IHSG Tembus 8,000! Prospeknya Setelah Penurunan BI Rate, dan Fed Rate Sekaligus?

Hari rabu, 17 September kemarin, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan BI Rate menjadi 4.75%, dari sebelumnya 5.00%. Kemudian sebelum itu juga sudah ramai berita bahwa Kementerian Keuangan menyalurkan dana total Rp200 triliun ke bank-bank milik Pemerintah, yang kemudian menjadi sentimen negatif yang menaikkan saham BBRI dkk, dan pada gilirannya mendorong IHSG untuk naik hingga ditutup di posisi all time high di 8,025. Setelah itu, semalam giliran US Federal Reserve (The Fed) juga menurunkan Fed Rate dari 4.50% menjadi 4.25%. Nah, jadi gimana prospek IHSG itu sendiri kedepannya? Apakah sekarang waktunya belanja saham, atau justru sebaiknya profit taking?

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 25 analisa saham pilihan edisi Q2 2025 sudah terbit dan sudah bisa dipesan disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio langsung dengan penulis.

***

Untuk menjawab itu maka seperti biasa, mari kita lihat faktor-faktor pentingnya, satu per satu.

Pertama, terkait posisi IHSG yang sekarang sudah di level baru 8,000an, tapi kita sudah bahas sebelumnya bahwa posisi IHSG tersebut tidak mencerminkan arah pasar yang sesungguhnya, karena kenaikannya hanya ditopang oleh saham-saham tertentu saja, seperti saham DCII, DSSA, BRPT, dst. Sedangkan sebagian besar saham lainnya masih belum kemana-mana, atau bahkan turun dihitung sejak awal tahun 2025 lalu. Anda bisa baca lagi penjelasannya disini.

Sehingga akan lebih tepat jika kita menggunakan Indeks LQ45 (ILQ), yang berisi 45 saham blue chip di Bursa Efek Indonesia (BEI), sebagai patokan arah pasar. Dan hingga ketika artikel ini ditulis ILQ masih berada di posisi 813, turun -1.7% secara year to date (YTD), berbeda jauh dibandingkan IHSG yang naik +13.7% secara YTD. Jadi kalau berdasarkan pergerakan ILQ ini, dan juga pergerakan saham-saham bluechip populer seperti BBCA, ASII, TLKM dst, maka meski betul dalam beberapa waktu terakhir BBCA dkk tersebut mulai naik lagi, tapi jika dihitung sejak awal tahun 2025 kemarin maka kesimpulannya adalah: Pasar saham Indonesia masih belum kemana-mana. Yang itu sekaligus berarti masih ada banyak saham dengan valuasi murah, yang bisa kita beli.

Kedua, terkait pemberitaan soal dana Rp200 triliun tadi, yang sukses mendorong saham-saham bank Himbara (BBRI dkk) untuk naik signifikan tak lama setelah dana tersebut disalurkan. Tapi pertanyaannya sekarang, apakah betul bahwa dana tersebut akan mampu mendongkrak kinerja emiten perbankan yang bersangkutan? Jawabannya, belum tentu. Perhatikan: Kalau kita ambil contoh Bank BRI, maka per 30 Juni 2025, perusahaan mencatat loan to deposit ratio (LDR) 85.5%, turun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 87.1%. Yang dimaksud LDR adalah perbandingan antara nilai kredit yang disalurkan oleh bank, dengan nilai dana pihak ketiga (DPK, terdiri dari tabungan, giro, dan deposito) yang ditempatkan oleh nasabah di bank. Jika LDR ini berada di level 90 – 100%, artinya bank kekurangan DPK untuk disalurkan kembali sebagai kredit, dan dalam situasi itulah bank perlu suntikan dana. Namun seperti disebut diatas, LDR BBRI hanya tercatat 85.5%, itupun turun dibanding tahun sebelumnya, yang menandakan bahwa pihak Bank BRI lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Dan kenapa hati-hati? Karena net non performing loan (net NPL) BBRI terakhir tercatat 1.0%, naik dibanding tahun sebelumnya 0.9%. Atau dengan kata lain, rasio kredit macet BBRI meningkat signifikan dalam setahun terakhir, dimana ada lebih banyak debitor yang mengalami gagal bayar, kemungkinan karena lesunya situasi ekonomi riil di lapangan.

Sehingga penulis setuju ketika ada analis dan pengamat yang menyebut bahwa, masalah yang dialami bank-bank itu bukan karena mereka gak punya duit untuk disalurkan dalam bentuk kredit, tapi karena mereka bingung mau menyalurkan kemana. Karena jika tidak hati-hati maka rasio kredit macetnya akan naik lebih tinggi lagi. Di sisi lain jika BBRI dkk tidak mampu untuk kembali menyalurkan kembali dana yang diterima, maka beban bunganya tetap akan naik sehingga laba bersihnya berisiko untuk turun. Karena dengan terima Rp200 triliun tersebut maka mereka harus bayar bunga ke Pemerintah sebesar sekitar 4% per tahun.

Nah, tapi katakanlah BBRI dkk akan mampu menyalurkan kembali dana yang diterima dalam bentuk kredit, minimal sebagian diantaranya, dan harapannya tentu dengan bunga yang lebih murah (misalnya turun dari sebelumnya 14% menjadi 12% per tahun) karena yang dikejar adalah omzet, bukan margin. Maka sekarang kita ke poin ketiga: Sektor mana yang diuntungkan karena menerima pinjaman berbunga murah ini?

Dan sebagian dari anda mungkin akan jawab: Sektor properti dan otomotif, apalagi sekarang BI Rate juga sudah turun. Tapi penulis tidak sependapat karena, perhatikan: BI Rate sudah terus turun dari 6.25% di bulan Juli 2024 (setahun lalu) hingga sekarang tinggal 4.75%, tapi itu tetap tidak mampu mendongkrak volume penjualan properti dan mobil/motor, malah data Gaikindo menunjukkan bahwa volume penjualan mobil terus turun sejak tahun 2022 lalu, karena sekali lagi problemnya bukan di bunga kredit KPR atau kredit otomotif yang tinggi, melainkan karena saking rendahnya daya beli masyarakat, PHK juga dimana-mana, sehingga mereka harus berpikir ribuan kali sebelum memutuskan untuk beli rumah/mobil baru.

Jadi pertanyaannya sekarang, sektor apa yang kira-kira tidak terlalu dipengaruhi oleh rendahnya daya beli ini? Dan jawabannya adalah yang berbasis ekspor, seperti batubara, sawit, emas, hingga nikel. Sama satu lagi: Perusahaan perkapalan untuk mengangkut komoditas-komoditas tersebut dari lokasi tambang ke pelanggan di luar negeri. Dan boleh anda cek: Kinerja dari perusahaan-perusahaan tersebut terbilang masih cukup bagus di tahun 2025 ini, terutama untuk tiga jenis komoditas yang disebut terakhir (sawit, emas, dan nikel). Sehingga kalau misalnya ada perusahaan tambang emas mengambil kredit dari bank untuk meningkatkan kapasitas produksinya, maka mereka dalam hal ini diuntungkan karena bunga kreditnya sekarang lebih rendah, dan di sisi lain juga tidak perlu khawatir bakal susah jualan emas itu sendiri, karena harga emas sekarang ini justru lagi tinggi-tingginya. Win win solution!

Harga emas sudah tembus $3,600 per oz, atau kalau di Indonesia sekitar Rp2.1 juta per gram

Kesimpulan

Okay, jadi mari coba kita runut lagi: IHSG betul tampak sudah naik sangat tinggi, tapi jika kita lihatnya ILQ dan juga pergerakan saham BBCA, BBRI dkk, maka sebenarnya pasar saham Indonesia sama sekali belum naik signifikan, sehingga peluangnya masih terbuka. Meski demikian, penyaluran dana Rp200 triliun serta penurunan BI Rate/Fed Rate tidak akan secara otomatis meningkatkan kinerja emiten perbankan, karena itu akan bergantung pada kemampuan manajemen untuk menyalurkan kembali dana tersebut. Nah, tapi dengan asumsi pihak perbankan bisa bekerja dengan baik, maka sektor yang akan diuntungkan adalah lima sektor yang disebut diatas.

Tinggal pertannyaannya, saham-saham apa saja di sektor tersebut yang menarik untuk dikoleksi? Well, anda bisa bantu jawab?

***

Ebook Market Planning edisi Oktober 2025 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 Oktober. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q2 2025 - Sudah Terbit!

IHSG Senin Crash? Maybe Not.. Tapi Justru Disitulah Masalahnya

Live Webinar How to Invest in US Stocks, Sabtu 28 Juni 2025

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 6 September 2025

Video Seminar How to Invest in US Stocks - 2025

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?

Saya Masih Hold Saham ADRO, Sekarang Bagaimana??