Prospek Saham Batubara Terkait Krisis Energi di China

Pada ulasan terakhir di blog ini tentang sektor batubara di bulan Juli 2020 lalu, yakni ketika harga batubara Newcastle sedang rendah-rendahnya di level $52 per ton, penulis mengatakan bahwa terdapat peluang ‘mutiara terpendam’ di sektor ini, karena cepat atau lambat harga batubara akan naik lagi seiring dengan pemulihan ekonomi pasca resesi, dan ketika nanti harga batubara katakanlah sudah berada di level $100 per ton, maka saham-saham seperti Adaro Energy (ADRO), Indo Tambangraya Megah (ITMG), dan Bukit Asam (PTBA) bisa naik sangat tinggi. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.

***

Ebook Market Planning edisi Oktober 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Sekitar setahun kemudian, tepatnya pada Mei 2021, harga batubara akhirnya benar tembus $100 per ton, seiring dengan terus meningkatnya permintaan batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik, untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik, pusat perbelanjaan dll di seluruh dunia, yang kembali beroperasi setelah tidak lagi diberlakukan lockdown. However, setelah mempelajari tentang momentum commodity supercycle, dimana berdasarkan alasan-alasan tertentu maka penulis simpulkan bahwa harga-harga komoditas termasuk batubara bisa naik lebih tinggi lagi. Sehingga pada ulasan berikut ini, penulis katakan bahwa peluang profit di saham-saham batubara ini masih terbuka lebar.

Waktu berlalu, dan berapa harga batubara sekarang? Well, sudah mencapai $270 per ton, dipicu oleh cerita krisis energi di China sana, dimana ketika Pemerintah China mulai mengurangi operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara, yakni dalam rangka mengurangi emisi karbon/polusi udara, maka itu justru menyebabkan anjloknya suplai listrik itu sendiri, karena disisi lain listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik energi terbarukan (renewable energy) masih belum cukup untuk menutup penurunan suplai listrik akibat penghentian operasional PLTU. Alhasil, seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik menjelang musim dingin (untuk pemanas ruangan), Pemerintah kembali mengoperasikan banyak PLTU, dan mengimpor batubara dalam jumlah besar termasuk dari Indonesia. Imbasnya harga batubara itu sendiri kemudian naik sangat tajam, diikuti oleh kenaikan saham PTBA dkk.

Tinggal pertanyaannya, apakah harga batubara saat ini masih bisa lanjut naik lebih tinggi lagi? Ataukah justru jika kita sudah membeli saham-saham batubara sejak awal, maka sekarang sudah waktunya untuk profit taking? Untuk menjawab itu, mari kita pelajari lagi faktor-faktor pentingnya, satu per satu.

Ilustrasi kapal tongkang pengangkut batubara

Pertama, jika kita telaah lagi penyebab munculnya cerita krisis energi ini, maka itu adalah karena situasi bottlenecking yang diakibatkan oleh kebijakan Pemerintah, dimana selain mengurangi operasional PLTU, untuk alasan tertentu Pemerintah China juga sempat melarang atau membatasi impor batubara asal Australia. Sehingga untuk beberapa saat, suplai batubara di China itu sendiri sempat anjlok ketika kebutuhannya justru meningkat, makanya harganya melejit. Tapi jika kita lihat volume produksi batubara itu sendiri dari negara-negara importir batubara terbesar, dalam hal ini Australia dan Indonesia, maka jika kita melihat data operasional dari perusahaan tambang terbesar di dunia asal Australia, yakni BHP, maka untuk tahun yang berakhir tanggal 30 Juni 2021, perusahaan memproduksi 60 juta ton batubara, hanya turun sedikit saja dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 64 juta ton. Demikian pula kalau kita lihat volume produksi perusahaan batubara terbesar kedua di Indonesia, yakni Adaro Energy (ADRO), maka per Semester I 2021, ADRO memproduksi 26.5 juta ton batubara, hanya turun 3% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Sehingga ketika sekarang Pemerintah China mulai kembali mengimpor batubara dari luar dalam jumlah besar, maka cuma soal waktu saja sebelum suplai batubara di dalam negeri akan meningkat, dan harganya akan kembali normal.

Kedua, sebelum tahun 2021 ini, maka rekor harga tertinggi yang pernah dicapai oleh batubara adalah $180 per ton pada tahun 2008 lalu. Jadi ketika sekarang harganya mencapai $270, maka jujur saja penulis sendiri tidak pernah membayangkan bahwa harga batubara akan setinggi itu. Masalahnya adalah, karena kita tahu bahwa penyebab kenaikan luar biasa tersebut adalah situasi yang sifatnya hanya sementara (bottlenecking diatas), maka cepat atau lambat harganya akan turun lagi. Dan karena kenaikannya beberapa waktu lalu terbilang sangat cepat, maka biasanya penurunannya juga tidak akan kalah cepatnya. Let say, harga batubara drop ke posisinya sebulan lalu yakni $170 per ton, maka itu artinya penurunannya mencapai 37% bukan?

Sehingga, meski dalam banyak kesempatan penulis mengatakan bahwa asalkan masih berada di level $90 – 100 per ton saja, maka PTBA dkk bakal tetap cuan, tapi jika suatu waktu nanti batubara turun sampai 35 – 40% dari posisi tertingginya, maka itu tetap akan jadi perhatian semua orang, dan berita sentimen bernada negatif seperti ‘energi terbarukan’ itu bisa saja muncul lagi.

Ketiga, pada Q1 2021 lalu, kita tahu bahwa emiten-emiten batubara di BEI rata-rata masih membukukan penurunan laba, meskipun harga batubara ketika itu sudah mendekati $100 per ton, dipicu oleh masih rendahnya volume produksi karena cuaca buruk dan banjir di Kalimantan Timur dan Selatan, yang otomatis mengganggu proses penggalian batubara. Pada Q2-nya, banjir di Kalimantan mereda, volume produksi kembali meningkat, dan harga batubara masih lanjut naik sampai $130 per ton, dan alhasil PTBA dkk kembali membukukan kenaikan laba yang signifikan, dan ROE yang juga strong diatas 20%. Pada Q3 nanti, karena harga batubara sampai akhir September kemarin bahkan sudah tembus $200 per ton, plus cuaca masih cerah, maka hampir bisa dipastikan bahwa PTBA dkk akan membukukan laba yang lebih besar lagi, kali ini ROE-nya mungkin tembus 30% disetahunkan.

Tapi apakah semua emiten batubara pasti bakal cuan besar pada Q3 ini? Well, belum tentu. Faktanya beberapa emiten, misalnya Delta Dunia Makmur (DOID), sampai Q2 kemarin masih menderita rugi $33 juta, naik dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar $7 juta. Termasuk laba ADRO juga hanya naik sedikit saja menjadi $170 juta, dari sebelumnya $155 juta.

Dengan kata lain, meski secara umum prospek batubara masih sangat menarik untuk Q3 dan Q4 2021 nanti, tapi kinerja tiap-tiap individu perusahaan bisa berbeda satu sama lain, dimana ada yang labanya besar banget, tapi ada juga yang masih tekor. Karena disisi lain masih ada setidaknya satu bulan lagi sampai akhir Oktober nanti, yakni sampai para emiten batubara merilis laporan keuangan terbaru (dan jangan lupa bahwa berdasarkan peraturan relaksasi dari OJK, maka deadline waktu rilis LK Q3 bukanlah tanggal 31 Oktober, melainkan 30 November), maka selama periode satu bulan tersebut (atau maksimal dua bulan kedepan), harga-harga saham batubara di BEI bisa dengan cepat naik dan turun mengikuti naik turunnya harga batubara Newcastle itu sendiri, dan tentunya naik turunnya IHSG.

Kesimpulan

Jika anda termasuk yang sejak awal sudah mengakumulasi saham-saham batubara, maka jika satu atau bulan lalu anda mungkin bertanya, ‘Ini kenapa saham batubara gak naik-naik?’, maka sekarang anda mungkin akan bertanya, ‘Apa sekarang waktunya profit taking?’ Maka jawabannya tergantung dari rencana investasi anda sendiri. Sebenarnya, satu-satunya faktor yang menunjukkan bahwa kita harus segera profit taking hanyalah fakta bahwa harga batubara sudah sangat overheat, dan saham batubara itu sendiri memang sudah naik tinggi, beberapa diantaranya (misalnya ITMG) bahkan sudah sama tingginya seperti tahun 2017 – 2018 lalu. Dan gak mungkin juga suatu saham bisa naik setiap hari seperti itu, melainkan akan diselingi penurunan selama beberapa saat, istilahnya cooling down, dimana saham tersebut akan turun tapi tidak akan sampai balik lagi ke posisi sebelum dia naik. Balik lagi ke contoh ITMG, kemarin dia sempat menyentuh 27,000, dari posisi awalnya (sebelum rally karena cerita krisis energi) di 15,000. Sehingga jika nanti sahamnya akhirnya mengalami cooling down, maka dia akan turun sampai ke level herga tertentu, tapi tidak akan sampai balik lagi ke 15,000 tersebut, karena investor pada akhirnya akan wait n see lagi terkait perkembangan kinerja perusahaan di LK Q3-nya nanti.

Namun jika kita lihat lagi faktor-faktor lainnya, seperti bahwa kemungkinan PTBA dkk akan membukukan laba jumbo sampai akhir tahun 2021, lalu disusul perusahaan membayar dividen yang juga jumbo pada tahun 2022, plus momentum window dressing di akhir tahun plus january effect di awal tahun, maka saham-saham batubara masih menawarkan prospek jangka menengah yang sangat menarik. Yang kita tunggu sekarang adalah kinerja perusahaan di Q3 nanti, karena memang sampai Q2 kemarin, kinerja PTBA dkk meski betul labanya naik, tapi masih belum sama bagusnya seperti tahun 2017 dan 2011 lalu, yakni ketika harga batubara juga sedang booming seperti sekarang.

Sehingga jika anda pegang saham batubara cukup banyak, maka boleh sekarang profit taking dulu, minimal sebagian, lalu tunggu barang beberapa minggu lagi sampai cerita krisis energi itu mereda. Sedangkan jika anda sudah pegang tapi baru sedikit, maka gak usah keluar juga, toh anda baru pegang sedikit, tapi jangan lupa untuk terus mengawasi saham-saham batubara ini untuk kemudian masuk di harga tertentu (pasca cooling down tadi), karena prospek jangka menengahnya seperti disebut diatas sebenarnya masih sangat menarik. Nah, tapi bagaimana kalau saya belum pegang barang sama sekali? Atau kemarin kecepetan keluarnya karena juga gak pernah membayangkan bahwa sahamnya bakal terbang? Maka sarannya juga sama: Tunggu beberapa minggu kedepan sampai saham-saham batubara sudah selesai cooling down (kata kuncinya itu tadi: Sahamnya turun, dan bisa lumayan juga turunnya, tapi gak akan sampai balik lagi ke level harga sebelum dia rally. Kemudian pada Q3 nanti, kinerja perusahaan benar bagus sesuai harapan), lalu baru masuk.

Daaan nanti analisa terkait batubara ini akan di-update lagi, beberapa bulan dari sekarang, so just stay tune (anda bisa memperoleh update artikel terbaru di blog ini dengan cara memasukkan alamat email di bawah, lalu klik 'subscribe').

Untuk Minggu depan kita akan bahas prospek satu saham di bidang produksi besi dan baja, yang kinerjanya sangat bagus di tahun 2021 ini plus valuasinya juga masih murah, tapi sahamnya belum banyak dilirik investor.

***

Ebook Market Planning edisi Oktober 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan via email

Komentar

Anonim mengatakan…
ISSP
Firman_Gurusinga mengatakan…
Saham besi dan bajanya ISSP ya Pak Teguh?
Anonim mengatakan…
Call buy ISSP hihihi
Alit mengatakan…
Ditunngu ulasan ISSP nya Pak TH
Anonim mengatakan…
Papk, PMMP kenapa turun terus ya? Apakah masih layak di hold atau di average down? Tlg dibahas lagi pak PMMP nya...

Trims
Unknown mengatakan…
ISSP
Anonim mengatakan…
issp
Dimas Kurniawan mengatakan…
Apakah saham ISSP dibidang besi dan baja yang kinerjanya bagus ditahun 2021? Ditunggu postingan selanjutnya pak Teguh.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?