Bank BII

Kalau anda perhatikan, volume transaksi Bank Internasional Indonesia atau Bank BII (BNII), meningkat tajam dalam sebulan terakhir. Kalau biasanya volume transaksi BNII dalam satu hari paling banyak hanya menyentuh 1 juta lembar, maka kemarin-kemarin bahkan sempat mencapai 74 juta lembar dalam satu hari. Apa yang terjadi?

Pada fy2009 lalu, BNII menjadi satu-satunya anggota sepuluh besar bank di Indonesia yang mencatat rugi bersih, persisnya sebesar 41 milyar, ditengah-tengah bank lain yang justru mencatat kenaikan laba bersih antara 15-25%. Akibatnya, harga saham BNII terjun bebas dari 465 pada Juni 2009, menjadi tinggal 255 pada Maret 2010 kemarin. Namun kini sahamnya sudah mulai merangkak naik lagi, sempat menyentuh 320 pada awal April lalu sebelum kemudian kini berada pada posisi 285. Penyebabnya? Mungkin karena kinerja BNII sudah mulai pulih pada tahun ini, dengan mencatat laba bersih 208 milyar pada Q1/10 kemarin.


Porsi kepemilikan publik di BNII memang nggak besar, cuma 2.48%. Tapi karena saham BNII yang beredar di pasar jumlahnya cukup besar yaitu 50 milyar lembar, maka jumlah saham publiknya adalah 1.2 milyar, jadi likuiditas puluhan juta lembar per hari yang terjadi belakangan adalah wajar.

Lantas bagaimana dengan prospeknya?

Dengan market cap cuma 14.2 trilyun, harga BNII memang tampak murah karena itu berarti cuma 2.6 kali nilai ekuitasnya (rata-rata anggota sepuluh besar bank lainnya memiliki market cap 4-5 kali ekuitasnya). Namun meski laba bersihnya naik pesat dibanding tahun lalu, itu masih belum cukup mengingat laba bersih tersebut menghasilkan annualized PER 17.1 kali, jauh lebih tinggi dibanding bank-bank lain yang rata-rata hanya 12-14 kali.

Tapi untuk kedepannya, sepertinya BNII punya masa depan yang lumayan cerah. Sebabnya? Seperti sudah diketahui, BNII sudah sekitar 1 - 2 tahun terakhir diakuisisi dan dimiliki oleh Maybank, perusahaan perbankan asal Malaysia. Entah kebetulan atau tidak, biasanya kalau perusahaan asing (asing sungguhan tentunya, bukan asing dari negara-negara yang ga jelas seperti British Virgin Island, Seychelles, dll) termasuk Malaysia masuk untuk membeli perusahaan yang sakit-sakitan di Indonesia, mereka bisa menyulap perusahaan sakit tersebut menjadi perusahaan bagus dengan kinerja yang menjanjikan. Jika anda tidak yakin maka coba saja amati kinerja perusahaan-perusahaan yang kini mayoritas sahamnya dimiliki oleh asing seperti EXCL, RMBA, ASII, dll. Hal yang sama juga terjadi dengan BNII. Namun tentu statement ini hanya spekulasi yang kebenarannya baru bisa dibuktikan dalam beberapa waktu kedepan. Kita lihat saja nanti apakah pada kuartal berikutnya, BNII mampu menjaga performanya.

Keragu-raguan investor akan performa BNII juga tampak pada pergerakan harga sahamnya selama sebulan terakhir. BNII sempat menyentuh 320 pada awal April, sebelum turun menjadi 265, dua minggu kemudian. Lalu naik lagi, kemudian turun lagi, begitu saja terus.

Dengan kondisinya sekarang, kalaupun misalnya BNII turun, saya kira tidak akan lebih rendah dari 260. Mungkin BNII bisa jadi alternatif pilihan bagi anda yang doyan penny stock untuk jangka pendek. Anda hanya tinggal menentukan kapan waktu yang tepat untuk masuk dan kapan saatnya untuk keluar. Tapi gaya bermain seperti ini tentunya tidak disarankan bagi anda yang terlalu sibuk untuk memonitor pergerakan saham setiap saat. So, it’s all your choice.

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)