Mengenal ‘Fed Rate’, dan Pengaruhnya Terhadap IHSG

Pada hari Kamis tanggal 19 Maret 2015, chairwoman Federal Reserve, Janet Yellen, menyatakan bahwa The Fed (istilah populer dari Federal Reserve, yang merupakan Bank Sentral Amerika Serikat) tidak akan terburu-buru dalam menaikan suku bunga acuan, atau yang dikenal dengan istilah ‘Fed Rate’. Sesaat setelah pernyataan tersebut dirilis, indeks-indeks saham di  Benua Eropa dan juga Asia rata-rata naik signifikan . Sebelumnya, para pelaku pasar di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia, khawatir bahwa jika The Fed menaikkan Fed Rate, maka dana asing yang ada di bursa saham lokal akan keluar dan berpindah ke Negeri Paman Sam. Sebab dengan suku bunga acuan yang lebih tinggi, maka dalam pandangan investor-investor global, investasi di Amerika Serikat (AS) dengan sendirinya menawarkan tingkat imbal hasil yang lebih tinggi, sementara disisi lain risikonya tetap dianggap sangat rendah mengingat Amerika adalah negara dengan perekonomian paling besar di dunia.

Dan jika dana asing keluar dari pasar saham Indonesia, maka IHSG juga bisa dipastikan akan tertekan minimal dalam jangka pendek. However, itu belum terjadi, setidaknya untuk saat ini. Namun mungkin yang sekarang menarik untuk dibahas adalah, apa itu Fed Rate? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap IHSG?

Fed Rate, atau suku bunga Federal Reserve, adalah kurang lebih sama dengan BI Rate (penjelasannya baca disini) dimana itu adalah tingkat suku bunga untuk satu tahun yang ditetapkan oleh The Fed sebagai patokan bagi suku bunga pinjaman maupun simpanan bagi bank dan atau lembaga-lembaga keuangan di seluruh AS. Simpelnya ketika Fed Rate naik, maka bunga pinjaman maupun simpanan di bank dan lembaga keuangan lainnya juga bisa naik. Jika bunga simpanan di bank-bank di Amerika naik, maka itu akan menarik minat investor dari seluruh dunia untuk menempatkan dana mereka dalam bentuk tabungan/deposito di Amerika. Tidak hanya bunga tabungan, ketika Fed Rate naik maka bunga obligasi yang diterbitkan perusahaan-perusahaan di Amerika juga biasanya akan ikut naik. Kalau kita ambil contoh BlackRock, perusahaan asset management terbesar di dunia asal New York, AS, mereka lebih banyak menempatkan portofolionya di instrumen obligasi ketimbang saham (53.3% berbanding 43.5%, sisanya dalam bentuk istrumen pasar uang termasuk deposito). Jadi jika Fed Rate naik maka bisa dipastikan bahwa mereka akan menarik minimal sebagian investasinya dari negara-negara diluar Amerika (termasuk dari Indonesia, jika mereka turut menempatkan sebagian kecil investasinya disini) untuk balik kandang ke negara mereka sendiri.


Logo dari BlackRock, perusahaan asset management terbesar di dunia dengan dana kelolaan lebih dari US$ 4.6 trilyun pada akhir Februari 2015

Nah, sebelum keluarnya pernyataan Janet Yellen pada Kamis lalu, terdapat spekulasi bahwa The Fed akan menaikkan Fed Rate dalam waktu dekat, dan spekulasi itu timbul hanya karena Fed Rate sudah berada di level yang sangat rendah yakni 0.25% sejak Desember 2008 lalu dan masih belum naik-naik lagi sampai sekarang. Sebelumnya, The Fed sengaja menekan Fed Rate hingga mentok di level 0.25% sejak Desember 2008 lalu karena pada tahun tersebut AS mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, bahkan sampai negatif.

Karena seperti halnya tingkat suku bunga yang ditetapkan oleh bank-bank sentral dari negara-negara lainnya di seluruh dunia, penetapan Fed Rate juga bertujuan untuk menyeimbangkan antara tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi di AS. Simpelnya, ketika Fed Rate diturunkan, maka para bank di Amerika akan ‘dipaksa’ untuk menyalurkan kredit ke masyarakat. Sebab kalau mereka hanya mau main aman dengan menaruh dana di The Fed (risiko kredit macet di The Fed sangat kecil, karena dijamin oleh Pemerintah AS), maka mereka hanya akan menerima bunga yang amat sangat kecil, yakni 0.25% per tahun. Dan ketika para pengusaha/perusahaan menerima kredit/pinjaman dari bank, maka mereka akan menggunakannya untuk mendirikan pabrik dll, yang kemudian menciptakan lapangan kerja, dan pada akhirnya menumbuhkan perekonomian secara keseluruhan.

Sebenarnya, ketika Amerika mengalami krisis pada tahun 2008 dan 2009 dimana pertumbuhan ekonominya tercatat negatif, maka seharusnya Fed Rate diturunkan ke level yang lebih rendah lagi. Namun karena Fed Rate tidak bisa ditetapkan pada level 0% apalagi negatif, maka The Fed menggunakan instrumen lain yakni quantitative easing (QE), dimana The Fed itu sendiri yang mencetak uang Dollar baru dan menyalurkannya ke masyarakat, dengan harapan itu akan memudahkan orang-orang untuk melakukan transaksi jual beli, dan pada akhirnya menumbuhkan perekonomian. Penjelasan selengkapnya baca lagi disini.

Disisi lain, ketika para bank jor-joran dalam menyalurkan kreditnya, dan The Fed itu sendiri mencetak banyak uang Dollar baru melalui program QE tadi, maka jumlah uang yang beredar di seluruh penjuru Amerika akan meningkat signifikan sehingga bisa menyebabkan kenaikan inflasi. Karena itulah, ketika Amerika sudah kembali mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif namun disisi lain tingkat inflasi juga turut naik, maka program QE tadi bisa dihentikan (istilahnya tapering, penjelasannya baca disini), dan Fed Rate juga bisa kembali dinaikkan agar tingkat inflasi bisa kembali turun ke level yang aman.

Nah, berdasarkan data terbaru dari US Bureau of Economic Analysis, Amerika mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 2.4% secara year on year pada tahun 2014, dan itu sudah jauh lebih baik dibanding puncak krisis global pada awal tahun 2009 lalu, dimana pertumbuhan ekonomi Amerika tercatat minus 4.2%. Namun menariknya, tingkat inflasi juga ternyata masih terjaga di level yang sangat aman, yakni minus 0.1% (year on year, bukan monthly) alias deflasi pada Januari 2015, atau terendah sejak 2009. Berdasarkan fakta inilah, maka pernyataan Ms. Yellen bahwa The Fed tidak akan buru-buru menaikkan Fed Rate menjadi bisa dijelaskan. Karena untuk apa menaikkan Fed Rate kalau data pertumbuhan ekonomi dan inflasi sama-sama menunjukkan angka yang bagus? Ceritanya mungkin baru akan berbeda jika Pemerintah Amerika menginginkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik lagi (karena pertumbuhan 2.4% tadi biar bagaimanapun masih relatif rendah), dimana mereka akan meminta The Fed untuk menaikkan Fed Rate.

Problemnya adalah, karena posisi Fed Rate sudah mentok di level terendahnya yakni 0.25%, maka praktis cuma soal waktu saja sebelum dia akan dinaikkan kembali, dan dia bisa naik sampai level berapa saja. Karena meskipun posisi Fed Rate pada saat ini tampak sangat rendah dibanding dengan rate dari bank-bank sentral di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia, dimana BI Rate-nya mencapai 7.50%), namun dimasa lalu Fed Rate juga pernah ditetapkan pada posisi yang sangat tinggi, termasuk pernah menembus angka 19% pada awal dekade 80-an. Jadi seperti yang sudah penulis sebutkan barusan, ketika nanti Fed Rate pada akhirnya mulai dinaikkan, maka dia bisa terus naik sampai level berapa saja.

Pertanyaannya, ketika Fed Rate nanti benar-benar naik, maka bagaimana dampaknya terhadap IHSG?

Secara teori, seperti yang sudah disebut diatas, ketika Fed Rate dinaikkan maka dana investor yang ditempatkan di negara-negara diluar Amerika, termasuk Indonesia, akan berhamburan keluar menuju New York dan sekitarnya. Dan ketika itu terjadi maka IHSG mestinya bakal turun.

Namun, itu teorinya. Lalu bagaimana dengan prakteknya? Well, mari kita langsung saja melihat datanya. Berikut adalah data Fed Rate sejak 1997 sampai sekarang, plus data net foreign buy di BEI, dan kenaikan/penurunan IHSG dalam satu tahun.

Year
Fed Rate
Net Foreign Buy
JCI Growth
1997
5.50
0.4
(44.3)
1998
4.75
5.1
(0.9)
1999
5.50
12.1
70.1
2000
6.50
0.8
(38.5)
2001
1.75
4.5
(5.8)
2002
1.25
7.9
8.4
2003
1.00
9.9
62.8
2004
2.25
18.8
44.6
2005
4.25
(15.4)
16.2
2006
5.25
17.3
55.3
2007
4.25
32.6
52.1
2008
0.25
18.7
(50.6)
2009
0.25
13.3
87.0
2010
0.25
21.0
46.1
2011
0.25
24.3
3.2
2012
0.25
15.9
12.9
2013
0.25
(20.6)
(1.0)
2014
0.25
42.6
22.3

Catatan:
  1. Fed Rate adalah posisi pada akhir tahun yang bersangkutan, angka dalam persen
  2. Net Foreign Buy (belanja asing bersih) adalah dalam trilyunan Rupiah, sementara JCI Growth (Kenaikan IHSG) adalah dalam persen per tahun.

Perhatikan. Kata kuncinya disini adalah, kalau Fed Rate naik, maka asing seharusnya akan keluar dan IHSG juga turun. Namun apakah benar seperti itu yang terjadi? Here we go: Pada tahun 2000, Fed Rate naik dari 4.75% di dua tahun sebelumnya, menjadi 6.50%. Namun ternyata pada tahun 1999 dan 2000, asing masih mencatatkan net buy di BEI masing-masing Rp12.1 dan 0.8 trilyun. Menarikanya, IHSG bergerak secara bertolak belakang pada dua tahun tersebut, dimana ia naik 70.1% pada 1999, namun anjlok 38.5% pada tahun 2000. Jadi dalam contoh kasus antara tahun 1998 hingga 2000, maka teori bahwa The Fed naik akan menyebabkan asing keluar dan IHSG turun, tidak berlaku.

Kemudian pada tahun 2004, Fed Rate sekali lagi naik dari 1.00 (di tahun 2003) menjadi 2.25%, dan terus naik hingga mencapai 5.25% pada tahun 2006. Namun faktanya antara tahun 2003 hingga 2006, IHSG malah naik terus dengan kenaikan yang sangat signifikan setiap tahunnya (rata-rata lebih dari 40% per tahun), dan asing juga hanya sekali mencatatkan net sell pada tahun 2005. Setelah tahun 2006, Fed Rate terus turun hingga mencapai titik terendahnya yakni 0.25% pada 2008, yang bertahan sampai sekarang. Namun pada tahun 2008, ketika Fed Rate terus turun hingga mencapai 0.25%, IHSG juga malah anjlok sampai lebih dari separuhnya. Dan pada tahun 2013, ketika Fed Rate masih adem ayem di level 0.25%, asing malah tetap saja keluar secara besar-besaran dari BEI, dan ketika itu IHSG turun tipis 1.0%.

Intinya sih, penulis bukannya mengatakan bahwa Fed Rate tidak berpengaruh apa-apa terhadap IHSG. Hanya saja, Fed Rate tersebut hanyalah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi IHSG. Faktor-faktor lainnya contohnya kenaikan/penurunan BI Rate, inflasi, pertumbuhan ekonomi, kinerja para emiten, fluktuasi nilai tukar Rupiah, valuasi IHSG itu sendiri, kebijakan pemerintah, daaaaan seterusnya, dimana ada beberapa faktor tersebut yang lebih berpengaruh terhadap pergerakan IHSG ketimbang sekedar Fed Rate. At the end, Fed Rate yang kita bahas disini hanyalah faktor yang berasal dari luar, yang tidak berhubungan langsung dengan fundamental perekonomian Indonesia.

Jadi apakah itu artinya jika nanti Fed Rate dinaikkan, maka IHSG tidak akan turun? Ya belum tentu juga. Berdasarkan pengalaman, faktor yang paling berpengaruh terhadap naik turunnya IHSG adalah valuasi dari IHSG itu sendiri (penjelasannya baca disini). Kebanyakan orang mengatakan bahwa anjloknya IHSG pada tahun 2008 lalu adalah karena imbas dari krisis global, dan itu memang benar. Namun faktor lainnya yang juga harus diperhatikan adalah, pada tahun 2007, setelah dia terus saja naik selama empat tahun berturut-turut, valuasi IHSG sudah amat sangat mahal, dimana rata-rata PER dari seluruh saham di BEI ketika itu sempat menyentuh angka 21 kali, atau jauh diatas level normalnya yakni 12 – 14 kali. Jadi bisa dikatakan bahwa isu krisis global tersebut hanyalah pemicu untuk meledakkan bubble IHSG, yang sejak awal memang sudah siap untuk meletus kapan saja.

Problemnya adalah, ketika artikel ini ditulis, rata-rata PER IHSG tercatat 18.5 kali, atau sudah lumayan mahal meski belum semahal ketika IHSG mencapai level 2,800-an pada tahun 2007, atau ketika IHSG mencapai level 5,250-an pada pertengahan 2013. Intinya sih, untuk saat ini IHSG masih memiliki sedikit ruang untuk naik lebih lanjut, tapi pada akhirnya dia tetap akan turun untuk kembali ke level normalnya, meski kita tentunya tidak akan mengtahui kapan itu akan terjadi. 

Namun jika IHSG masih melanjutkan kenaikannya dalam waktu dekat ini hingga PER-nya menembus 19 kali, misalnya, maka ketika nanti Fed Rate akhirnya dinaikkan, maka itu akan jadi pemicu yang sangat bagus bagi IHSG untuk mengalami koreksi. Dan jika faktor-faktor lainnya turut ‘mendukung’ koreksi tersebut, misalnya jika para emiten mencatatkan kinerja yang tidak terlalu baik di Kuartal I 2015 nanti, maka pasar saham Indonesia tentunya akan memasuki periode bearish-nya kembali dimana itu akan menjadi kesempatan bagi para bargain hunter untuk belanja barang-barang blue chip nan bagus di harga murah, sama seperti beberapa bulan lalu kita belanja UNTR di harga diskon. Kita tunggu!

Info Bagi Investor: Buletin analisis dan stock-pick saham bulanan edisi April 2015 akan terbit tanggal 1 April mendatang Anda bisa memperolehnya disini.

Komentar

Anonim mengatakan…
siang pak teguh,
terimakasih pak web bapak sangat berguna sekali untuk saya, semoga tuhan memberikan pahala untuk dedikasi bapak di dunia pasar modal.

pak saya mohon untuk review saham PGAS pak, di karnakan PGAS sudah turun cukup dalam dari awal tahun.

apakah ini termasuk good opportunity atau tidak?

terimakasih pak
salam
Anonim mengatakan…
So , sekarang bung dan rekan-rekannya sudah mulai perduli (hehe), keputusan yang bijak dan baik untuk kesehatan.

Bicara mengenai the fed memang tidak ada habis-habisnya , mulai dari teori konspirasi sampai teori komplikasi. The Fed sebagai figur utama dari mata uang utama yaitu king Dollar tentu punya pengaruh yang sangat besar di dunia ini, mulai dari likuiditas hingga kredit dan selama seluruh umat di dunia masih menyembah currency yang sama , maka selama itu pula sang dollar dan the fed akan menjadi "Michael Jackson" nya ekonomi dunia.

Bicara mengenai rate dan manfaatnya , bicara mengenai the Neo-Keynesian dengan krugman-nya juga tidak ada habisnya dan terbukti sampai sekarang masih jadi perdebatan dan pantas diragukan khasiatnya, mengingat USA belum keluar dari bayang-bayang kelesuan dan pernyataan bahwa US sudah bangkit juga mengada-ngada jauh panggang dari api karena median income , home ownership maupun labor participation belum juga bangkit dari keterpurukan 2008 , sementara inflasi bahan pangan juga national debt meningkat, secara sederhana bisa dikatakan liabilitas per kapita meningkat sementara ekuitas merosot.(ini bukan asal cuap-cuap , ini data dari Riset The Fed sendiri, silahkan main-main dan utak-atik sendiri di http://research.stlouisfed.org)

Bicara mengenai rate yang rendah = gelontoran kredit yang membanjiri massa adalah sekedar teori trickle down , pada faktanya adalah penguatan likuiditas perbankan (positif dan berhasil) namun tidak mengena pada sasaran , karena memang meminjamkan uang dengan rate rendah dengan resiko gagal bayar yang tinggi (ingat kemampuan purchasing power middle class US yang menurun) sehingga perbankan lebih banyak bermain aman dan kondisi rate yang rendah dimanfaatkan secara masif oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk beramai-ramai mencetak utang (aji mumpung), secara teori lagi berarti kebijakan disambut baik dan berarti produksi meningkat ? ternyata TIDAK TERBUKTI , bahwa benar obligasi perusahaan multinasional marak mengambil posisi namun kapital murah yang diterima dimanfaatkan untuk akuisisi dan ..... BUYBACK !

Situasi ini menjelaskan mengapa pasar saham hampir di seluruh dunia (yang sehat maupun yang sekarat) dalam 5 tahun belakangan ini berpesta pora...bila ada yang lebih mudah , tidak pusing-pusing bangun pabrik , rekrut pegawai (yang gampang dilakukan namun sulit dilepaskan) dsb, lebih baik bermain uang di pasar finansial dan turunannya , aset perusahaan terapresiasi dan bisa jadi collateral untuk ambil kredit murah meriah lagi dan terus berputar laiknya roda.

Pada akhirnya The Fed juga Central Bank raksasa lainnya ECB , BOJ dan rekan-rekan seolah menjadi sapi perahan dimana produksi (dengan meingkatnya capital spending dan atau peningkatan Labor) stagnan sementara kredit murah dimanfaatkan untuk akuisisi aset dan peningkatan harga aset .. indah bukan ? pertanyaannya sampai kapan ?

Ini post pertama (gw lagi rajin nyampah di blog orang)

salam

e
Anonim mengatakan…
Post kedua (mumpung masih semangat)

Menanggapi pandangan bung mengenai pengaruh Fed Rate dan JCI growth memang tidak bisa menjadi patokan atau dalil bagi naik atau turunnya indeks lokal. Yang menjadi faktor penting adalah alasan/penyebab naik atau turunnya Rate dari the Fed atau kondisi yang mengakibatkan terciptanya perubahan rate.

Bahwa JCI tidak pernah selamat sentosa ketika ada guncangan finansial maupun moneter besar di regional maupun dunia. '97 tentu tidak perlu dipertanyakan, mengingat terjadi di rumah sendiri yang diikuti guncangan politik. 2000 kita masih dalam masa transisi dan guncangan pasar WorldCom dengan sendirinya mempengaruhi kepercayaan di pasar yang vulnerable. Demam EM (emerging market) tercipta dipelopori oleh China paska internet bubble dan everybody happy ! Pada akhirnya tidak selamat dari koreksi juga pada 2008 dan CURRENCY WAR dimulai !

Belum pernah dalam sejarah , seluruh emerged Market memberlakukan bunga super rendah dari LIRP jadi ZIRP (zero) hingga saat ini di beeberapa belahan EU menjadi NIRP (negatif...yes, ane minjemin duit ,ane kasih bonus sampeyan..gila !), total gelontoran $11 triliun cetakan uang baru diguyur sejak 2008 dan apa hasil yang kita terima saat ini ? Perbaikan pertumbuhan ? NOPE , Pertumbuhan Ekspor ? NOPE ,Pengentasan kemiskinan ? NOPE , Penggelembungan aset ? YESSS !

