021 mencapai Rp12.4 trilyun, maka kontribusi BCR jelas tidak signifikan terhadap kinerja Grup MNC secara keseluruhan.

Cara Kerja Grup MNC: Meraup Dana Milik Publik Melalui Penerbitan Saham

Kemudian seperti disebut diatas, Grup MNC di tahun 2021 kemarin cuan sebesar Rp200 milyar sekian dari BCR, namun dengan keahlian sang pemilik grup yakni Hary Tanoesoedibjo (HT), maka mereka bisa meraup cuan tambahan hingga sebesar Rp2 trilyun! Nah lho, bagaimana caranya?

Jadi, seperti dulu pernah penulis bahas disini, keahlian HT adalah di bidang investment banking, yakni menggalang dana milik investor publik melalui penerbitan saham entah itu dengan mekanisme IPO, right issue, atau private placement. Inilah kenapa emiten-emiten yang disebutkan di artikel ini, mulai dari BHIT hingga KPIG, kalau anda perhatikan sangat rajin melakukan right issue dimana perusahaan kemudian memperoleh sejumlah dana, boleh dibilang dana gratis, dari investor publik yang menebus/membeli saham baru yang diterbitkan melalui mekanisme right issue tersebut. Paling terbaru, pada Agustus 2021 kemarin, memanfaatkan booming sentimen ‘bank digital’, maka PT Bank MNC Internasional, Tbk (BABP) melakukan right issue dengan menerbitkan 14.2 milyar saham baru pada harga Rp318 per saham, yang semuanya dilempar ke investor publik. Sehingga dengan asumsi jumlah saham baru yang diterbitkan itu terserap (baca: Laku terjual) semua, maka Grup MNC melalui BABP memperoleh dana segar.. Rp4.5 trilyun.

Okay, lalu bagaimana caranya agar saham baru BABP itu laku terjual? Ya pertama-tama dengan menggoreng saham BABP itu sendiri di pasar hingga harganya naik berlipat-lipat, kemudian promosi dimana-mana, termasuk di jaringan televisi milik Grup MNC bahwa prospek ‘Motion Banking’ (merk bank digital milik BABP) ini sangat cerah bla bla bla, dan sahamnya bakal to the moon! Mirip-mirip lah seperti ketika para influencer dan affiliator Binomo itu pamer cuan trading binary options di Instagram atau YouTube mereka, hanya bedanya tentu Om HT gak posting foto di Instagram sedang mengendarai mobil Bugatti atau semacamnya (mainnya harus lebih elegan cuy). Ditambah saham BABP beneran terbang dengan sangat cepat dari 80 perak hingga sempat tembus 600, maka orang kemudian percaya saja ketika digiring rumor bahwa BABP ini bakal seperti saham bank digital lainnya yakni ARTO atau BBHI, yang beneran to the moon. Alhasil, banyak investor ritel yang kemudian menebus right issue-nya di harga 318 tadi, karena harga segitu tampak murah karena lebih rendah dari harga 600 tadi, apalagi dibanding saham ARTO yang harganya mencapai belasan ribu Rupiah per saham. Dan hasilnya sukses besar, dimana Grup MNC kembali menerima dana gratis sekian trilyun Rupiah, dari BABP. Yang perlu diingat disini adalah, meski dana setoran investor ritel masuk ke kas BABP, sedangkan saham BABP itu tetap dipegang investor yang bersangkutan (sehingga sekilas duitnya gak kemana-mana/masih menjadi milik investor ritel), tapi tetap saja yang punya akses ke uang kas itu adalah pemegang saham pengendali (PSP) BABP alias Grup MNC, dan bukan investor publik itu sendiri. Sama seperti PT Bukalapak.com, Tbk (BUKA) yang pegang kas Rp20 trilyun sekian hasil IPO-nya, maka yang pegang kuasa penuh terkait uang kas tersebut mau dipakai apa ya PSP-nya, tak peduli meski uang itu sejatinya disetor oleh investor publik yang kemarin ikut IPO BUKA.

Sukses memanfaatkan isu bank digital, maka peluang berikutnya muncul dari sektor batubara dimana harga batubara sedang naik tinggi, dan kebetulan sekali Grup MNC ini memang punya anak usaha di bidang batubara tersebut, yakni BCR yang sudah disebut diatas. Sehingga seperti halnya BABP, maka BCR juga bisa menerbitkan saham baru untuk dijual ke publik, dan dapet lagi deh cold hard cash sekian trilyun Rupiah.

