Pelemahan Rupiah, Kenaikan BI Rate, dan IHSG

Salah satu hotnews di pasar akhir-akhir ini adalah terkait pelemahan Rupiah terhadap US Dollar, dimana hingga ketika artikel ini ditulis, Rupiah sudah berada di level Rp14,326, melemah cukup signifikan dibanding setahunan lalu yang masih di level Rp13,400-an, dan wajar jika orang kemudian jadi khawatir: Bagaimana jika Rupiah terus saja melemah sampai katakanlah tembus Rp15,000? Apakah kita akan mengalami krisis? Lalu bagaimana nasib pasar saham?

Nah, meski mungkin soal Rupiah ini tampak buruk karena terjadi bersamaan dengan periode bear market, tapi bisa penulis katakan bahwa there is nothing to worry about, at least until today, dan berikut penjelasannya.

Pertama, seperti yang pernah saya tulis dulu (tapi lupa di artikel mana), jika Indonesia adalah perusahaan, maka kurs Rupiah itu adalah ‘harga sahamnya’, dimana jika kinerja fundamental makroekonomi nasional lagi bagus maka Rupiah akan menguat, sementara jika ekonomi lagi lesu/krisis, maka Rupiah akan melemah. Namun demikian penulis sendiri belakangan menyadari bahwa, jika Rupiah itu adalah seperti harga saham ‘PT Republik Indonesia Tbk’, lalu kenapa kurs Rupiah sampai sekarang tidak pernah menguat sampai ke level sebelum krisis moneter 1998 (Rp2,500-an per USD), padahal ekonomi kita dalam dua dekade terakhir pasca krismon terbilang tumbuh pesat??

Dan jawabannya adalah, karena tingkat inflasi di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, jauh diatas inflasi di negara-negara lain manapun, dan mungkin hanya lebih baik dibanding negara-negara Afrika. Sebagaimana yang kita ketahui, inflasi menurunkan nilai mata uang. Dan level inflasi kita yang mencapai 10% per tahun (rata-rata dari tahun 1997 sampai 2018) itu jauh lebih besar, dibanding inflasi Amerika Serikat (AS) yang hanya 2 – 3% per tahun. Inilah kenapa Rupiah, meski pada waktu-waktu tertentu menguat terhadap USD, tapi dalam jangka panjang dia akan terus melemah terhadap USD. Jika anda lihat lagi sejarah kurs Rupiah di wikipedia, maka akan kelihatan bahwa Rupiah sejak tahun 1970-an sampai sekarang selalu melemah terhadap USD, tapi disini penulis akan tampilkan ringkasannya saja.

Tahun
Kurs
1966
250
1970
378
1980
626
1990
1,842
1998
14,800
2000
9,725
2010
9,036
2015
14,000
Jul-18
14,300

Nah, jadi jangan kaget jika katakanlah pada tahun 2030 nanti, kurs Rupiah mungkin akan sudah jauh lebih rendah lagi dibanding sekarang, dan itu sesuatu yang normal/bukan karena krisis ekonomi atau semacamnya. Proyeksi ini baru bisa berubah jika inflasi di Indonesia, yang sekarang ini relatif rendah di level 3 – 4% per tahun, bisa bertahan untuk seterusnya, tapi itu akan sulit untuk terjadi karena sejak awal, geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan menyebabkan proses distribusi barang membutuhkan biaya tinggi, sehingga harga sembako di Papua bisa belasan kali lebih mahal dibanding di Jawa, dan itulah yang memicu terjadinya inflasi selama ini. Beruntung, karena sekarang ini pulau-pulau di Indonesia mulai terkoneksi dengan baik (dulu anda kalo mau ke Papua mungkin harus pake kapal laut, tapi sekarang bisa pake pesawat, dan biayanya relatif murah dibanding dulu) maka itu turut menurunkan biaya distribusi barang sekaligus menekan inflasi, tapi penulis masih belum tahu apakah trend positif akan bertahan untuk seterusnya atau tidak karena, actually, keadaan geografis Indonesia yang kita bahas diatas hanyalah satu dari sekian banyak faktor pemicu inflasi, sementara faktor-faktor lainnya bisa dibaca disini. Hanya saja, berbeda dengan faktor-faktor lainnya yang kadang terjadi kadang tidak, alias hanya berpengaruh dalam jangka pendek, maka kondisi geografis merupakan faktor konstan yang tidak akan pernah bisa berubah, dimana jarak antar pulau di Indonesia tidak akan menjadi lebih dekat ataupun lebih jauh. Jadi dalam kaitannya dengan turunnya kurs Rupiah dalam jangka panjang yang disebabkan inflasi, maka penulis menyebutkan faktor geografis ini sebagai penyebab jangka panjang inflasi tersebut.

