Prospek Saham Astra Agro Lestari (AALI): Saham Sawit Potensi Bagger
Saham PT Astra Agro Lestari, Tbk (AALI) menjadi satu dari sedikit ‘saham fundamental’ yang masih naik signifikan di tahun 2025 ini, tepatnya 26% dihitung sejak awal tahun 2025 (dari Rp6,150 ke Rp7,800), selaras dengan kinerja apiknya hingga Q2 2025 kemarin dimana laba bersihnya tumbuh 40% dibanding periode yang sama tahun 2024. Namun jika dibanding kenaikan saham sawit lainnya seperti SIMP (naik 59%), SGRO (121%), hingga TAPG (151%), maka kenaikan AALI tergolong masih moderat, tapi itu sekaligus menyebabkan valuasi sahamnya masih terdiskon, tepatnya dengan PER 10.7x dan PBV 0.7x pada harga saham Rp7,800. Nah, apa ini berarti peluang? Karena kalau kita ambil PBV wajar AALI di 1.5x, sama seperti PBV SGRO saat ini, maka artinya targetnya Rp18,000?
***
Ebook
Investment Planning berisi kumpulan 25 analisa saham
pilihan edisi Q3 2025 akan terbit tanggal 9 November, dan sudah bisa
dipesan
disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio langsung dengan penulis.
***
Sebelum menjawab itu, mari kita telisik lagi AALI ini sejak awal.
PT Astra Agro Lestari, Tbk adalah anak usaha Grup Astra (PT Astra International, Tbk) di bidang perkebunan kelapa sawit, dengan kepemilikan lahan yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, lengkap dengan pabrik kelapa sawit (PKS) yang mengolah tandan buah sawit menjadi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), fasilitas penyulingan yang mengolah CPO tersebut lebih lanjut (pemurnian, bleaching, dan deodorization), serta pabrik yang mengolah ampas sawit menjadi pupuk. Perusahaan memproduksi 1,125 ribu ton CPO di tahun 2024, turun 12% dibanding 2023. But thanks to kenaikan harga CPO di pasar internasional (Rotterdam Market) dari rata-rata $964 per ton di 2023 menjadi $1,084 per ton di 2024, maka AALI tetap mencatat pendapatan Rp21.8 triliun di 2024, naik dibanding Rp20.7 triliun di 2023, dan demikian pula earnings per share (EPS) AALI naik menjadi Rp596, dibanding Rp549 per saham di 2023.
Kemudian disepanjang semester pertama 2025 kemarin, AALI memproduksi 601 ribu ton CPO, tumbuh 14% dibanding periode yang sama tahun 2024. Dan karena harga rata-rata CPO Rotterdam juga naik lebih lanjut menjadi $1,187 per ton, yang mana itu menyebabkan harga rata-rata CPO yang dijual AALI dalam Rupiah naik lebih tinggi dari Rp12,883 menjadi Rp14,268 per kg (karena Rupiah melemah terhadap Dollar), maka jadilah AALI mencatat pendapatan Rp14.4 triliun, lompat 40% dibanding periode yang sama tahun 2024. Nah, normalnya kalau pendapatan perusahaan naik setinggi itu, apalagi kenaikan tersebut lebih karena dipicu oleh kenaikan harga jual CPO, maka laba bersihnya akan naik lebih tinggi lagi, karena harga pokok penjualannya tetap atau hanya naik sedikit. Contohnya kalau kita lihat kinerja PT Sampoerna Agro, Tbk (SGRO) dimana pada semester pertama 2025 pendapatannya naik 45%. Sedangkan laba bersihnya? Meroket 236%.
Beban Lisensi Rp400 miliar?
Nah, tapi dalam kasus AALI, laba bersihnya naik sama persis 40% juga. Jadi dimana masalahnya? Dan ternyata, perusahaan di tahun 2025 ini mencatat beban perizinan (license) sebesar Rp400 miliar, yang mana beban ini di tahun sebelumnya tidak ada, tapi karena beban itulah laba AALI hingga Q2 2025 kemarin tercatat hanya Rp702 miliar. Sedangkan jika bukan karena beban perizinan tersebut maka laba AALI harusnya tercatat Rp1.1 triliun, naik 120% dibanding periode yang sama tahun 2024.
Sehingga pertanyaannya sekarang, beban perizinan ini sebenarnya apa? Sayangnya di laporan keuangan (LK) AALI tidak ada detail lebih lanjut, tapi ini yang penulis perhatikan:
- Beban ini masuk liabilitas akrual, yang itu artinya perusahaan sudah mengakui Rp400 miliar sebagai beban, tapi uangnya belum dibayarkan,
- Angkanya sangat bulat Rp400,000,000,000, alias persis Rp400 miliar, tidak kurang atau lebih sepeserpun,
- Sejauh yang kami cek, perusahaan tidak pernah mencantumkan beban ini sebelumnya, dan perusahaan sawit lain juga tidak mencantumkan beban yang sama/sejenis, yang mengindikasikan bahwa beban ini bersifat one time/tidak berulang, dan
- Karena uangnya belum dibayarkan, maka ada kemungkinan angka finalnya bisa lebih tinggi atau sebaliknya lebih rendah dibanding Rp400 miliar itu tadi.
Kemudian pada tahun 2023 lalu, AALI menggelar rapat umum pemegang saham (RUPS) tahunan yang salah satu mata acaranya menyetujui perubahan Anggaran Dasar Perseroan untuk disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.5 Tahun 2021, tentang ‘Penyelenggaraan Perizinan Berbasis Risiko’. Jadi PP tersebut pada intinya mengharuskan perusahaan untuk mendaftarkan ulang perizinan yang mereka miliki (dalam kasus AALI maka Izin Usaha Perkebunan atau IUP), yang kali ini disesuaikan dengan tingkat risiko usaha, apakah tinggi, sedang, atau rendah. Sehingga berikut analisa penulis: Kemungkinan AALI mulai memproses daftar ulang perizinan tersebut pada tahun 2025 ini, yang kemudian menimbulkan biaya administrasi, biaya konsultasi dll, yang angka finalnya belum pasti karena prosesnya masih berjalan. Tapi karena kita tahu bahwa Grup Astra sebagai pemilik AALI sangat prudent termasuk dalam hal penyajian laporan keuangan, maka manajemen langsung mengakui beban-beban tersebut dari sekarang, dan pada angka yang sebesar mungkin, dalam hal ini total Rp400 miliar (dan ini menjelaskan kenapa angkanya bulat, karena itu baru perkiraan).
Dan jika analisa di atas benar adanya, maka fix beban Rp400 miliar itu bersifat one time, karena manajemen AALI hanya akan perlu mengurus daftar ulang perizinan itu sebanyak satu kali saja. Sehingga di laporan keuangan berikutnya nanti: 1. AALI akan kembali mencantumkan beban perizinan Rp400 miliar tersebut, tapi angkanya tidak bertambah/tetap Rp400 miliar dihitung sejak awal tahun. Dan karena di sisi lain pendapatannya tetap kembali tumbuh seperti biasa, maka kali ini laba bersihnya akan naik lebih tinggi dibanding pendapatannya tersebut, dan 2. Jika nanti proses perizinan ini akhirnya tuntas, maka realisasi biaya yang dibayarkan kemungkinan akan lebih kecil dari Rp400 miliar tersebut, dan selisihnya kemudian akan diakui sebagai pendapatan lain-lain, yang juga menaikkan laba bersihnya. Let say, AALI totalnya keluar Rp250 miliar, maka perusahaan akan mencantumkan pendapatan lain-lain Rp150 miliar.
Anyway, terlepas dari soal beban perizinan ini, maka pendapatan AALI tetap akan tumbuh 40 – 50% sampai dengan akhir 2025 nanti, atau lebih tinggi, mengingat:
- Perusahaan dalam beberapa tahun terakhir sukses melakukan peremajaan (replanting) tanaman sawit untuk menaikkan tingkat produktivitas, dalam hal ini seluas 5,052 hektar di tahun 2024, naik dibanding 4,713 hektar di 2023, dan 4,557 hektar di 2022, dan harusnya kembali naik di tahun 2025 ini. Sehingga peningkatan volume produksi CPO AALI di tahun 2025 ini merupakan hasil dari upaya yang sudah dikerjakan sejak bertahun-tahun sebelumnya, dan harusnya akan terus meningkat hingga setidaknya 1 – 2 tahun mendatang.
- Harga CPO yang terakhir tercatat 4,500 Ringgit Malaysia per ton (cek disini) kemungkinan masih akan lanjut naik, mengingat Pemerintah Republik Indonesia sukses menjalankan program biodiesel B40 (campuran 60% minyak solar, dan 40% CPO) untuk bahan bakar minyak (BBM), yang kemudian menaikkan volume konsumsi CPO di dalam negeri dan imbasnya mengurangi volume ekspor CPO Indonesia. Dan karena Indonesia adalah eksportir CPO terbesar di dunia, maka penurunan volume ekspor menyebabkan kelangkaan pasokan CPO di pasar internasional, dan alhasil harganya naik.
Kemudian karena seperti disebut diatas, beban perizinan Rp400 miliar tadi harusnya bersifat one time, maka di LK Q3 nanti laba bersih AALI akan naik lebih tinggi dibanding kenaikan pendapatannya, dan lebih tinggi lagi pada Q4. Dan sudah tentu pada saat itu, sahamnya tidak akan lagi dihargai murah seperti sekarang.
Kesimpulannya, bagi anda yang ketinggalan kereta di saham-saham sawit, maka masih ada ‘kereta’ AALI disini yang belum jalan. Risikonya disini adalah jika beban perizinan tadi ternyata tidak bersifat one time/di LK Q3 nanti kembali muncul beban serupa, atau jika harga CPO berbalik turun. Tapi karena sejak awal valuasi saham AALI masih murah, maka dalam skenario terburuknya, harusnya sahamnya hanya turun sedikit saja ke Rp6,000 – 7,000. Sedangkan jika risiko diatas tidak terjadi, dan jika Pemerintah sukses meluncurkan biodiesel B50 (sekarang masih on progress), maka target konservatifnya di Rp12,000, optimisnya di Rp18,000. So, wanna join the train?
Disclosure: Ketika artikel ini diposting, Avere Investama sedang dalam
posisi hold AALI di harga rata-rata Rp7,415. Posisi ini bisa berubah
setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.
***
Ebook Investment Planning berisi kumpulan 25 analisa saham pilihan edisi Q3 2025 akan terbit tanggal 9 November, dan sudah bisa dipesan disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio langsung dengan penulis.
Komentar