Bila pada akhirnya seluruh Bail Out yang diikuti QE hanya membuat si kaya menjadi lebih kaya atau super kaya menjadi super gila kaya banget sih loe , sementara purchasing power 99% penduduk dunia menurun ...lalu apakah dasarnya peningkatan ekspektasi MARKET ? bila pasar saham tumbuh pesat kemudian diikuti real market tentu tidak ada yang perlu diragukan KEBANTENGAN-nya , masalahnya tidak demikian faktanya. Kondisi saat ini begitu absurd dan kacau balau , carut marut, semua menciptakan uang dan semua uang baru bergerak baik untuk akuisisi maupun kredit murah dan dengan sendirinya kita ikutan menciptakan uang , karena ilusi permintaan RUPIAH bukan karena seksinya Si-BEYE atau JOKOWI namun karena di luar sana kelebihan Likuiditas yang mencari cara gampang mencari CUAN ! (Dan tidak heran bila kemudiang Rupiah terkoreksi naik dan turun)

Kembali pada statement pertama, bahwa yang jadi persoalan adalah bukan naik atau turunnya RATE namun apa penyebab dan apa akibatnya di luar sana ? dan kondisi itu yang bisa menjadi imbas mengerikan bagi koreksi selanjutnya !

salam

e
Unknown mengatakan…
Thanks e & thanks pak Teguh. Very nice writing and a lot of knowledge to be shared
Anonim mengatakan…
@anonim 25 maret: anda njlimet betul mikirin ekonomi makro. Lebih baik anda jadi spekulan valas saja kalau memang sudah jago. Amalkan ajaran George Soros.

Saya yakin Mas Teguh Hidayat masih 11-12 dengan saya karena kami sama2 penganut ajaran Warren Buffett. Ngikutin perkembangan ekonomi makro international itu bagus, tapi tidak perlu paranoid akan crash atau krisis. Karena WB mengajarkan kita untuk tetap mempunyai cash 10-20 persen portofolio, yang siap dibelanjakan pada saat diskon besar2an.
Anonim mengatakan…
Saya bicara apa adanya , berpikiran terbuka dan berusaha memberikan pencerahan gambaran umum. (pandangan saya bisa benar bisa pula salah - bisa diperdebatkan namun bukan dengan ad hominem)

Karena berpikiran terbuka maka saya bukan spekulan dan ciri dari spekulan adalah mereka yang menutup mata akan sekitar , menutup mata akan pengetahuan dan emoh belajar lebih jauh (Soros spekulan ? not really , benar ia total (all in?) ketika mengambil posisi tapi kita harus paham kalau Si Soros kenal boss siapa saja , tau insider di mana saja, toh ia tetap tenggelam di Rupiah dan Russia)

Sekali lagi ini bukan soal sok jago , sok pinter , sok hebat , tidak sama sekali. Selama masih hidup ya selama itu pula terus belajar dan karena itu pula saya menyambangi blog ini. Karena orang-orang disini sangat suka dan mengaggumi Buffet maka saya ingatkan pula kalau salah satu rasio yang dipopulerkan Buffet adalah Market Cap to GDP ratio...apa itungannya dan bagaimana itungannya dengan kondisi saat ini ya para pengaggumnya seharusnya lebih tahu dan paham.

Paranoid ? no...saya tenang karena saya siap bila Crash terjadi , semoga anda juga demikian.

"Sweat saves blood, blood saves lives, but brains saves both"
Erwin Rommel

Salam,

e
Anonim mengatakan…
Selamat Pagi Pak Teguh,


Mohon maaf pak, saya masih awam mengenai masalah ekonomi, dan membaca blog bapak lebih membantu saya dalam belajar dan membuat saya lebih tertarik untuk mengetahui issue perekonomian. yang ingin saya tanyakan, saat ini nilai tukar rupiah terhadap USD terus melemah, tapi jika dilihat biasanya dalam kondisi seperti ini maka akan dibuat kebijakan menaikan BI Rate yang diharapkan bisa membantu menaikan nilai Rupiah, namun kondisi sekarang yang saya lihat malah sebaliknya. sekarang bank malah mulai menurunkan suku bunga tabungannya. Jadi bagaimana menurut pak Teguh tentang keadaan tersebut? Apabila pernyataan saya salah mohon diperbaiki. Terima Kasih
Unknown mengatakan…
Ga usah terlalu dipermasalahkan, mengenai kondiai global, siklusnya memang selalu begitu, ga peduli sehebat apapun kita kalo tetep no action ya sama ajah buta. Hehe.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI