Pilihan Sektor Saham Terbaik Untuk Tahun 2024

Hingga Kamis, 25 April 2024, di BEI sudah ada beberapa perusahaan yang merilis laporan keuangan (LK) untuk periode Q1 2024, termasuk yang besar-besar seperti PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (TLKM), PT Bank Central Asia, Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI), PT Bumi Resources, Tbk (BUMI), dan PT Unilever Indonesia, Tbk (UNVR). Dan menurut penulis sendiri kinerja kelima emiten besar di atas bisa dijadikan gambaran untuk kinerja emiten lainnya di sektor yang sama, yakni telekomunikasi, perbankan, batubara, dan consumer goods. Okay, mari kita telisik satu per satu.

***

Ebook Market Planning edisi Mei 2024 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 Mei mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Kita mulai dari Telkom, di mana perusahaan melaporkan laba bersih Rp6.1 triliun, turun 5.8% dibanding periode yang sama tahun 2023. Pendapatan TLKM sendiri sejatinya masih naik tipis, namun lagi-lagi perusahaan menderita rugi investasi karena berlanjutnya penurunan harga saham PT Goto Gojek Tokopedia, Tbk (GOTO) (sepanjang Januari – Maret 2024, saham GOTO turun dari 86 ke 69). Yang penulis cermati disini bukan soal rugi karena GOTO tersebut, melainkan fakta bahwa pendapatan TLKM hanya naik tipis ketika secara teori, TLKM sebagai perusahaan teknologi informasi mestinya diuntungkan oleh semakin pesatnya penggunaan internet dan juga media sosial, apalagi ketika ada event Pemilu dan Pilpres di bulan Februari lalu. Atau dengan kata lain kinerja terbaru TLKM di atas terbilang di bawah ekspektasi, dan ini merupakan kali kedua setelah tahun 2023 lalu dimana pendapatannya juga hanya naik tipis dibanding tahun 2022. Yang itu berarti bahwa analisa penulis sebelumnya, yang menyebut bahwa sahamnya mungkin masih lanjut turun, masih belum perlu direvisi.

Dan sayangnya TLKM merupakan emiten dengan track record kinerja terbaik di sektornya, di mana meski kinerjanya melambat dua tahun terakhir, tapi jika dihitung sejak tahun 2019 maka kinerja TLKM secara keseluruhan tetap tumbuh signifikan. Yang itu artinya jika LK TLKM barusan terhitung kurang bagus, maka penulis perkirakan bahwa LK dari emiten-emiten information, communication, and technology (ICT) lainnya seperti ISAT, EXCL, dan FREN, juga bakal kurang bagus. Jadi untuk sekarang ini, sektor ICT bisa kita skip dulu.

Lanjut ke Bank BCA dan Bank BRI, dan untungnya penulis bisa katakan bahwa kinerja duo raksasa perbankan ini cukup bagus dengan laba bersih yang sama-sama naik dibanding periode yang sama tahun 2023, dan ROE disetahunkan lebih dari 20%. Sayangnya dengan PER 23 kali untuk BBCA, dan PER 12 kali untuk BBRI pada harga saham mereka masing-masing, maka secara valuasi keduanya sudah cukup mahal, selain karena memang sahamnya sudah naik banyak dalam setahun terakhir, terutama BBCA. Sehingga meski keduanya tetap bagus untuk jangka panjang, namun ada kemungkinan sahamnya akan sulit untuk naik lebih tinggi lagi dalam 6 – 12 bulan ke depan. Di sisi lain kinerja BBCA dan BBRI seharusnya bisa menjadi gambaran untuk kinerja emiten perbankan lainnya secara umum, dan untungnya untuk saham-saham bank menengah masih banyak yang valuasinya murah, salah satunya yang sudah pernah kita bahas, Bank Danamon (BDMN).

Sehingga untuk sektor perbankan ini penulis nilai masih cukup menarik untuk tahun 2024, tinggal cari saja saham mana yang menawarkan kombinasi kinerja fundamental terbaik serta valuasi termurah.

Berikutnya BUMI, yang merupakan perusahaan batubara terbesar di tanah air, di mana perusahaan melaporkan laba bersih yang naik 12% dibanding tahun lalu, namun demikian pendapatannya masih turun signifikan dari $455 juta di Q1 2023 menjadi $311 juta di Q1 2024, dan laba perusahaan juga harusnya turun kalau bukan karena adanya manfaat (bukan beban) pajak penghasilan. Nah, penulis tidak tahu apakah kinerja BUMI ini mencerminkan kinerja emiten batubara lainnya secara umum, karena selama ini penyajian laporan keuangan perusahaan selalu rumit dengan adanya restrukturisasi utang, private placement, hingga kemarin perusahaan mengumumkan akan melakukan kuasi reorganisasi. Termasuk seperti disebut di atas, laba perusahaan sejatinya turun kalau bukan karena manfaat pajak.