Kedua, meski dalam jangka panjang Rupiah akan terus turun terhadap USD, namun pada waktu-waktu tertentu dimana ekonomi kita lagi ada problem alias krisis, maka penurunan itu akan lebih lebih tajam dibanding biasanya (termasuk angka inflasi akan lebih besar dibanding biasanya, contohnya di tahun 1998 dimana inflasi mencapai 70%). Yup, jadi teori penulis diatas bahwa kurs Rupiah merupakan ‘harga saham’ Indonesia, alias cerminan dari fundamental makroekonomi Indonesia, itu tetap berlaku. Pada tahun 1997 – 1998, Rupiah anjlok dari Rp2,500 hingga sempat menyentuh Rp18,000, sebelum kemudian menguat kembali dan stabil di 9,000-an. Tahun 2008, Rupiah melemah ke 12,000-an karena imbas krisis global, lalu menguat lagi hingga sempat dibawah 9,000 pada tahun 2011 (karena ekonomi nasional yang lagi bagus-bagusnya ketika itu, thanks to booming komoditas), sebelum kemudian turun lagi pelan-pelan seiring dengan economic slowdown hingga sempat tembus Rp15,000 pada tahun 2015. Ini artinya dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun, pelemahan Rupiah mencapai 60% (dari 9,000-an ke 15,000-an). Beruntung, pada tahun 2016 harga komoditas mulai pulih, ekonomi mulai jalan lagi (meski belum sekencang tahun 2011), dan alhasil Rupiah kembali menguat sebelum kemudian stabil di Rp13,000-an, dan untungnya sampai saat ini, seperti yang sudah penulis sampaikan disini, ekonomi kita secara umum masih baik-baik saja.

Tapi Pak Teguh, kalau dikatakan bahwa ekonomi masih aman, maka kenapa sekarang Rupiah melemah lagi? Sebelum kita membahas soal itu, biar penulis bertanya satu hal: Pernah nggak anda megang saham tertentu yang bagus dan valuasinya masih murah, dan itu perusahaan masih aman-aman saja/gak ada masalah serius atau sentimen negatif apapun, tapi harganya tiba-tiba turun sendiri? Well, pasti pernah bukan? Dan dalam kondisi bear market seperti enam bulan terakhir ini, maka saham apapun yang anda pegang kemungkinan besar ikut turun, dan itu bukan karena perusahaannya bangkrut atau apa, tapi memang karena pasarnya sedang terkoreksi saja. Dengan kata lain, saham anda turun bukan karena ada masalah di internal perusahaan, melainkan karena faktor eksternal berupa koreksi pasar.

Nah! Untuk kurs Rupiah juga sama begitu: Dalam kondisi ekonomi yang aman terkendali maka Rupiah bukan berarti pasti akan stabil, melainkan bisa tetap turun karena faktor-faktor eksternal yang tidak terlalu berhubungan dengan fundamental makroekonomi. Contohnya ya di tahun 2008, dimana Rupiah ketika itu jeblok bukan karena ekonomi nasional lagi ada problem, tapi lebih karena kekhawatiran bahwa krisis subprime mortgage yang ketika itu terjadi di AS akan meluas termasuk ke Indonesia. Buktinya ketika kekhawatiran terkait krisis di AS itu mereda dengan sendirinya di tahun 2009, maka seketika itu pula Rupiah perkasa lagi, hingga sempat tembus dibawah 9,000 pada tahun 2011.

Sementara untuk tahun 2018 ini, maka terdapat setidaknya tiga faktor yang bikin Rupiah loyo. Pertama, kondisi ekonomi AS, seperti yang sudah kita bahas disini, sekarang ini lagi bagus-bagusnya, dan itu menyebabkan USD menguat terhadap banyak mata uang lain termasuk Rupiah (jadi dalam hal ini USD lah yang menguat, bukan Rupiah yang melemah). Kedua, harga minyak naik hingga terakhir sudah tembus USD 70 per barel, dan ini otomatis menaikkan nilai impor Indonesia, dan Rupiah kena imbasnya karena kita jadi butuh banyak Dollar buat beli minyak. Dan ketiga, anda mungkin memperhatikan bahwa sudah setahunan terakhir ini investor asing terus keluar dari bursa saham Indonesia, demikian pula mereka banyak keluar dari obligasi, surat utang negara dll, dan itu praktis menekan Rupiah, karena para investor asing ini banyak menukar Rupiah mereka dengan Dollar. Penulis sampai sekarang masih belum mengerti, apa yang bikin mereka keluar ramai-ramai (ada banyak teori soal ini, tapi semuanya hanya sebatas teori yang belum bisa dibuktikan), tapi yang jelas inilah yang bikin Rupiah turun.

Kabar baiknya, meski penulis belum tahu seberapa lama kondisi ekonomi AS dan tekanan outflow asing akan berdampak terhadap Rupiah, tapi terkait naiknya harga minyak, maka bisa penulis katakan bahwa harga minyak saat ini sudah cukup tinggi, dan harusnya gak akan sampai balik lagi ke level USD 100-an per barel seperti sebelum tahun 2016 lalu (penjelasannya baca lagi disini), dan bahkan kenaikan minyak ini juga sudah kita prediksi sebelumnya (baca lagi prediksinya disini, intinya terkait IPO Aramco). Jika proyeksi ini benar adanya, maka posisi Rupiah saat ini sudah cukup rendah, dimana kecuali kedepannya nanti ada peristiwa force majeure tertentu, maka kita tidak akan melihat Rupiah turun sampai ke level seperti di tahun 2015 lalu.

Dampak Kenaikan BI Rate?

Kalau anda teliti, maka ulasan diatas sekaligus menjelaskan kenapa, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah sampai sekarang terkesan seperti cuek saja terhadap pelemahan Rupiah ini. Pada tahun 2008, setelah Rupiah anjlok ke 12,000-an, Pemerintah ketika itu meluncurkan paket kebijakan ekonomi termasuk menyelamatkan Bank Century yang bermasalah, karena jika bank tersebut dibiarkan kolaps maka dikhawatirkan akan berdampak sistemik, karena ketika itu psikologis market sedang jelek-jeleknya seiring dengan hancurnya IHSG. Pada tahun 2013, tepatnya tanggal 23 Agustus 2013, Pemerintah juga meluncurkan ‘paket kebijakan penyelamatan ekonomi’ setelah Rupiah ketika itu terjun bebas ke dari 9,000-an ke 11,000-an (baca lagi ceritanya disini). Dan pada tahun 2015, tepatnya tanggal 9 September 2015 setelah Rupiah sempat tembus 15,000, Pemerintah meluncurkan ‘Paket kebijakan ekonomi Jilid 1’, yang kemudian berlanjut pada paket-paket kebijakan selanjutnya hingga terakhir Jilid 16, yang diluncurkan pada Agustus 2017 lalu (info lengkapnya boleh gogling aja, kepanjangan kalo ditulis disini).

Tapi setelah paket kebijakan ekonomi jilid 16 tersebut, sampai sekarang belum ada paket kebijakan lagi. Kalaupun ada kebijakan, maka itu adalah keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan BI 7-day Rate, atau disingkat BI Rate, dari sebelumnya 4.25% menjadi sekarang 5.25%, dan tujuannya sangat jelas: Untuk membuat tingkat suku bunga atau yield di Indonesia kembali tampak menarik di mata investor asing, sehingga harapannya mereka kembali masuk kesini, atau minimal gak keluar lebih lanjut. Dan jika itulah yang terjadi, maka Rupiah juga diharapkan akan menguat kembali.