Tapi masalahnya, BCR bukan perusahaan Tbk sehingga dia gak bisa right issue, bisanya IPO. Tapi kalau mau mengurus IPO-nya maka prosesnya bakal butuh waktu panjang, sedangkan momentum batubara ini bisa saja mereda lagi/harga batubara turun lagi sewaktu-waktu. Nah, jadi bagaimana kalau BCR ini backdoor listing saja? Jadi Grup MNC, melalui salah satu anak usahanya yang berstatus perusahaan Tbk, bisa mengakuisisi BCR ini, lalu anak usaha ini bisa menerbitkan saham alias right issue untuk mendanai akuisisi tersebut.

Okay, lalu anak usaha mana yang dipilih? Nah, kebetulan Grup MNC masih ada satu lagi anak usaha yang selama ini bisa dibilang terbengkalai karena rugi melulu hampir saban tahun, dan malah karena mayoritas sahamnya (75%) dipegang investor publik, maka anak usaha ini tidak dikonsolidasikan sebagai bagian dari BHIT sebagai perusahaan holding tertinggi Grup MNC. Anak usaha tersebut adalah PT Indonesia Transport & Infrastructure, Tbk (IATA), yang bergerak di bidang penerbangan tidak berjadwal, dan penyewaan pesawat jet pribadi dan helikopter. Henry Suparman, yang merupakan direktur utama IATA, adalah sekaligus direktur di BHIT, sehingga cukup jelas bahwa meski seperti disebut diatas, IATA tidak dikonsolidasikan sebagai bagian dari BHIT, namun kedua perusahaan masih memiliki hubungan afiliasi. Per akhir tahun 2020, IATA memiliki dan mengoperasikan 2 unit pesawat jet, dan 4 unit helikopter. Dan selama ini pendapatan perusahaan hampir selalu tidak cukup untuk menutup biaya operasional, maintenance, dan bahan bakar, sehingga hasilnya rugi terus. Maka tidak heran jika kemudian sahamnya juga mati di 50 perak alias gocap. Dalam jangka panjang kemungkinan perusahaan akan terus merugi, karena dari pihak Grup MNC juga tidak ada rencana sama sekali untuk mengembangkan bisnis penerbangan milik perusahaan.

Sehingga IATA ini cocok untuk dipilih, dimana bidang usahanya akan berganti menjadi pertambangan batubara, dan nama perusahaan juga berubah menjadi PT MNC Energy Investments, Tbk. Maka IATA kemudian mengalihkan seluruh aset-aset pesawat terbang dan helikopternya ke anak usaha Grup MNC yang lain dengan nama PT Indonesia Air Transport, dan setelah itu IATA mengakuisisi BCR dari BHIT, dimana akuisisi tersebut dibayar dengan surat sanggup bayar (promissory notes) yang akan jatuh tempo dalam waktu enam bulan sejak tanggal 1 Desember 2021. Dengan kata lain, jika IATA tidak membayar lunas harga akuisisi BCR paling lambat pada bulan Mei 2022, maka transaksinya batal, dan BCR akan dikembalikan lagi ke BHIT.

Oke, lalu berapa harga akuisisinya? $140 juta, atau setara Rp2 trilyun, dimana harga tersebut dianggap ‘murah’ karena berdasarkan penilaian dari kantor jasa penilai publik (KJPP) Kusnanto & Rekan, nilai pasar wajar 99.33% saham BCR yang akan diakuisisi IATA adalah Rp2.6 trilyun. Perlu dicatat bahwa ‘nilai wajar’ diatas sama sekali berbeda dengan nilai buku bersih/ekuitas BCR, dimana per Kuartal III 2021, angkanya tercatat hanya Rp286 milyar. Tapi dengan adanya akuisisi ini, maka di laporan keuangan IATA di bagian aktiva nantinya akan muncul aset tetap (BCR) senilai Rp2 trilyun, dan di bagian passiva akan muncul utang (promissory notes) juga senilai Rp2 trilyun. Kemudian pendapatan dan laba bersih BCR akan dikonsolidasikan ke dalam pendapatan dan laba bersih IATA, sehingga perusahaan akan tidak lagi mencatat rugi, melainkan laba.

Pertanyaannya, bagaimana IATA akan membayar harga akuisisi yang Rp2 trilyun itu tadi? Ya dengan right issue, tentu saja! Jadi nantinya IATA akan menerbitkan sekian milyar lembar saham baru yang ditawarkan ke investor publik dengan harga pelaksanaan sekian Rupiah per lembar sahamnya, sehingga akan diperoleh dana tunai Rp2 trilyun tadi, atau lebih. Uang itu kemudian akan dibayarkan ke BHIT sehingga utang promissory notes tadi menjadi lunas dan tidak lagi tercantum di laporan keuangan, berganti ekuitas Rp2 trilyun.

Kemudian agar right issue-nya laku, maka seperti biasa saham IATA akan dikerek tinggi dulu sejak jauh hari sebelumnya, let say sampai 400 atau 500, sehingga harga tebus right issue-nya yang kemungkinan akan ditetapkan di level 150, 200, atau 250, akan tampak murah karena lebih rendah dari harga saham IATA di pasar. Karena batas waktu promissory notes-nya adalah Mei 2022, maka kemungkinan pelaksanaan right issue-nya akan tuntas sebelum atau pada Mei 2022 tersebut. Nah, jadi jika sampai dengan Mei 2022 saham-saham batubara lainnya juga terus saja naik (itu sudah mulai terjadi, coba lihat saja itu kenaikan saham TOBA, INDY, ADRO, bahkan BUMI juga ikut naik), maka tentu akan sangat mudah untuk mem-pompom IATA ini, dan bisa jadi sahamnya akan ikut naik sendiri tanpa perlu digoreng bandar. Sehingga, seperti halnya right issue BABP beberapa bulan lalu, maka Grup MNC kemungkinan akan kembali cuan besar dari right issue IATA ini.

Kesimpulannya, inilah yang penulis maksud dengan Grup MNC bisa cuan ekstra Rp2 trilyun dari BCR: Dengan menjual BCR ini ke IATA seharga Rp2 trilyun, dimana IATA ini sebenarnya punya mereka juga sehingga BCR pada akhirnya akan tetap menjadi milik mereka, dan yang membayarnya adalah investor publik yang membeli/menebus saham yang diterbitkan IATA melalui mekanisme right issue. Ceeerrrdaassss sekaleeee bukan??

Jadi, prospeknya?

Meski dalam beberapa waktu kedepan kemungkinan akan mulai banyak muncul ‘analisa’, pompom, dan rumor entah dari mana asalnya bahwa saham IATA ini bakal seperti ADRO dkk, bahwa cadangan batubara BCR ini mencapai sekian ratus juta ton bla bla bla, tapi sekarang anda tahu bahwa memang seperti itulah cara kerja para bandar seperti Grup MNC, dan bahwa IATA ini jelas tidak bisa disamakan dengan pemain-pemain batubara raksasa diatas. Sehingga kalau anda mau cuan dari saham ini maka caranya adalah dengan follow the ride: Beli sahamnya dari sekarang, dimana kemungkinan sahamnya akan digoreng sampai 400 atau 500 itu tadi, lalu jual sebelum atau ketika right issue-nya nanti selesai. Sedangkan jika anda telat masuk di IATA ini di harga atas, kemudian average down dengan menebus saham right issue-nya, maka ya sudah anda akan bernasib seperti para pemegang saham BABP.

Tapi tentu strategi follow the ride ini juga ada risikonya, yakni jika harga batubara mendadak turun lagi (sehingga sentimennya jadi jelek), atau ada larangan ekspor lagi, atau right issue-nya batal, atau right issue-nya jadi tapi harga tebusnya cuma Rp100 per saham, misalnya (sedangkan harga saham IATA, ketika artikel ini ditulis, sudah terbang ke 161). Biasanya pula jika ada terlalu banyak ritel yang masuk dari awal, maka bandar justru akan menurunkan dulu saham IATA ini agar para ritel ini panik dan cut loss, dan setelah itu baru dia akan dikerek naik lagi.

Intinya sih, keputusan untuk masuk IATA pada harganya saat ini tetap lebih dekat ke spekulasi ketimbang trading, apalagi investasi. Jadi yah, pada akhirnya penulis tidak merekomendasikan sahamnya. Nevertheless, the choice is yours.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Kuartal IV 2021 akan terbit hari Senin, 28 Februari 2021, dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan via email

Komentar

yasinramadhani mengatakan…
Makasih Banyak Ulasannya Pak TH, Iam Study with you
Unknown mengatakan…
Pak Teguh, jika di artikel diinfokan bahwa BHIT akan menerima dana Rp.2T atas penjualan BCR ke IATA, maka prospek saham BHIT seharusnya cerah dong Pak ?
Mohon pencerahannya.
Anonim mengatakan…
udah cuan 100% pak dari IATA
srianto mengatakan…
Mas Teguh, terima kasih untuk review saham IATA; paska right issue dan kondisi harga acuan batu bara, juga situasi dunia; bagaimana prospek saham IATA ini?
Berapa harga wajarnya? mohon review lanjutnya.

Terima kasih n salam


Srianto

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham