Peluang Mutiara Terpendam di Saham Batubara

Dalam beberapa waktu terakhir, anda mungkin sudah membaca berita bahwa Singapura ‘resmi’ jatuh ke lembah resesi, dimana pemberitaan itu muncul setelah Negeri Singa tersebut melaporkan pertumbuhan ekonomi minus 12.6% secara year on year pada Kuartal II (Q2) 2020, terburuk sejak Singapura merdeka pada tahun 1965. Namun ternyata, berita tersebut tidak membuat bursa saham disana drop, dimana Strait Times Index (STI) tetap bertahan di level 2,600-an, dan demikian pula bursa-bursa lainnya di Asia dan juga seluruh dunia seperti tidak terpengaruh oleh bad news diatas, padahal Singapura adalah salah satu negara dengan industri keuangan paling maju di dunia (sehingga berita bahwa Singapura resesi akan menjadi perhatian semua fund manager global). Pertanyaannya, bagaimana bisa?

***

Bagi anda yang baru belajar investasi saham/value investing, maka bisa peroleh video seminar terbaru disini. Info whatsapp 0813-1482-2827 (Nury).

Ebook Market Planning yang berisi rekomendasi saham dan analisa pasar, edisi Desember 2020 akan terbit tanggal 1 Desember mendatang, dan anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi saham untuk member.

***

Dan jawabannya adalah, seperti yang sudah penulis sampaikan minggu lalu, karena pertumbuhan ekonomi Singapura yang minus diatas sejak awal sudah diprediksi, dan juga sudah tercermin pada pergerakan bursa saham setempat dimana pada Maret lalu, STI anjlok dari 3,200 hingga 2,200-an (sebelum kemudian naik lagi), yakni setelah Pemerintah setempat memberlakukan lockdown. Sedangkan untuk sekarang ini, maka yang dilihat investor adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi Singapura untuk Q3 dan Q4 nanti, dimana jika proyeksinya adalah bahwa angkanya akan membaik, maka STI pelan-pelan akan naik lagi. Tapi jika proyeksinya masih negatif, misalnya jika Pemerintah terus memberlakukan pembatasan jumlah turis asing untuk keluar masuk Singapura, maka STI bisa turun lagi.

Dan apa yang dialami Singapura beserta indeks STI-nya diatas, adalah cerminan dari apa yang akan dialami oleh negara-negara lainnya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, ketika nanti laporan pertumbuhan ekonominya untuk Q2 keluar. Yup, dalam waktu dekat ini Badan Pusat Statistik (BPS) akan melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk Q2 2020, dimana jika angkanya minus (itu mungkin saja), maka headline-nya di koran-koran mungkin akan seperti ini: Indonesia Resmi Masuk Jurang Krisis Terburuk Sejak 1998. Tapi apakah itu kemudian akan bikin IHSG drop? Well, belum tentu, karena yang dilihat investor adalah proyeksi untuk Q3 nanti, dimana jika pemerintah terus melonggarkan lockdown/PSBB, sehingga kegiatan ekonomi perlahan tapi pasti mulai berjalan normal, maka proyeksinya tentu adalah bahwa ekonomi akan berangsur-angsur pulih, atau minimal lesunya kondisi ekonomi yang sedang terjadi sekarang ini tidak akan menjadi lebih buruk lagi.

Tapi ketika hampir semua negara di seluruh dunia akan melaporkan data ekonomimakro yang sangat buruk pada Q2 ini, maka ada satu negara yang angkanya bagus sendiri. Nah, bisakah anda tebak, negara apa itu? Benar sekali: China. Sebagai negara pertama yang memberlakukan lockdown setelah Covid-19 merebak di Kota Wuhan, awal tahun 2020 lalu, maka China melaporkan pertumbuhan ekonomi minus 6.8% pada Q1 2020, terburuk dibanding hampir semua negara lain pada periode yang sama. Tapi ketika pada Q2 ini, negara-negara lain melaporkan pertumbuhan ekonomi minus, maka seiring dengan dilonggarkannya lockdown, barusan sudah keluar laporan bahwa pertumbuhan ekonomi di China sudah positif lagi di angka 3.2%. Dan karena disana sudah tidak ada lagi penambahan kasus Covid-19, maka ya sudah: Bagi China, resesinya sudah lewat, dan bursa saham disana pelan-pelan akan bangkit lagi, atau memang sudah bangkit. Yup, pada titik terendah market crash di bulan Maret 2020 lalu, Indeks Shanghai juga drop dari 3,100 sampai mentok di 2,700. Tapi ketika artikel ini ditulis, dia sudah break-out ke level 3,300-an.