Namun disisi lain, kenaikan BI Rate ini justru dikhawatirkan akan menurunkan kinerja sektor perbankan, perusahaan pembiayaan, hingga properti. Karena secara teori, kalau bunga bank naik maka omzet penyaluran kredit bank juga akan turun, demikian pula orang yang beli mobil atau rumah pake kredit KPR akan berkurang. Tapi, okay, biar kita luruskan semuanya disini.

Pertama, BI sebagai otoritas moneter Indonesia memiliki goal untuk 1. Menjaga nilai tukar Rupiah, 2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan 3. Menekan inflasi. Jadi entah itu BI menaikkan atau menurunkan BI Rate, maka seperti yang pernah kita bahas disini (sekali lagi, buat yang belum mengerti cara kerja BI Rate, coba baca dulu), harapannya adalah itu akan berdampak positif terhadap tiga poin tujuan diatas. Yep, jadi pihak BI tidak akan menaikkan atau menurunkan BI Rate dalam rangka menjaga nilai tukar Rupiah, jika itu disisi lain menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, atau menaikkan inflasi ke level yang berbahaya. Tapi seperti yang kita ketahui, pertumbuhan GDP sekarang ini stabil di level 5%, sementara inflasi juga cukup rendah di level 3%, jadi sangat reasonable jika BI Rate kemudian dinaikkan. Thus, meski bunga bank akan naik karena naiknya BI Rate ini, tapi selama kegiatan ekonomi masih berjalan lancar, maka kenaikan suku bunga tidak akan sampai menurunkan omzet kredit bank, sehingga kinerja mereka tidak akan terganggu. Lain ceritanya jika BI Rate ini dinaikkan ketika ekonomi sedang lesu-lesunya seperti tahun 2015 lalu, maka itu artinya wassalam.

Kedua, seiring dengan turunnya inflasi sejak tahun 2015, maka BI Rate juga cenderung turun dalam beberapa tahun terakhir hingga mencapai level 4.25%, yang merupakan level terendah dalam sejarah (antara tahun 2005 hingga 2018, BI Rate rata-rata berada di level 7 – 8%). Maksud penulis adalah, yep, kalau BI Rate dinaikkan ke level yang terlalu tinggi, maka biar gimana itu akan ada dampak negatifnya terhadap perekonomian, tapi faktanya angka BI Rate yang 5.25% sekarang ini terbilang masih rendah, dan suku bunga KPR, KUR juga masih berada di level yang lebih rendah dibanding 2 – 3 tahun lalu. Jadi kalau BI Rate nanti naik lagi sampai ke level seperti di tahun 2015 lalu, maka barulah kita perlu waspada. Tapi karena kenaikan BI Rate sejauh ini hanya bertujuan untuk ‘merayu’ asing agar masuk lagi kesini, dan bukan karena ekonomi kita ada problem, maka penulis kira posisi BI Rate saat ini sudah cukup tinggi, dan tidak akan dinaikkan lebih lanjut kecuali jika nanti terjadi peristiwa penting tertentu.


Data BI Rate sejak Juli 2005 - Juni 2018 (judul gambarnya salah, yang bener 2005 bukan 2015), perhatikan bahwa angkanya cenderung turun terus, dan posisi BI Rate saat ini, meski naik, tapi masih lebih rendah dibanding tahun 2015. Sumber: www.bi.go.id

Anyway, kata kuncinya disini adalah, jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap perekonomian maka Pemerintah akan segera bertindak, termasuk BEI hingga OJK juga akan ‘do something’ jika penurunan IHSG sudah kelewat dalem, contohnya ketika terjadi panic selling di tahun 2015 lalu, tapi faktanya sampai sekarang belum ada tindakan khusus apapun. Sehingga bisa dikatakan bahwa kondisi market, atau setidaknya di mata para pejabat berwenang yang sarat pengetahuan serta pengalaman ini (kecuali anda punya sederet gelar seperti Tuan Doktor Profesor Patrick, maka anda tidak bisa melamar jadi komisaris di OJK), masih aman terkendali. Hanya memang, diluar cerita pelemahan Rupiah serta BI Rate ini maka diluar sana masih banyak isu-isu negatif terkait perang dagang dll, yang belum kita bahas disini. Tapi berhubung tulisan ini sudah cukup panjang (dan mungkin anda juga sudah puyeng bacanya), maka soal itu kita bahas lain waktu.

