Analisa Dampak Banjir Di Sumatera Terhadap Kinerja Perusahaan Sawit, Serta Prospek Sahamnya

Pak Teguh di tahun 2025 ini Bapak banyak rekomen saham-saham perkebunan kelapa sawit, dan sebagian besar memang betul naik signifikan. Tapi dengan terjadinya musibah banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatera di akhir tahun 2025 ini, maka apakah analisanya berubah pak? Karena kita tahu bahwa sebagian besar perusahaan sawit Tbk beroperasi di Sumatera. Mohon pencerahannya.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 25 analisa saham pilihan edisi Q3 2025 sudah terbit! Dan sudah bisa dipesan disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio langsung dengan penulis. Tersedia juga edisi sebelumnya yang bisa dipesan pada harga diskon.

***

Jawab.

Betul pak. Jadi kalau berdasarkan pengalaman di akhir tahun 2021 lalu dimana Provinsi Kalimantan Selatan dan Timur juga pernah dilanda bencana banjir besar, maka itu kemudian mengganggu aktivitas operasional perusahaan-perusahaan batubara disana, dan alhasil Indonesia secara keseluruhan hanya memproduksi 606 juta ton batubara di tahun 2021 tersebut, aka naik dibanding 566 juta ton di 2020, tapi masih turun dibanding 616 juta ton di tahun 2019. Ingat bahwa di tahun 2020 Indonesia dilanda pandemi Covid-19 dimana semua aktivitas bisnis di seluruh Indonesia termasuk tambang batubara sempat harus terhenti selama beberapa bulan, sehingga wajar jika volume produksi di tahun tersebut turun dibanding 2019. Tapi memasuki 2021, volume produksi tersebut tetap turun (dibanding 2019) meskipun perusahaan-perusahaan batubara berupaya keras untuk menggali lebih banyak batubara seiring kenaikan harga batubara yang sempat tembus $200 per ton ketika itu, dan penyebabnya adalah force majeure berupa musibah banjir di Kalimantan Selatan dan Timur tadi, yang notabene merupakan wilayah operasional utama dari hampir semua perusahaan tambang batubara di Indonesia.

Sehingga, ketika di akhir tahun 2025 ini kembali terjadi banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, maka aktivitas operasional perusahaan sawit yang memiliki lahan di tiga provinsi tersebut hampir pasti akan terhenti atau minimal terganggu, dan alhasil kinerja mereka akan turun di Q4 2025 ini dan mungkin juga sampai awal 2026 nanti, dengan penurunan kinerja yang bisa jadi cukup signifikan. Sebab, jika dibandingkan dengan bencana banjir tahun 2021 di Kalimantan, maka jika dilihat dari luas wilayah yang terdampak, jumlah korban jiwa, dan jumlah penduduk yang kehilangan tempat tinggal hingga harus mengungsi, maka skala bencana kali ini terbilang jauh lebih besar.

Jadi pertanyaannya sekarang, emiten sawit mana saja yang memiliki lahan kebun di tiga provinsi di atas? Nah, di Bursa Efek Indonesia (BEI) terdapat puluhan emiten sawit namun kita tidak akan cek semuanya melainkan yang menengah-besar saja. Dan berikut adalah emiten yang mengelola kebun sawit, baik itu milik sendiri maupun plasma (kebun milik petani rakyat namun hasilnya buah sawitnya dibeli oleh perusahaan), di setidaknya salah satu dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

  1. PT Astra Agro Lestari, Tbk (AALI): Aceh
  2. PT Eagle High Plantations, Tbk (BWPT): Sumatera Barat
  3. PT Salim Ivomas Pratama, Tbk (SIMP) melalui anak usahanya PT PP London Sumatera, Tbk (LSIP): Sumatera Utara
  4. PT Sinar Mas Agro Resources & Technology, Tbk (SMAR): Sumatera Utara
  5. PT Sumber Tani Agung Resources, Tbk (STAA): Sumatera Utara
  6. PT Cisadane Sawit Raya, Tbk (CSRA): Sumatera Utara
  7. PT Austindo Nusantara Jaya, Tbk (ANJT): Sumatera Utara
  8. PT Bakrie Sumatera Plantations, Tbk (UNSP): Sumatera Utara.

Kemudian berikut adalah emiten perkebunan kelapa sawit dengan lokasi operasional di luar tiga provinsi di atas, sehingga secara teori kinerja mereka tidak akan terdampak:

  1. PT Sampoerna Agro, Tbk (SGRO)
  2. PT Tunas Baru Lampung, Tbk (TBLA)
  3. PT Triputra Agro Persada, Tbk (TAPG)
  4. PT Sawit Sumbermas Sarana, Tbk (SSMS)
  5. PT Dharma Satya Nusantara, Tbk (DSNG)
  6. PT Gozco Plantations, Tbk (GZCO).

Sudah tentu, ini bukan berarti prospek saham AALI dkk otomatis jelek sementara prospek saham SGRO otomatis bagus, karena balik lagi kita harus analisa kinerja tiap-tiap perusahaan. Kemudian ingat juga bahwa dampak bencana banjir dan longsor ini akan sangat bervariasi terhadap tiap-tiap perusahaan, tergantung seberapa besar luas lahan yang mereka miliki di provinsi yang terkena bencana. Sebagai contoh, AALI betul memiliki kebun sawit di tiga provinsi di Pulau Sumatera, yakni di Aceh, Riau, dan Jambi. Namun per akhir 2024, ketiga provinsi tersebut hanya menyumbang 37% dari total luas kebun sawit yang dikelola perusahaan, yang itu artinya kontribusi Aceh lebih kecil lagi, kurang lebih sekitar 10 – 12% saja. Beda ceritanya dengan CSRA, dimana dari luas lahan inti tertanam milik perusahaan sebesar 20,068 hektar, 12,857 hektar aka 64% diantaranya berlokasi di Sumatera Utara, tepatnya di Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu. Yang itu artinya, meski sama-sama terdampak namun kinerja operasional CSRA kemungkinan besar akan turun lebih signifikan dibanding AALI.

Peta lokasi kebun sawit milik PT Astra Agro Lestari, Tbk

Antara Biodiesel, dan Etika Kemanusiaan

Kemudian ada pula pertanyaan, apakah dengan peristiwa bencana ini maka volume produksi minyak sawit aka crude palm oil (CPO) Indonesia akan turun dan itu kemudian bisa menaikkan harga jual CPO itu sendiri, sehingga perusahaan sawit yang tidak terdampak bencana justru akan diuntungkan? Dan jawabannya, ya, SGRO dkk dalam hal ini mungkin akan diuntungkan. You see, CPO merupakan salah satu komoditas yang harganya tidak turun terlalu signifikan pasca commodity booming di tahun 2022 lalu, terakhir masih di 4,100 Ringgit Malaysia per ton, yang mana itu turun dibanding puncaknya RM7,000, tapi masih naik dua kali lipat dibanding harga tahun 2019 – 2020 sebesar RM2,000 per ton. Dan itu disebabkan karena dua hal. Pertama, volume produksi CPO Indonesia terbilang stagnan cenderung turun dalam lima tahun terakhir di level 45 – 48 juta ton per tahun. Dan dengan adanya peristiwa bencana ini maka hampir pasti volume produksi CPO Indonesia di tahun 2025 ini akan kembali turun, karena Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan, semuanya masuk sepuluh besar wilayah dengan produksi CPO terbesar di indonesia. Kemudian kedua, program bahan bakar minyak (BBM) biodiesel yang pertama kali diterapkan pada tahun 2020 lalu membuat tingkat konsumsi CPO di dalam negeri melonjak signifikan, karena sekarang CPO tidak lagi hanya digunakan untuk membuat minyak goreng tapi juga untuk membuat biodisel tersebut. Imbasnya volume ekspor CPO Indonesia turun lebih dalam lagi, dan karena Indonesia notabene merupakan eksportir CPO terbesar di dunia (kita mendominasi 60% produksi CPO dunia), maka hal ini kemudian menyebabkan kelangkaan pasokan CPO di pasar internasional, dan alhasil harganya naik. Di sisi lain kehadiran biodiesel ini juga mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak, sehingga pada akhirnya turut mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Dan actually kesuksesan program biodiesel ini pula yang membuat Pemerintah mendorong peningkatan produksi CPO di dalam negeri, salah satunya dengan cara membuka (atau mendorong perusahaan sawit swasta untuk membuka) lahan kebun baru sawit secara besar-besaran, termasuk membuka 4 juta hektar lahan food estate di Papua. However, pembukaan lahan berarti pembabatan hutan alias deforestasi, dimana itu berisiko menimbulkan bencana alam seperti yang sudah kita saksikan di di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, tidak hanya banjir dan tanah longsor di musim hujan, tapi juga kabut asap karena kebakaran di musim kemarau.

Sehingga, meski penulis sendiri sebagai investor masih melihat adanya peluang investasi di saham-saham perkebunan kelapa sawit terutama yang lokasi operasionalnya tidak terdampak bencana, ditambah karena setelah ini maka ada juga kemungkinan harga CPO akan naik, tapi mungkin pada titik ini saya akan mengurangi atau bahkan keluar sama sekali dari sektor ini karena, jujur saja, ini sudah kelewatan. Betul bahwa gencarnya pengembangan sektor perkebunan kelapa sawit akhir-akhir ini berdampak positif jika dilihat dari aspek ekonomi makro. Tapi jika mempertimbangkan efek sampingnya yang juga sangat parah, then it’s not worth it, at all. Untuk kedepannya kami akan lebih banyak membahas dan merekomendasikan saham-saham dari perusahaan yang sebisa mungkin tidak berpotensi untuk terlibat, bahkan meski secara tidak langsung, dengan peristiwa bencana alam seperti ini. Yes, we’re investors, but we’re also human. Dan pada titik ini, saya lebih memilih menjadi manusia ketimbang menjadi investor itu sendiri.

Untuk minggu depan kita akan membahas prospek IPO Superbank, Tbk (SUPA), dan dampaknya terhadap saham perusahaan induknya, PT Elang Mahkota Teknologi, Tbk (EMTK).

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 25 analisa saham pilihan edisi Q3 2025 sudah terbit! Dan sudah bisa dipesan disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio langsung dengan penulis. Tersedia juga edisi sebelumnya yang bisa dipesan pada harga diskon.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2025 - Sudah Terbit!

Live Webinar How to Invest in US Stocks, Sabtu 13 Desember 2025

IHSG Senin Crash? Maybe Not.. Tapi Justru Disitulah Masalahnya

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 6 September 2025

Cara Profit Maksimal Dari Investasi Emas

Video Seminar How to Invest in US Stocks - 2025

Laba Bank BRI Anjlok Lebih Dari 50%, Begini Penjelasan Mudahnya