Namun demikian jika kita lihat lagi harga batubara Newcastle di bulan Januari – Maret 2024 yang berada di rentang $115 – 145 per ton, atau secara signifikan lebih rendah dibanding Januari – Maret 2023 di rentang $170 – 200 per ton, maka sepertinya memang wajar jika pendapatan BUMI turun, dan ada kemungkinan pendapatan emiten batubara lainnya juga masih akan mengalami penurunan. Sebab jika anda perhatikan, penurunan harga batubara memang mencapai titik terendahnya pada bulan Februari 2024, dan baru naik lagi di bulan Maret dan April-nya. Yang itu artinya, meskipun kinerja emiten batubara berpeluang untuk kembali tumbuh di tahun 2024 ini secara keseluruhan, dalam hal ini jika kenaikan harga batubara yang sudah terjadi dua bulan terakhir ini berlanjut, tapi khusus untuk Q1 2024 maka pendapatan serta laba mereka kemungkinan masih akan tampak turun, dan laba tersebut baru akan berbalik naik mulai Q2 2024 nanti.

In short, sektor batubara masih menarik tapi kita tidak perlu buru-buru untuk masuk, terutama karena harga sahamnya juga rata-rata sudah naik banyak dua bulan ini, jadi lebih baik tunggu mereka cooling down alias turun dulu sejenak.

Terakhir Unilever, yang merupakan perusahaan consumer goods terbesar, yang secara mengejutkan melaporkan kenaikan laba 3% dibanding periode yang sama tahun 2023, dan laba tersebut juga terhitung naik 137% dibanding kuartal sebelumnya (Q4 2023). Penulis katakan mengejutkan, karena kita tahu bahwa operasional UNVR sampai hari ini masih dihantam oleh isu boikot. Namun di sisi lain kita tahu bahwa pada Januari – Maret 2024 kemarin aktivitas penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres mencapai puncaknya, yang kemudian meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat (karena kampanye, bansos dst), sehingga pada gilirannya menaikkan level konsumsi itu sendiri. Kemudian kita juga tahu bahwa mulai tahun 2024 ini, tim manajemen UNVR sudah sepenuhnya diganti setelah presdir yang baru, Mr. Benjie Yap, resmi menjabat, sehingga mungkin itu juga ada dampaknya. Dan memang kalau kita telisik lagi pendapatan UNVR sebenarnya masih turun tipis dibanding tahun 2023, tapi labanya bisa tetap naik karena efisiensi di beban umum dan administrasi, dimana cukup jelas bahwa itu adalah berkat upaya manajemen.

Nah, tapi intinya kinerja UNVR ini bisa menjadi gambaran untuk kinerja emiten consumer goods lainnya secara umum, dan khususnya untuk perusahaan yang tidak kena efek boikot maka harusnya kinerja mereka akan lebih bagus lagi. Jadi seperti halnya untuk sektor perbankan, maka untuk sektor consumer ini kita bisa cari saham yang valuasinya relatif masih murah, dalam hal ini jika dibandingkan dengan kualitas fundamentalnya.

Kesimpulannya, sektor perbankan dan consumer goods masih menarik, dan sektor komoditas terutama batubara juga terhitung menarik meski kita tidak perlu buru-buru untuk masuk, karena kemungkinan kinerja mereka masih akan tampak turun di Q1 2024 ini. Namun jika dalam 1 – 2 bulan ke depan harga batubara Newcastle naik hingga ke katakanlah $150 per ton lalu bertahan disitu, maka kita bisa langsung masuk ke PTBA dkk tanpa perlu menunggu perusahaan merilis LK Q2 2024. Good luck!

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Q1 2024 akan terbit tanggal 8 Mei 2024, dan sudah bisa dipesan disini. Tersedia diskon preorder, dan gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

Anonim mengatakan…
Pak req tolong bahas bank yg syariah dong. Makasih

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 27 April 2024

Ebook Investment Planning Kuartal I 2024 - Terbit 8 Mei

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Perkiraan Dividen PTBA: Rp1,000 per Saham

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun