Tips Memilih Saham Untuk Investasi Jangka Panjang/Seumur Hidup
Pak Teguh, banyak yang mengatakan di media sosial bahwa saham di Indonesia kurang cocok untuk hold dalam jangka panjang karena prospeknya yang dianggap kurang baik. Mereka menyarankan agar lebih baik dijual ketika sudah profit. Sementara itu untuk saham luar negeri katanya tidak masalah jika di-hold sampai jangka sangat panjang, bahkan hingga tua nanti. Bagaimana pendapat Bapak mengenai pandangan seperti itu?
***
Ebook Investment Planning berisi kumpulan 25 analisa saham pilihan edisi Q3 2025 akan terbit tanggal 9 November, dan sudah bisa dipesan disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio langsung dengan penulis. Tersedia juga edisi sebelumnya yang bisa dipesan pada harga diskon.
***
Jawab
Betul pak, jadi begini. Dulu kalau ada investor bertanya saham apa yang bisa di-hold untuk jangka waktu 5 tahun atau lebih, atau istilahnya legacy stock, maka saya selalu menyarankan saham dari sektor consumer goods, dan perbankan. Alasannya karena dua sektor itu akan terus bertumbuh selaras dengan pertumbuhan ekonomi itu sendiri, dimana selama jumlah penduduk terus bertambah maka tingkat konsumsi termasuk kebutuhan akan layanan keuangan, juga akan meningkat. Jadi beda dengan misalnya sektor komoditas batubara, sawit dll, dimana kinerja emitennya akan naik dan turun dipengaruhi oleh harga komoditas yang bersangkutan. Atau perusahaan di sektor otomotif, pembiayaan, konstruksi, dan properti, yang kinerjanya juga bisa turun drastis kalau pertumbuhan ekonomi melambat sedikit saja.
Sedangkan untuk dua sektor diatas, maka kecuali Indonesia benar-benar jatuh krisis seperti tahun 1998 atau 2008 dulu, maka kinerja perusahaan di dua sektor ini bisa diharapkan akan terus bertumbuh. Kemudian dari dua sektor tersebut kita pilih yang perusahaannya sudah berdiri sejak lama/sudah mapan, berstatus sebagai market leader di bidangnya, punya track record kinerja bagus serta konsisten bertumbuh, dan kualitas GCG/manajemennya juga bagus. Contohnya saham-saham blue chip yang sudah sangat well-known, seperti HM Sampoerna (HMSP), Unilever Indonesia (UNVR), Bank BRI (BBRI), dan tentunya Bank BCA (BBCA).
Nah, tapi itu dulu, tepatnya sebelum era covid tahun 2020. Pasca covid, terdapat perubahan signifikan terkait situasi sosial ekonomi politik di Indonesia dan juga kebijakan-kebijakan Pemerintah, yang pada gilirannya mempengaruhi kinerja serta prospek dari perusahaan-perusahaan yang disebut diatas. Contoh, HMSP sebagai perusahaan rokok terbesar di Indonesia sukses mencatat kinerja yang terus bertumbuh saban tahun sejak diakuisisi oleh Philip Morris International (PMI) pada tahun 2005, sampai 2018. Namun memasuki tahun 2019, Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 23%, lebih tinggi dibanding biasanya yang hanya 10%, dan kembali naik tinggi di tahun-tahun berikutnya, tak peduli meski Indonesia jatuh resesi karena pandemi di tahun 2020 – 2021. Ditambah rokok ilegal tanpa cukai merajalela, maka jadilah kinerja HMSP terus turun sejak tahun 2019 tersebut sampai sekarang. Lalu UNVR, perusahaan pasca covid juga dihantam oleh isu boikot Israel, dan seketika kinerjanya yang sebelumnya naik terus berbalik menjadi turun terus.
Lanjut ke BBRI, maka kinerja perusahaan pasca covid sejatinya tergolong masih bagus, dimana meskipun laba bersihnya di tahun 2025 ini turun, tapi itu karena kenaikan beban CKPN yang sifatnya hanya pembukuan. Namun setelah Pemerintah mengalihkan kepemilikan BBRI ke Danantara, dimana cara kerja Danantara ini adalah mengambil dividen sebesar-besarnya dari perusahaan untuk kemudian diinvestasikan ke proyek-proyek strategis, maka disinilah prospek jangka panjang BBRI menjadi berubah, karena itu berarti BBRI hanya akan memiliki sedikit sisa saldo laba ditahan yang bisa diinvestasikan kembali, sehingga potensi pertumbuhannya menjadi terbatas. Dan terakhir BBCA, maka tadinya penulis berharap bahwa saham legendaris ini masih bisa direkomendasikan untuk investasi jangka panjang 5 tahun. Tapi setelah kemarin ramai isu bahwa Pemerintah akan mengambil alih BBCA untuk juga ditempatkan di bawah Danantara, dan bahwa akuisisi Grup Djarum terhadap perusahaan pada tahun 2001 lalu dianggap janggal atau bahkan diduga ilegal, maka saya otomatis jadi mikir-mikir lagi. Karena sepanjang pengalaman saya di market, belum pernah terjadi sebelumnya ada perusahaan sekelas BBCA diutak-atik seperti itu.
Nah, jadi karena hal inilah, dan karena saham-saham yang disebut diatas memang terbukti dalam lima tahun terakhir ini kurang perform, maka kalau sekarang ini saya ditanya, saham apa yang bagus untuk 5 – 10 tahun ke depan? Maka saya akan jawab, tidak ada. Sebenarnya saya sendiri sempat berharap banyak ketika Kementerian Keuangan kemarin menyatakan akan bertemu dengan asosiasi pengusaha rokok, untuk membahas tarif cukai yang memang sudah sangat mencekik. Tapi sayangnya keputusan akhirnya hanya sebatas tidak ada kenaikan cukai, tapi juga tidak ada penurunan.
Meski demikian, dan saya sudah pernah menyampaikan ini sebelumnya, saya sendiri hampir tidak pernah beli saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk tujuan di-hold hingga 5 – 10 tahun ke depan, melainkan paling lama 1 – 2 tahun saja, dan penjelasannya bisa dibaca lagi disini. Sebab, pengalaman menunjukkan bahwa profit terbesar/multibagger itu bisa diperoleh dari saham-saham yang dibeli pada valuasi serendah-rendahnya, biasanya ketika kinerjanya sedang kurang bagus, dan nanti sahamnya akan naik sangat tinggi ketika kinerja perusahaan yang bersangkutan berubah menjadi bagus (turnaround). Contohnya? Well, di sepanjang 2025 ini penulis ada beli (dan masih hold) saham perusahaan tambang nikel, perhiasan emas, dan perkebunan kelapa sawit. Dan meski saya belum tahu kapan akan menjual saham-saham tersebut, tapi kemungkinan saya akan sudah melakukannya sebelum tahun 2030 nanti, karena kita tidak bisa berharap bahwa misalnya harga emas akan naik terus, melainkan dia akan sesekali turun, meski tentunya kita tidak bisa menebak kapan.
Sedangkan kalau anda misalnya beli BBRI, maka coba cek lagi: Valuasinya tidak pernah benar-benar murah (jika dibandingkan saham second liner), dimana bahkan pada harga sahamnya saat ini di Rp3,850, PBV-nya masih 1.8x. Sebagai perbandingan, PBV perusahaan kelapa sawit, AALI, hanya 0.7x pada harga saham Rp8,000. Jadi meskipun saya tidak tahu apakah AALI masih bagus dalam 5 – 10 tahun ke depan, karena bisa saja harga crude palm oil (CPO) akan berbalik turun, tapi untuk setidaknya setahun kedepan maka harusnya prospek AALI ini masih akan bagus.
Okay Pak Teguh, tapi bagaimana kalau saya ingin beli saham untuk benar-benar di-hold dalam jangka sangat panjang, kalau bisa seumur hidup? Well, kalau demikian maka betul seperti yang dikatakan orang-orang di medsos: Bapak bisa pertimbangkan untuk buka rekening dan membeli saham di Amerika Serikat (US). Karena kalau disana, thesis bahwa saham perbankan dan consumer goods itu bagus untuk long term, itu masih berlaku. Contohnya, di blog ini saya sudah menyebut bahwa Meta Platforms, Inc (META), perusahaan pemilik Facebook, Instagram, dan WhatsApp, itu cocok untuk jangka panjang, karena yang namanya media sosial pada hari ini sudah bisa dianggap sebagai kebutuhan sehari-hari. Atau bapak bisa melirik isi porto Berkshire Hathaway/Warren Buffett, dimana disitu ada Apple Inc (AAPL, sudah di-hold 9 tahun), American Express Co (AXP, 31 tahun), dan The Coca Cola Co (KO, 36 tahun). Perhatikan bahwa ketiga perusahaan tersebut memenuhi syarat sebagai legacy stocks, yakni: 1. Perusahaannya besar, mapan, dan berstatus sebagai market leader di bidangnya, 2. Track record kinerja bagus, 3. Merk produknya sangat populer, 4. Manajemen kelas dunia, dan 5. Bisnisnya di consumer goods (AAPL juga bisa disebut sebagai perusahaan consumer elektronik, karena kita semua perlu ponsel untuk kebutuhan sehari-hari), dan perbankan.
Kemudian yang terpenting adalah, ketiga perusahaan diatas beroperasi tidak hanya di US, melainkan di seluruh dunia. Sehingga kalau misalnya ada satu negara mengalami resesi dan alhasil pendapatan AAPL dari negara tersebut turun, maka di sisi lain ada juga negara yang ekonominya sedang booming, dan alhasil kenaikan pendapatan dari negara yang booming ini bisa menutup penurunan dari negara yang resesi itu tadi. Keunggulan seperti ini sama sekali tidak dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, dimana mereka hanya beroperasi disini saja, sehingga ketika ekonomi di dalam negeri sedang lesu seperti sekarang, atau Pemerintah mengeluarkan kebijakan tertentu yang bersifat kurang menguntungkan, maka mau tidak mau kinerjanya akan ikut terdampak.
Jadi kesimpulannya, sebenarnya masih ada banyak saham-saham di BEI yang bagus
untuk investasi jangka menengah, hanya memang horizonnya tidak bisa lagi
terlalu panjang sampai 5 – 10 tahun, melainkan paling lama 1 – 2 tahun saja,
setidaknya mungkin sampai suatu hari nanti Pemerintah menerapkan perubahan kebijakan
yang lebih ‘bersahabat’. Tapi sebelum itu, jika Bapak tetap ingin pilihan saham untuk di-hold seumur hidup, maka seperti disebut di atas, bisa pertimbangkan untuk diversifikasi ke saham-saham US. Semoga lancar!
***
Hingga akhir September, Avere Investama US Stocks mencatat profit +37.1% dihitung sejak awal tahun 2025. Untuk melihat saham-saham apa saja yang kami pegang bisa ikut channel telegram USC disini, gratis konsultasi dan tanya jawab saham US untuk member.

Komentar