Ebook Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan ('Ebook Kuartalan') edisi Kuartal II 2018 akan terbit hari Rabu, 8 Agustus 2018. Anda bisa memperolehnya dengan cara preorder disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Unknown mengatakan…
Mantap sekali pak Teguh ulasanya.. masalah perang dagang berikutnha ya.. haha
eka nanda mengatakan…
Tidak seperti bapak bayangkan bahwa negara kepulauan akan menyebabkan inflasi tinggi, infact moda logistik yang paling efisien adalah kapal laut(cargo). Bahkan sebenarnya klaim berkurangnya inflasi disebabkan berkembangnya transportasi laut sekarang ini adalah keliru karena kontribusi inflasi terbesar ada di pulau Jawa. Menyambungkan transportasi dari papua ke jawa berdampak kecil terhadap penurunan inflasi
Doni mengatakan…
Masih kurang paham mengapa negara kepulauan / biaya transportasi tinggi menyebabkan inflasi tinggi, karena inflasi adalah kenaikan harga2 dari waktu ke waktu, bukan kenaikan harga dari satu tempat ke tempat lain.
Mohon penjelasannya. Trmkasih
Unknown mengatakan…
Pak, istilah BI rate sudah tidak valid lagi karena BI rate itu mengacu pada suku bunga SBI tenor 12 bln yg saat ini tidak digunakan lagi sbg suku bunga acuan.
Saat ini suku bunga acuan/policy rate itu BI 7-day Reverse Repo Rate. Ya emang kepanjangan sih namanya.
raja madu madu raja mengatakan…
Jadi ini siap siap beli saham bank dan properti ya pak
Anonim mengatakan…
> Penulis sampai sekarang masih belum mengerti, apa yang bikin mereka keluar ramai-ramai (ada banyak teori soal ini, tapi semuanya hanya sebatas teori yang belum bisa dibuktikan)

Menurut saya karena The Fed menaikkan suku bunga, Pak. Kalau US yang notabene negara aman suku bunga misal 3% dan Indonesia negara berkembang (yang relatif lebih risky) juga 3%, tentu orang akan memilih ke negara yang aman dengan hasil yang sama. Bahkan kalau lebih rendah sedikit pun, itu seperti "gapapa mahalan dikit tapi bagus".
Unknown mengatakan…
Mutiara terpendamnya kok belum di bahas pak teguh???
Kayaknya sih yg dimaksud KRAS,, cuman nenunggu analisanya pak teguh!
Mukidi mengatakan…
analisanya sangat rapuh, penulis harus menyertakan pula data cadangan devisa RI VS portfolio asing yang beredar di bursa saham dan obligasi, $119.8 milyar vs $168 milyar, itu belum dihitung dengan investor lokal yang ikutan panik, pemerintah jelas akan keteteran dengan kebijakan agresif The Fed selama tiga tahun ini 2018-2020. itu sebabnya BI mengaktifkan kembali SBI yang sudah diistirahatkan semasa bull market lalu.
USD yang beredar ditarik teratur oleh the fed, dan dalam tiga tahun ini kecepatannya ditingkatkan, terjadi overdemand terhadap USD, itu yang jadi penyebab lira turki, peso argentina, rupiah dan sederet mata uang lain tiarap lawan USD.
coba tengok lagi great depression 1929, posisi kita sekarang sangat mirip, bedanya jika dulu peran kreditur, produsen, konsumen dipegang US, sekarang beberapa peran sudah diambil Cina, Jepang dan sederet negara penghasil komoditas, itu artinya, skala krisis kali ini akan lebih besar dari great depression 1929. jika pasca 1929 terjadi PD II, apa kabar kita nanti? entah lah, yang jelas Iran Cina UE dan sederet wilayah lain udah mulai panas
Jauhari mengatakan…
Korupsi
Subsidi bbm
Adalah salah satu sumber pelemahan rupiah

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)