Okay, lalu apa hubungannya cerita Singapura – China diatas dengan batubara? Nah, jadi begini. Seiring dengan penurunan aktivitas ekonomi di seluruh dunia karena efek dari lockdown, maka permintaan akan berbagai komoditas termasuk batubara otomatis turun, dan imbasnya harganya ikut turun. Pada awal tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 belum menyebar ke seluruh dunia, batubara berada di level $65 – 70 per ton. Kemudian setelah Indonesia dan hampir semua negara memberlakukan lockdown, maka batubara drop hingga mentok di $51 pada bulan April, sebelum kemudian sekarang bergerak mendatar di $52 – 57 per ton. Yang menarik adalah, harga batubara sekarang ini sudah sama dengan posisinya pada bulan Juni 2016 lalu, yakni di $52 per ton, dan pada bulan Juni 2016 tersebut, batubara dengan cepat naik hingga tiba-tiba saja tembus $114 di bulan November di tahun yang sama, atau naik lebih dari dua kali lipat hanya dalam tempo lima bulan! Tidak ada penjelasan atau peristiwa spesifik tertentu yang bisa menjelaskan melejitnya harga batubara ketika itu, tapi memang sejak awal harga batubara sudah kelewat murah saja, sedangkan pada tahun 2016 itu tidak sedang terjadi krisis atau apapun, dan demikian pula demand akan batubara ketika itu juga tetap stabil dan bertumbuh.

Nah, jadi anda mengerti maksud penulis bukan? Yep, memang kondisinya sekarang ini berbeda dengan tahun 2016 lalu, dimana pada tahun 2020 ini, dunia termasuk Indonesia sedang resesi. Namun jangan lupa bahwa lebih dari separuh konsumsi batubara dunia berasal dari China, sedangkan di China sana kondisinya sudah lebih baik, sehingga cuma soal waktu sebelum permintaan batubara kembali meningkat, dan demikian pula harganya akan naik. Dan ketika itu terjadi, maka otomatis saham-saham batubara di BEI juga akan ikut terbang tinggi! Seberapa tinggi? Well, sebagai gambaran, berikut adalah perkembangan harga-harga saham batubara (dan saham kontraktor batubara) yang penulis perhatikan, dihitung dari titik terendahnya di tahun 2016, hingga titik tertingginya pada tahun 2017/2018. Harga sudah disesuaikan dengan stocksplit.

Stock
Low (2016)
High
Max profit (%)
UNTR
12,800
40,425
215.8
ADRO
437
2,560
485.8
PTBA
833
4,890
487.0
ITMG
4,730
31,700
570.2
HRUM
590
3,490
491.5
BUMI
50
505
910.0
INDY
110
4,550
4,036.4
PTRO
281
2,780
889.3
KKGI
77
524
580.5

Yang menariknya lagi, sebagian besar dari saham-saham diatas adalah saham big caps yang likuid, sehingga belinya bisa banyak, sehingga nominal profitnya dalam Rupiah juga besar. Dan actually, karena momentum di batubara inilah, tahun 2016 kemudian menjadi salah satu tahun terbaik sepanjang karier penulis di market. Tapi bagi anda yang baru masuk pasar sekarang-sekarang ini, maka berhubung harga batubara sekarang ini sudah sama dengan di bulan Juni 2016 lalu, mungkin kita punya kesempatan kedua disini.

Logo PT Indo Tambangraya Megah, Tbk, salah satu emiten paling royal dividen di BEI

Tinggal beberapa catatan. Pertama, meski pada tahun 2016 lalu harga batubara dengan cepat naik lagi sampai tembus $100, tapi tentunya tidak ada jaminan bahwa pada tahun 2020 ini batubara akan mengalami hal yang sama. Faktanya, hal itu tidak bisa diprediksi. Dan kalau misalnya sampai akhir tahun nanti batubara tetap di $55 per ton, maka ya sudah saham PTBA dkk juga gak akan kemana-mana. Kemudian kedua, dibanding tahun 2016 lalu, maka posisi saham-saham batubara sekarang ini masih tanggung. Contohnya INDY, meski pada Maret lalu sempat drop sampai 400, tapi ketika analisa ini ditulis, dia sudah di 1,000-an lagi. Ini membuat posisi start kita jadi kurang bagus, dan skenario terburuknya adalah jika ternyata batubara tidak segera naik, maka saham-saham batubara yang sudah naik duluan akan pelan-pelan turun lagi, bukan karena harga batubara turun, tapi karena orang profit taking, IHSG turun, atau faktor-faktor lainnya. Dan ketiga, sekarang ini mulai kembali ramai isu penggunaan gas untuk menggantikan batubara, dimana Warren Buffett sendiri beberapa waktu lalu membayar $10 milyar untuk masuk ke bisnis pipa gas milik Dominion Energy, karena memang kalau di Amerika sana, penggunaan gas diprediksi akan menggantikan minyak dan batubara. Nah, sebenarnya isu gas yang menggantikan batubara ini sudah sering dibicarakan sejak dulu. Termasuk di tahun 2016 ketika harga batubara sedang rendah-rendahnya, juga sempat ramai isu yang sama (yang sebenernya gak ngefek. Kan kita jualan batubara ke China, India, dan Jepang, bukan ke Amerika). Tapi intinya, selama isunya masih ramai di media, maka selama itu pula harga batubara akan sulit untuk naik, malah bisa saja turun lagi.

Sehingga jika anda tertarik dengan batubara ini, maka faktor-faktor diatas tetap harus dipertimbangkan. Tapi intinya sih, mengingat potensi profitnya yang bisa sangat besar, maka jika nanti anda memutuskan untuk kembali masuk ke pasar, jangan lupa untuk mengambil satu atau dua saham batubara, terserah yang mana saja, lalu lihat hasilnya 1 - 2 tahun dari sekarang. Dan untuk melihat perkembangan terbaru harga batubara internasional, maka itu bisa dilihat disini.

Disclosure: Ketika artikel ini ditulis, Avere sedang dalam posisi memegang ITMG di average 7,750. Posisi ini bisa berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Artikel ini merupakan repost dari artikel yang sama di tanggal 23 Juli 2020.

***

Jadwal Seminar: Turnaround Opportunity during Economic Recovery. Jakarta, Sabtu 5 Desember, dan Surabaya, Sabtu 12 Desember. Info lengkap baca disini, tersedia juga video full seminarnya bagi peserta yang tidak bisa hadir, dengan biaya yang lebih terjangkau.

Komentar

David mengatakan…
Bukannya cina juga punya produksi batubara sendiri ya pak? Kalo iya. Seberapa besar volume ekspor batubara kita ke cina? Dan untuk PTBA kok msk hitungan pak? Bukannya base on e book bapak bbrp waktu lalu dijelaskan bahwa Batubara ptba 90% lebih dijual ke PLN
Anonim mengatakan…
Tahun 2017 bukannya Bpk keluar dari INDY di harga 800-an karena punya prediksi kalo laba Q2 2017 INDY bakal turun?
Anonim mengatakan…
Katanya value investing, tapi rekomendasinya saham batubara...
Yudha Prawira mengatakan…
Terimakasih Pak TH atas ulasan saham batubaranya.
Nama saya Yudha, 22 tahun. Kebetulan saya sedang hold INDY di average 1.000.
Saya punya pertanyaan pak, mohon kiranya berkenan menjawab.
1. Kalau saya amati kebanyakan saham holding memiliki valuasi lebih rendah dari anak perusahaan. Seperti INDY dan PTRO. Mengapa? Toh sejauh yang saya pahami, pendapatan anak dicatatkan juga ke holding.
2. Bagaimana pendapat Pak TH tentang TOBA (Toba Bara Sejahtera)? Menurut saya menarik karena: (1) Q1 2020 masih mampu mencatatkan pertumbuhan laba bersih, (2) hampir 50% dari pendapatannya berasal dari PLTU di Sulut dan (3) sudah teken kontrak dengan PLN untuk 20 tahun kedepan.
Edwin mengatakan…
Saya Edwin Pak. Andai saya sudah ikut di pasar modal. Saya pasti menelaahnya dan yakin ikut pada penjelasannya. Saya pikir tahun depan pun akan demikian walau kenaikan harga batu bara dan harga sahamnya tidak sebesar kenaikan saat ini. Terima kasih...

ARTIKEL PILIHAN

Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024

Ebook Investment Planning Kuartal IV 2023 - Sudah Terbit!

Laporan Kinerja Avere Investama 2022

Peluang dan Strategi Untuk Saham Astra International (ASII)

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Indah Kiat Pulp & Paper (INKP) Bangun Pabrik Baru Senilai Rp54 triliun: Prospek Sahamnya?

Prospek Saham Energi Terbarukan, Kencana Energi Lestari (KEEN)